Tujuh

16.5K 1.4K 43
                                    

"Saya terima nikahnya Windari Savara binti Alm. Gunawan dengan mas kawin tersebut di bayar tunai," kata Langit mantap. Ia menggenggam tangan penghulu dengan erat.

"Bagaimana parah saksi, sah?" tanya penghulu membuat Langit menahan napas.

Ini kali pertama ia mengucapkan kata sakral tersebut. Kata-kata yang sederhana tapi penuh makna.

"Sah." Seruan beberapa tamu membuat Langit menghela lega. "Alhamdullilah." Ia menangkup tangan ke wajah. Sangat bersyukur akhirnya bisa segera terbebas dari keadaan awkward ini.

Sungguh menikah ternyata tidak semudah kelihatannya. Dulu melihat teman-temannya menikah ia hanya mengejek saat mereka terlihat pucat dan gugup. Karma memang berlaku, sekarang ia gugup bukan kepalang. Beruntung teman-temannya tidak ada yang ia undang. Bisa habis ia diejek mereka jika tahu bersikap seperti ini.

"Jaga istrinya baik-baik, Nak." kata Ustad setelah selesai memimpin doa.

Langit mengangguk, ia menoleh pada Windari dan tersenyum saat gadis itu mengulurkan tangan. Menerima uluran tangan Windari, hatinya berdesir saat gadis itu mengecup tangannya dengan khidmat.

Ternyata seperti ini menjadi suami, sangat menyenangkan. Ia berharap akan selalu merasa getaran bahagia ini. Andai pun ada masalah dalam rumah tangga kelak, mereka berdua dapat menyelesaikannya dengan cepat.

"Cium, dong. Kakak mau ambil foto, nih," pinta Alma.

Langit enggan menurut, ia tidak mau mempertontonkan hal seperti itu di depan umum. Tetapi paksaan Kak Alma membuatnya terpaksa mengalah. Mencium kening Windari, ia menahan senyum saat tubuh istrinya berubah kaku. "Kita sudah halal, kamu tidak perlu takut lagi," bisik Langit berharap Windari saja yang mendengar.

Ia kembali duduk tegak dengan senyum tipis, inginnya kembali mengganggu Windari, tapi penghulu di depan memintanya segera menandatangani berkas-berkas pernikahan mereka.

"Apa yang dikatakan Langit, kenapa wajahmu merah?"

Langit menggeleng mendengar ucapan Kak Alma yang penasaran. Kakak perempuannya itu memang selalu ingin tahu. "Kakak ingin tahu saja," kata Langit begitu menyelesaikan urusannya dengan penghulu.

Alma terkekeh. "Ini cincinnya. Pakainya yang lama ya, Kakak mau ambil foto juga."

Lagi-lagi Langit mendengkus, tapi ia tetap menurut. Kak Alma begitu mengetahui Windari setuju menikah, langsung bergerak cepat. Dia mengurus segala berkas yang di perlukan dan memaksanya membeli cincin untuk mas kawin.

Saking tidak sabarnya Kak Alma bahkan mengabaikan Windari yang belum libur sekolah. "Kakak senang akhirnya kalian menikah." Alma mengusap sudut mata. "Kakak bisa lega meninggalkan kalian berdua," kata Alma setelah Langit menyematkan cincin di jari Windari.

"Tante." Windari menggigit bibir, air mata mulai mengaliri pipi.

"Jangan menangis. Tahun depan jika kamu ingin mengunjungi Tante boleh kok. Tapi sama Langit, ya."

Windari mengangguk, ia mengusap air mata yang semakin deras menuruni pipi. "Tante harus baik-baik di sana. Harus sembuh dan gak boleh sakit lagi."

"Iya, Sayang. Sekarang jangan menangis, ya. Ini kan hari bahagia kamu." Alma mengusap pipi Windari, ia terkekeh.

"Tante juga menangis." Windari cemberut.

"Tante bahagia," kata Alma mencium kening Windari. "Jadi istri yang baik, ya. Yang bisa menjadi teman berbagi untuk Langit. Jangan suka ribut, jangan sering membantah jika diberi nasehat. Jangan besarkan suara jika sedang marah." Nasehat Alma sembari memeluk tubuh Windari, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

Emergency Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang