Part II

1.7K 234 10
                                    

Berminggu-minggu setelah kejadian itu berlalu. Granger sama sekali tidak mau memamdang Draco. Bahkan mempertemukan pandangan mereka secara tidak sengaja pun tak sudi. Draco putus asa. Pupus sudah keinginannya untuk menyelidiki gadis itu yang kini malah menjauh darinya. Draco juga jarang bertemu dengannya lagi akhir-akhir ini. Rasanya tidak mungkin ....

Bibirnya terkadang masih berdenyut ketika mengingat kejadian di depan Seksi Terlarang itu. Ia masih bisa merasakan bibir lembut Granger di bibirnya. Rasanya yang manis madu bercampur dengan asin darah. Ia masih bisa merasakan ciuman Granger saat gadis itu membalas ciumannya. Tak salah lagi. Ia membalasnya!

Oke, mungkin ia harus memanggil gadis itu dengan nama depannya sekarang.

"Hoy, Draco! Kau ini kenapa sih? Permainanmu tadi bagus saat latihan. Harusnya kau senang. Kenapa kau malah melamun saja sih?" Blaise Zabini menepuk punggungnya keras-keras tatkala Draco tengah mengunyah makanan siangnya.

Draco mengelap mulutnya dengan selembar tisu. "Kau buta, ha? Aku sedang makan! Lihat itu! Kau membuat kaldu ayam superlezat itu muncrat ke mana-mana."

Blaise terkekeh dan menggumamkan kata "maaf". Ditepuknya punggung Draco sekali lagi. "Begini, Malfoy. Besok kau akan melawan Gryffindor, kan? Kau harus mengalahkan mereka. Terutama si Potter itu. Kau harus bisa menangkap snitch sialan tersebut. Menangkan piala Quidditch untuk Slytherin."

"Yeah," timpal Pansy Parkinson yang kini menggelayut di bahu Draco, "kau pasti bisa, Draco. Aku melihatmu terbang tadi. Serang saja Potter besok dengan sapumu. Toh sapumu tak jauh berbeda dengan Fireboltnya."

Crabbe dan Goyle terkekeh pelan dari meja mereka, membuat remah-remah kue beras terlempar ke mana-mana. Anak-anak perempuan Slytherin mendesis jijik. Beberapa di antaranya berseru marah.

"Singkirkan itu. Menjijikan!" Pansy protes. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Draco. "Ayolah, semangat. Kami sudah mengurus lagu Weasley Is Our King—Weasley Raja Kami—dan telah berlatih koor kok. Jadikan itu stimulusmu untuk menangkap snitch dong."

Draco hanya menanggapi ucapan cewek itu dengan rintihan samar. Ia tak pernah semerana ini dalam hidupnya. Pertama, Granger—Hermione—menjauhinya. Kedua, besok adalah pertandingan Quidditch melawan Gryffindor dan itu berarti dia harus bisa menangkap snitch untuk mempertahankan harga dirinya dan asramanya. Ketiga, kembali lagi ke alasan pertama mengapa ia merana—Granger menjauhinya.

Pansy mengelus tangan Draco lembut. Kepalanya masih bersandar di bahunya. Draco menelan air liurnya, membayangkan kalau yang kini sedang bersadar di bahunya adalah seorang penyihir kelahiran Muggle yang sok tahu, Hermione Granger, bukan Pansy Parkinson yang genit. Tahukah ia bahwa Draco ingin berdekat-dekatan lagi dengannya sambil mengesampingka fakta bahwa ia adalah Muggleborn? Tahukah ia bahwa Draco tentu saja ingin mencumbu bibirnya lagi? Tahukah ia bahwa Draco ingin menghirup dalam-dalam aroma musim panasnya saat gadis itu di dekatnya?

Usai makan siang, ia memutuskan untuk pergi keluar kastil untuk berjalan-jalan. Anggap saja ia jenuh berada di kamarnya dan ingin menghirup udara segar di luar. Lelaki itu keluar lewat Aula Depan dan melangkahkan kakinya menuju pohon beerch untuk bersandar di bawahnya seraya merenungkan banyak hal. Angin musim semi membelai wajahnya lembut. Di mana-mana serbuk bunga beterbangan.

Kakinya berhenti secara otomatis kala ia melihat tiga anak Gryffindor sedang berteduh di bawah pohon beerch. Dua anak laki-laki tengah menulis di atas gulungan perkamen mereka. Wajah mereka mengerut. Tangan mereka menggaruk tengkuk masing-masing. Sementara itu, seorang anak perempuan sedang berlarian dan melompat untuk mengejar snitch yang terbang mengitari lokasi piknik ketiga anak itu. Gadis itu tertawa ringan seakan tanpa beban. Sesekali ia berhenti untuk mengoreksi perkamen milik dua sahabat laki-lakinya.

Tak salah lagi, itu Potter, Weasley, dan Granger.

"Harry, kau harus bisa menangkap snitch ini besok," kata Granger antusias. "Kau juga, Ron. Jaga gawang baik-baik. Jangan sampai kebobolan."

Weasley berambut merah menyala itu tidak menghiraukan Granger. Ia malah sibuk mencorat-coret pena bulunya di atas gulungan perkamen. Hal ini membuat Draco diliputi sengatan tak tampak. Dia ingin memukul Weaselbee payah itu karena tidak mengacuhkan Granger. Draco akan bertaruh apapun hanya untuk menginginkan agar Granger bicara padanya lagi atau bahkan sekadar mempertemukan pandang mereka.

"Kau menyukai snitch itu, Hermione?" tanya Harry. Mata empatnya kini terpaku pada Granger yang masih berlarian mengejar snitch.

"Iya," jawab Granger. "Karena snitch inilah kita selalu menjuarai piala Quidditch. Wow, Harry! Semoga besok kau sukses. Aku akan sangat senang jika kau menghadiahkan ini padaku." Ia tergelak.

"Itu tak jadi masalah kalau Ron bisa menjaga gawangnya dengan benar ...."

"Hei! Kau mengejekku ya?" Weasley bersungut-sungut. Botol tintanya tumpah di rerumputan.

Payah.

Ketiga sahabat itu tergelak. Sekilas—Draco bersumpah demi jubah tambalan Merlin—pandangan Granger bertemu dengan pandangannya. Dadanya membuncah oleh perasaan yang berledakkan. Ini yang ia inginkan!

Granger memalingkan mukanya dan kembali mengejar snitch. Seutas senyum terbit di wajah Draco. Ia menemukan cara yang brilian agar Granger terkesan padanya.

Hari esok datang lebih cepat dari yang bisa Draco duga. Waktu 24 jam seolah hanya lima jam saja. Hari ini ia harus bertanding melawan Gryffindor di Piala Quidditch. Ia harus menangkap snitch. Untuk dirinya. Untuk Slytherin. Untuk Granger.

Untuk Granger.

Maka, ia melesat keluar kastil dengan Nimbus Dua Ribu Satunya ke lapangan Quidditch. Matanya berkelana di tribun penonton yang dipenuhi anak-anak Hufflepuff, Ravenclaw, Gryffindor, dan Slytherin. Para penonton bersorak heboh saat kedua tim berjabat tangan. Anak-anak Slytherin bersorak untuk tim asrama mereka, tak mau kalah dari teriakan anak-anak Gryffindor yang menggelegar.

Madam Hooch meniup peluitnya. Pertandingan pun dimulai. Draco segera memposisikan dirinya di ketinggian, memutari lapangan untuk mencari snitch. Semakin cepat ia mendapatkan snitch itu, semakin cepat pula pertandingan akan berakhir. Pangeran Slytherin tersebut tidak mau membuang-buang waktunya yang amat berharga.

Maka semua anak Slytherin Bernyanyi
Weasley raja kami.

Draco terkekeh kala mendengar lagu buatannya itu dinyanyikan oleh seluruh anak Slytherin dengan koor mantap yang menggelegar. Cowok itu bahkan merasa kesulitan untuk melihat depan hanya karena matanya terus menyipit untuk tertawa. Ia tak bisa mengenyahkan perasaan menggelikan itu.

Sekilas saat ia terbang, ia melihat seorang gadis berambut cokelat dan mengembang seperti rambut singa sedang menumbukkan pandangannya ke cowok itu. Draco menghentikan terbangnya dan melihat gadis itu masih memandanginya dengan pandangan ... benci. Wajahnya merengut. Kedua tangannya ia lipat di depan dadanya.

Sorakan anak Hufflepuff menyadarkan Draco akan tugasnya sebagai Seeker. Mereka menunjuk-nunjuk bola bersayap emas kecil yang tengah terbang mengitari lapangan. Draco melesat bersama Potter untuk menangkap snitch kecil yang terbang supercepat tersebut. Potter dengan Fireboltnya terbang dua kali lebih cepat dari Draco. Hal itu membuat Draco menambah laju sapunya lagi untuk mengejar ketertinggalan. Saat ia sudah dekat dengan si Potter, tangan Anak-Yang-Hidup itu sudah terangkat ke atas udara, mencoba menggapai snitch. Draco tak bisa membiarkan hal itu. Dengan kecepatan ekstra, ia melesat dan tak sengaja menyenggol sapu Potter hingga sapunya oleng. Potter jatuh dari ketinggian, sedangkan Draco berhasil mendapatkan snitchnya.

Pertandingan usai seiring dengan ditiupnya peluit Madam Hooch. Saat itu juga, Potter jatuh berdebam di atas tanah.

Draco mengangkat tangannya ke udara, mengisyaratkan bahwa ia berhasil menangkap snitch dan Slytherin menang. Cowok itu bersorak bangga. Slytherin menang! Ia menang di atas Potter! Lihat, Granger. Aku menang![]

Flying Snitch ➳ dramione (3/3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang