BAGIAN 4

465 18 0
                                    

Sambil tertawa terbahak-bahak, Raden Banyu Samodra menghampiri rumah Ki Amus. Dan dengan angkuh sekali dia memasuki beranda, lalu berdiri tegak sambil berkacak pinggang di pinggiran beranda depan rumah kepala desa itu. Sementara, Layung Sari, Paman Ardaga, dan beberapa orang tua membantu berdiri Ki Amus. Kepala desa itu masih menderita kelumpuhan, akibat beradu tenaga dalam dengan Raden Banyu Samodra tadi.
"Dengar kalian semua...! Mulai saat ini, aku yang berkuasa di sini. Kalian harus patuh pada perintahku. Siapa saja berani membangkang, tidak segan-segan kepala kalian kujadikan hiasan tiang-riang perahu!" lantang sekali suara Raden Banyu Samodra.
Tak ada seorang pun yang membuka suara, meskipun di dalam hati mengutuki pemuda itu. Semua penduduk di desa nelayan itu sudah melihat kedigdayaannya. Dan tak ada seorang pun yang berani menantang. Ki Amus saja yang diketahui memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi, bisa dibuat lumpuh seketika.
"Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, pemuda berpakaian sutra halus yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu melangkah masuk ke dalam rumah Ki Amus. Dia memang bermaksud menjadikan rumah kepala desa itu sebagai istananya. Dan memang, hanya rumah Ki Amus saja yang paling bagus di desa nelayan Pesisir Pantai Utara.
"Ayo, Ki. Sebaiknya tinggal di rumahku saja dulu," kata Paman Ardaga sambil memapah Ki Amus.
"Terima kasih," ucap Ki Amus pelan.
Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Amus, Kecuali menurut saja saat dipapah Paman Ardaga dan Layung Sari. Sementara, semua orang hanya dapat memandangi dengan wajah lesu. Mereka baru meninggalkan halaman depan rumah kepala desanya setelah Ki Amus tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumah Paman Ardaga bersama putrinya.

***

Sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa nelayan di Pesisir Pantai Utara, keadaannya bagaikan berada dalam lingkaran api neraka. Keinginannya macam-macam saja dan tidak bisa dibantah lagi. Beberapa pemuda desa yang mencoba menentang, kepalanya benar-benar menjadi hiasan tiang perahu. Bahkan tidak sedikit gadis yang diambil paksa dari tangan orang tuanya.
Bahkan setiap gadis yang sudah jatuh ke tangannya, tak akan ada yang bisa melihat lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasib gadis-gadis itu. Hari demi hari berlalu. Keadaan di desa itu semakin gersang oleh ulah Raden Banyu Samodra. Dia benar-benar menancapkan kuku kekuasaannya begitu dalam. Hingga, tak ada seorang pun yang berani menentangnya.
Tapi anehnya, sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa itu, Naga Laut berwarna hijau yang memancarkan cahaya tidak pernah kelihatan lagi. Bahkan desa itu tidak pernah lagi dilanda badai.
"Kita harus segera bertindak, Ki," kata Paman Ardaga dengan nada suara terdengar geram.
"Dengan cara apa...?" tanya Ki Amus lesu. "Sedangkan aku sudah tidak punya daya lagi. Jangankan untuk menantang, mengangkat tanganku saja sudah tidak mampu lagi."
"Tapi, Ki. Kalau didiamkan terus begini, desa kita ini bisa hancur," desah Paman Ardaga.
"Desa ini memang sudah hancur. Bahkan sudah musnah," selak Layung Sari sambil menyuapi ayahnya.
"Aku tidak akan tinggal diam begitu saja, Ki," kata Paman Ardaga lagi.
"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Amus.
Paman Ardaga tidak segera menjawab. Tapi memang, dia tidak mempunyai satu cara pun untuk mengusir Raden Banyu Samodra. Sedangkan ilmu olah kanuragan saja hanya sedikit dimilikinya. Jadi tidak mungkin dia bisa menantang Raden Banyu Samodra yang semakin menggila saja tingkahnya.
"Ki! Bukankah kau pernah mengatakan kalau kedatangan si iblis keparat itu karena mencari seseorang...," kata Paman Ardaga, setelah cukup lama berdiam diri termenung.
"Benar. Dia sendiri yang mengatakannya padaku," sahut Ki Amus.
"Siapa orangnya yang sedang dicari, Ki?" Tanya Paman Ardaga ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Ardaga?" Ki Amus malah batik bertanya.
"Mungkin kalau kita bisa bertemu orang yang dicarinya lebih dahulu, desa ini bisa dikembalikan seperti semula, Ki," kata Paman Ardaga agak ragu-ragu nada suaranya terdengar.
"Hm.... Kau yakin itu?" Tanya Ki Amus juga ragu-ragu.
"Itu hanya kemungkinan saja, Ki," sahut Paman Ardaga.
Ki Amus terdiam. Matanya melirik sedikit pada Layung Sari yang masih tetap duduk di sampingnya. Sedangkan gadis itu malah memandangi, seakan-akan sedang membaca jalan pikiran laki-laki setengah baya yang menampung mereka di rumahnya ini, sejak Raden Banyu Samodra menjadikan rumah mereka untuk tempat tinggalnya.
Saat itu, dari dalam sebuah kamar muncul seorang gadis cantik yang mengenakan baju dari bahan sederhana. Kepalanya mengangguk sedikit pada Ki Amus. Lalu, dengan cekatan sekali dibenahinya bekas makan yang berserakan di atas meja. Layung Sari bergegas turun dari balai bambu, dan membantu gadis itu membenahi bekas makan mereka semua.
"Mari kubantu kau mencuci ini semua, Andari," kata Layung Sari.
"Ah, jangan. Biar aku saja yang mengerjakannya," tolak Andari halus.
"Sudah beberapa hari aku dan ayahku menumpang di sini. Sudah selayaknya kalau ikut mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di sini," kata Layung Sari memaksa.
Andari melirik sedikit ayahnya. Sedangkan Paman Ardaga hanya tersenyum saja. Maka Andari tidak bisa menolak lagi. Kedua gadis itu sebentar saja sudah menghilang di bagian belakang rumah sederhana yang hanya terbuat dari balik anyaman bambu ini. Sementara, Ki Amus dan Paman Ardaga masih tetap duduk di balai bambu, di ruangan depan. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tidak ada yang membuka suara. Sampai Andari dan Layung Sari muncul lagi, belum ada yang membuka suara sedikit pun. Kini kedua gadis itu duduk berdampingan di bangku panjang yang ada di bawah jendela.
"Kau lihat Ki. Tidak ada seorang pun yang pergi ke laut lagi. Padahal, dari sanalah sumber penghidupan semua orang di sini," kata Paman Ardaga baru membuka suara lagi. Ki Amus hanya diam saja. Kedua bola matanya kelihatan nanar, memandang ke arah laut dari jendela yang terbuka lebar. Angin laut yang berhembus lembut, membawa aroma yang sudah tidak asing lagi bagi hidung mereka. Dan di sana, terlihat perahu nelayan yang semuanya tertambat di pantai. Tak ada seorang pun yang kelihatan berada di tengah laut. Dan kejadian ini sudah berlangsung lebih dari dua pekan lamanya.
"Ki, kurasa tidak ada salahnya kalau salah satu dari kita berusaha bertemu lebih dahulu dengan orang yang dicari si iblis keparat itu," kata Paman Ardaga lagi.
"Inilah yang menjadi persoalannya, Ardaga," kata Ki Amus agak mendesah perlahan.
"Maksudmu, Ki...?" Paman Ardaga meminta penjelasan.
"Orang yang dicari adalah Raja Karang Setra," sahut Ki Amus pelan.
"Maksudmu..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?"
Jelas sekali, kalau dari nada suaranya Paman Ardaga terkejut mendengar maksud kedatangan Raden Banyu Samodra sebenarnya yang hanya untuk mencari Raja Karang Setra. Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Dan semua orang sudah tahu, Raja Karang Setra juga seorang pendekar digdaya yang lebih banyak mengembara daripada di istananya.
Jelas sangat sulit untuk bertemu Raja Karang Setra. Dan rupanya, hal ini yang menjadikan beban pikiran Ki Amus sampai saat sekarang. Paman Ardaga sendiri jadi terdiam termenung begitu mendengar penjelasan Ki Amus, tentang tujuan Raden Banyu Samodra.
"Tapi, Ayah.... Untuk apa dia mencari Gusti Prabu Rangga?" Tanya Layung Sari menyelak, di saat semua terdiam membisu.
Ki Amus tidak langsung menjawab, karena memang tidak tahu tujuan Raden Banyu Samodra mencari Raja Karang Setra. Tapi, Raden Banyu Samodra memang pernah berkata kalau Raja Karang Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke desa ini. Tapi entah kapan, tak ada seorang pun yang bisa memastikannya.
Sedangkan saat ini, hampir semua orang di Karang Setra tahu kalau Rangga sedang mengembara bersama Pandan Wangi. Dan seorang pun tak ada yang tahu, di mana mereka berada. Apakah benar Rangga akan datang ke desa nelayan ini, seperti yang dikatakan Raden Banyu Samodra...?

77. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Naga LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang