15

1.8K 252 67
                                    

"Tidak apa-apa kalau kau pulang sendiri, Kai?"

Kai memutar bola matanya, lalu menatap Yeonjun seolah ia baru saja mengatakan hal yang paling aneh sedunia.

"Aku selalu pulang sendiri, Yeonjun-ah. Jangan anggap aku seperti anak TK. Lagipula shift kerja kita memang berbeda, mau bagaimana lagi?"

Yeonjun menggangguk kecil. Ia hanya tidak rela berpisah dengan Kai secepat ini. Tapi posisinya sebagai manajer di Apple's Appetite memaksa ia harus tetap berada di restoran hingga tutup—kemudian mulai menghitung pendapatan perhari dan juga urusan lainnya.

Yeonjun membelai pipi Kai, lalu mengelus bibir bawah Kai dengan ibu jarinya. "Aku mencintaimu, Kai." Yeonjun berbisik pelan dan mengerling. Ucapan itu sontak membuat pipi Kai bersemu. Mereka saat ini berada di pintu belakang dan tidak akan ada yang mendengar ucapan rayuan barusan. Kai mengecup pipi Yeonjun cepat sambil tersenyum lebar.

"Aku tahu," balasnya sambil melambaikan tangan. Kai menutup pintu perlahan. Lalu saat ia berbalik dan mengangkat kepalanya... Soobin ada di sana.

___

Kai memilin jemarinya gugup. Ia berulang kali menyesap kopinya dan melarikan mata ke luar dinding kaca—kemana pun asal bukan mata Soobin yang duduk di seberang meja bundar.

Mereka kini berada di salah satu café, masih di ruas jalan yang sama dengan Apple's Appetite. Dan sudah sepuluh menit tidak ada satupun di antara mereka yang memulai membuka suara.

Berbeda dengan Kai yang tampak sangat gelisah, Soobin tampak tenang di atas kursinya. Ia bahkan belum menyesap sekali pun kopi yang pesanan, hanya menatap riak kopi di permukaan.

Kai jelas sadar kalau Soobin tampak kacau—dan dia bahkan bisa menebak alasannya. Hanya saja... apapun yang akan Soobin katakan, semuanya sudah terlambat.

"Laki-laki tadi... siapa?"

Kai tersentak saat akhirnya Soobin membuka mulut untuk berbicara. Ia menggigit bibirnya gugup sebelum kemudian menjawab nyaris seperti sebuah bisikan, "Kekasihku."

Soobin tampak sangat terpukul saat Kai menjawab demikian. Ia tidak bisa membantah, apalagi marah. Soobin dan Kai adalah dua orang tanpa hubungan yang jelas. Dan itu salah dirinya sendiri. Soobin tahu itu.

"Apa sekarang kau tinggal bersamanya?"

Soobin merasakan denyut nyeri di dadanya saat melihat Kai mengangguk pelan. Laki-laki cantik di hadapannya ini masih tidak mau menatap mata Soobin. "Kai, lihat aku. Kumohon."

Kai—yang masih menggigit bibir bawahnya—perlahan mengangkat kepalanya. Di detik saat matanya bertatapan dengan mata Soobin, Kai sudah siap untuk menangis. Dia tidak suka ini. Dia sudah bertekad akan meninggalkan Soobin dan berbahagia dengan Yeonjun. Tapi disini, berhadapan dengan Soobin membuatnya goyah.

"Apa kau akan meninggalkanku, Kai?"

Kai menarik tangannya yang sedari tadi menyentuh gelas kopi. Ia membawa tangan itu bersembunyi di balik meja, ia letakkan di atas paha dan kini ia genggam kuat. Kendati wajah Kai tampak tenang, tapi ia sangat gelisah di dalam.

Tak kuasa membuka mulut hanya untuk mengucapkan, "Ya", Kai menjawab dengan anggukan pelan. Soobin—lagi-lagi—tampak sangat kecewa.

"Kalau kau pergi... bagaimana denganku, Kai?" Suara Soobin terdengar bergetar. Wajahnya yang pucat tampak menyedihkan, dan ia berkata seolah-olah tak bisa hidup tanpa Kai.

Kau terlambat, Soobin-ah.

"Selama ini kau juga hidup tanpaku, Soobin-ah."

Soobin menggeleng kuat. "Tapi kau datang dan menyusup di dalam kepalaku, Kai. Kini kau adalah segalanya bagiku. Kumohon jangan—"

"—Berhenti." Bibir Kai bergetar saat ia kembali melanjutkan, "Jangan ucapkan itu. Aku tidak bisa, Soobin-ah." Jangan minta aku untuk tinggal disisimu.

"Aku... dulu menyukaimu. Saat kau menganggap kita hanya teman, saat kau berpacaran dengan Hyejin, bahkan saat kau menikah, aku masih menyukaimu. Sekarang pun begitu, Soobin-ah. Tapi rasa suka itu tidak membuatku bahagia. Aku tidak bahagia dalam mencintai. Rasanya seperti... aku akan dibuang suatu saat nanti. Dan aku tidak sanggup hanya dengan membayangkannya."

Pandangan Kai kini kabur oleh air mata. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak saat ini juga. Saat Kai berkedip, air mata yang telah menunggu tumpah itu mengalir melewati pipi Kai, berhenti beberapa saat di rahang sebelum kemudian jatuh di atas punggung tangannya.

"Karena itu... sebelum kau meninggalkanku, aku yang akan pergi."

Kai berdiri, otomatis kursi yang ia tempati terdorong oleh kakinya—menimbulkan suara derit sesaat. Sebelum benar-benar melangkah pergi, Kai sekali lagi menatap Soobin—yang masih tak mengatakan apapun. Kai bisa melihat bagaimana Soobin terlihat sangat frustrasi, ingin menahan Kai namun Soobin sadar kalau ia benar-benar tak mampu.

"Ah, aku akan mengirim orang untuk mengambil barang-barangku."

"Selamat tinggal, Soobin-ah."

Soobin menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar, dan ia menangis disana. Sakit sekali. Kehilanganmu ternyata semenyakitkan ini, Kai.

Bukannya Soobin tidak ingin memperjuangkan Kai. Ia ingin sekali. Namun pilihan itu benar-benar sangat sulit. Soobin sudah melihat Kai  bahagia dengan orang yang mencintainya, Soobin mulai berpikir bahwa benar kalau ia melepaskan Kai.

Kai berhak bahagia, dan itu bukan dirinya yang sudah sangat sering menyakiti Kai.

.

.

.

a/n:

Ini semua masih belum berakhir loh ya, sabar.

BTW aku nulis SooKai baru : COSMOS. Cobain kuy.

DAFFODILS | SooKaiWhere stories live. Discover now