BAB 7

2.3K 258 42
                                    

Sejenak menjauhkan diri dari ingar-bingar kesibukan di Ibu Kota. Pantai merupakan destinasi menarik dan tak bosan untuk dikunjungi. Memandang luasnya hamparan laut, mendengar semarak debur ombak di kala menghempaskan diri ke tepian pantai, merasakan hangat belai embusan angin di kulit pun saat butiran pasir menggelitik di telapak kaki. Semua itu sungguh sayang bila terlewatkan.

Mereka tengah berada di Pulau Enoshima, terletak di seberang Teluk Fujisawa, Prefektur Kanagawa. Naru duduk dengan kedua kaki yang ditekuk, beralaskan jaket denim miliknya. Tangan-tangannya memeluk kedua lutut. Sambil memejamkan mata, Naru menarik udara perlahan sebagai relaksasi untuk pikiran yang penat.

Nata terkikik geli ketika sengaja menciprati air ke wajah Naru. Lelaki itu mengerjap berulang, lalu membuka kelopak matanya dan di saat yang sama Nata tergelak kencang seraya berlari, menghindari kejaran langkah panjang Naru, yang harusnya dia tahu tidak mungkin bisa lolos dari tangkapan lelaki itu.

"Mau bermain-main denganku, ya? Ayo kita lihat, siapa sekarang yang akan berteriak mohon ampun." secepat kilat Naru memenjarakan tubuh Nata, menyergapnya dari belakang. Dia memeluk kuat perempuan itu, sedangkan Hinata berupaya keras melepaskan diri, meronta-ronta dengan jerit tawa melengking tatkala Naru mulai menggelitik perut juga pinggangnya dan dia menggeliat kegelian. "Masih tidak menyerah juga? Mau aku tambah lagi, hem?"

"Iya, iya...! Ampun! Cukup!" dada Hinata kembang kempis karena napas yang memburu. "Aku cape Naru." lelaki itu langsung melonggarkan kunciannya, tapi Hinata justru memanfaatkan kesempatan untuk kabur. Dia menginjak kaki Naru hingga lelaki itu mengaduh dan refleks melepas tubuh Hinata dari pegangannya. Cepat-cepat Nata kembali berlari setelah sempat menjulurkan lidahnya.

"Awas ya, kalau dapat! Tidak kuberi ampun." Naru berujar seorang diri, sebelum mengejar kekasihnya yang terus meledek dari kejauhan.

Keduanya berlari menyusuri tepi pantai yang nyaris tertelan ombak. Sesekali percikan gelombang menghantam tubuh mereka. Senda gurau silih berganti, ekspresi gembira kentara terbaca di paras sejoli tersebut. Sebentuk momen sederhana, namun menimbulkan kebahagiaan yang melekat dalam memori.

"Ayo, tangkap aku kalau bisa."

"Sini, sayang! Akhirnya aku mendapatkanmu. Berani berbuat, berarti siap dihukum." Naru menarik tangan Hinata ke pelukan. Dia mengangkat tubuh kekasihnya, lalu berputar-putar sampai Hinata merentangkan kedua tangan. Sapuan angin membuat helai rambut hitamnya berayun-ayun, dia berteriak keras menyebut nama Naru dengan senyum mengembang. Begitu netra jernih mereka bersitatap, gemulai lengan Hinata merangkul leher Naru. Ada pandangan berbeda di antara keduanya, bagai seberkas pancaran cinta yang murni dan mereka ingin meyakinkan kebisuan itu untuk satu sama lain. "Kau senang?" suara Naru lirih terdengar, teredam bunyi arus liar samudra. Dia mengamati wajah kekasihnya yang tersipu-sipu merona, bahkan sedari awal mereka menapakkan pijakan ke tempat ini.

"Terima kasih. Aku belum pernah segembira ini." Nata menghadiahi dekapan secara tiba-tiba, tapi Naru langsung membalas erat dengan rangkulannya.

"Hanya ini yang bisa kuberikan." Perkataannya senantiasa berterus terang, sehingga menyebabkan Nata sering terdiam. Perempuan itu lebih suka tersenyum dan seperti sekarang ini pun sama, terkecuali dia terlihat seakan merasa tak puas untuk memeluknya lebih kuat, semakin kuat dan kuat lagi.

-----

Suasana sore mulai terasa di saat angin bersilir-silir menyapu halus di kulit. Sedikit demi sedikit serpihan jingga pun muncul ke permukaan langit. Ia adalah keindahan mutlak yang kehadirannya kerap dinanti banyak pasang mata di muka bumi, tak ubahnya Naru dan Nata.

Sembari menunggu panorama cantik itu menyapa, keduanya kini berpindah ke jembatan Enoshima Bentenbashi. Merupakan jembatan yang menghubungkan Kota Fujisawa dengan Pulau Enoshima. Jembatan sepanjang tiga ratus sembilan puluh meter tersebut dikhususkan bagi pejalan kaki. Ada keunikan dari jembatan ini, orang-orang bisa berjalan kaki di jalur bawah jembatan, yang terbentuk di waktu air laut sedang surut.

Hinata duduk pada tembok beton putih di pangkal jembatan. Permukaan catnya tampak lapuk tertutup lumut. Sementara itu Naru berdiri agak membungkuk di hadapannya, menopang tubuh dengan kedua tangan menekan sisi atas tembok, pandangan lelaki itu meneliti ke sekitar, di mana keseluruhan Pulau Enoshima dapat teramati.

"Kalungmu bagus. Baru, ya?" tanya Hinata selagi dia memerhatikan liontin yang menggantung di leher Naru dan ketika kekasihnya menggeleng-geleng, Nata kemudian berkata lagi, "Tapi selama ini kau tidak pernah memakainya."

"Aku menyimpannya. Ibu Anna bilang kalung ini sudah ada sejak aku bayi," kening Nata berkerut. Merasa asing dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Naru. "Beliau salah satu pengurus di yayasan tempat aku tinggal dulu." pengakuan Naru membuat dia mengangguk-angguk.

"Persis seperti bola matamu, berkilau." menyadari bila kekasihnya cukup antusias dengan kalung itu, Naru tersenyum seraya mengambil liontinnya dari tangan Hinata.

"Entah lah, mungkin cuma dugaan. Tapi seperti aku punya sesuatu yang kuat dengan kalung ini, aku takut mengilangkannya. Itu juga alasan, kenapa aku jarang memakainya." Hidung Nata mengernyit diiringi kelopak matanya yang berkedip-kedip singkat.

"Sesuatu seperti apa maksudmu?" Naru langsung mendongak, kemudian mengedikkan pundak. Pertanda bahwa sebenarnya dia pun belum dapat memahami ke mana arah ucapannya. Sekian detik berselang, Napas Nata terbuang ringan.

Disela-sela keheningan mereka, cahaya oranye sang surya menyapu sebagian wajah Naru, memperlihatkan warna pirang keemasan dari rambut-rambut halus yang memenuhi wajahnya. Tatapan Hinata terkunci, tanpa sadar lengannya terangkat pelan hingga kedua telapak tangan pun menangkup rahang tegas sang kekasih, jemari Hinata membelai lembut di sana. Betapa dia mengagumi segala keindahan yang terpahat jelas di paras lelaki itu.

Dalam situasi serupa, Naru terpaku akan pesona kecantikan kekasihnya. Mata yang bulat, bulu mata lentik serta pipi gembil yang seketika memerah setiap kali dia menggodanya. Sama-sama terhanyut ke dalam daya tarik, mendorong sejoli itu ingin mencecap keintiman.

Ciuman singkat, kemudian tatkala mata bicara di balik sebuah tuntutan, keduanya saling memagut penuh hasrat. Bunyi kecap bibir bersahut-sahutan. Tangan Hinata melingkar penuh ke leher Naru dan dia membalas dengan tekanan di tengkuk sang gadis.

Suasana tepat untuk memadu kasih, keduanya
tak ingin melewatkan sekecil apa pun reguk yang dapat dinikmati. Sungguh rasa manis nan memabukkan. "Ugh!" Naru meringis kesakitan sambil memegangi bibirnya yang tergigit oleh Hinata.

"Ups! Sorry, aku tidak sengaja," seketika Hinata meminta maaf, menunjukkan prihatin di rautnya. "Berdarah 'kan, makanya jangan buru-buru." Lagi, dia katakan, sambil mengusap setitik noda merah di bibir Naru. Tiba-tiba, keduanya tertawa berbarengan dan senja pun berlalu saat Naru memeluk Hinata seraya menyelipkan muka di ceruk leher kekasihnya.





Bersambung...

To be Lovesick ✓Where stories live. Discover now