= Lima Belas = [FIN] =

516 40 17
                                    


Deru ombak samudra dan suara tabrakan ombaknya membangunkan Juyeon perlahan. Ia mengumpulan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum ia tertidur namun kelihatannya ia kehilangan kemampuan untuk mengumpulkan lagi semuanya. Ia pikir itu pasti karena terlalu gembira dan bahagia memiliki Eric terbenam dalam lengannya di bawah langit bersih California.

Tangan Juyeon mencari jalan untuk merasakan pasir tempatnya berbaring saat ini, ingin merasakan setiap butir pasir meluncur turun dari sela-sela setiap jemarinya. Ia menyapu permukaan pasir itu namun menemukan kain. Apa Eric meletakkan kain di bawah? Aku tidak ingat ia melakukannya. Juyeon berpikir. Aneh.

Juyeon berbalik dan bergerak untuk memeluk laki-laki yang tidur nyenyak di sisinya. Ia bisa dengar nafas berat yang ia ciptakan dan melingkarkan tangannya pada Eric. Rasanya lebih lembut dari biasanya, empuk di bagian pinggang, dan seperti mengenakan sweater? Apa dia menggunakan sweater? Aku bahkan tidak menyadarinya. Juyeon lanjut berpikir dalam hati. Ia lanjut memeluk Eric. Anak ini benar-benar lembut. Demi apa pun, aku benar-benar mencintainya. Juyeon tersenyum, matanya masih tertutup. Ia hanya fokus pada nafas Eric dan mulai kembali masuk ke ranah tidur yang kabur sampai--

"Juyeon bangun!" Apa Kevin mengikuti kami sampai ke pantai? Pikir Juyeon. Dia mengikuti kami? Juyeon membuka mata dan dihadapkan oleh teman sekamarnya yang mengenakan seragam sekolahnya. "Jam tujuh lewat lima! Kau membuang waktu lima menit di atas kasur. Cepat bangun Juyeon, kita akan ketinggalan kereta!"

Juyeon terlonjak di kasur tempatnya berbaring, berpikir itu adalah pasir pantai tempatnya berbaring beberapa saat yang lalu. Ia memindai sekelilingnya dan mendapati dirinya di atas kasur.

"Wah, kau bangun dengan cepat," ucap Kevin. Wajah Juyeon membeku dan tangannya gemetar. "Ada apa, Ju-"

"Di mana Eric?" Juyeon berteriak, menatap Kevin. "Apa kau sedang mengerjaiku?"

"Apa yang kau bicarakan? Siapa Eric? Apa kau baik-baik saja, Juyeon?" Kevin menatapnya bingung selagi mengancingkan jas seragamnya.

"Jangan bercanda denganku sekarang!" Juyeon mengambil ponselnya dan matanya mulai membendung air mata ketika ia melihat tanggal: 20 Agustus, 2016. "Tidak... Tidak! TIDAK!"

"Ada apa dneganmu? Juyeon, kau baik-baik saja?" Juyeon tak mengindahkan pertanyaan Kevin dan berlari keluar kamar dan melihat Jacob memasak di dapur.

"Jacob! Apa kau sedang mempermainkanku?" Jacob menoleh ke arah Juyeon yang menghadapinya sepagi ini. "Di mana Eric? Dan kenapa kita bukan berada di California?"

"Juyeon? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak! Aku tidak baik-baik saja, Jacob!" Juyeon mendengar Changmin dan Younghoon keluar dari kamar di belakangnya. Kevin juga terdengar di belakang mereka.

"Ada apa?" Changmin bertanya. Younghoon berdehem setuju dengan pertanyaan itu, ingin mendapatkan jawaban.

"Ia menanyakan seorang Eric. Tapi, siapa itu Eric?" KEvin bertanya, menatap teman-teman se-apartemennya tak percaya.

"Kau diam! Kau pasti tahu siapa yang aku bicarakan! Eric! Orang yang kita bawa ke apartemen ini. Eric yang berusaha kita cintai dan kita terima sebagai bagian dari kita." Juyeon mulai berteriak sekarang. "Eric, anak yang ada di kelas seni bahasa denganku! Eric yang aku cintai! Eric kekasihku!"

"Kekasih?" Kata Changmin sembari perlahan mendekati Juyeon, tangannya dengan lembut menggenggam pundaknya sebagai cara untuk menenangkan Juyeon yang kini diterjang air mata. "Juyeon, kekasihmu itu Hyunjae. Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak! Aku tidak baik-baik saja!" Juyeon berteriak, air mata mengalir turun di wajahnya. Ia digenggam oleh Changmin di kedua lengannya selagi ia menangis di dadanya. Yang lain hanya menatap kekacauan yang Juyeon sebabkan sendiri selagi ia mulai hancur. Apa dia kehilangan akalnya? Ia yakin ia kehilangan akalnya. Ia dan Changmin kini berada di lantai, Juyeon nyaris tidak bisa menahan berat badannya sendiri.

Dreamscape (Story by markgeollli in AO3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang