Burger King vs KFC

10 0 0
                                    

Aku tidak ingin seperti Dilan dan Milea yang baru saja tayang di bioskop. Mereka menyesal di kemudian hari, kalau ternyata mereka hanya salah paham. Dilan kira Milea sudah punya pacar, dan sebaliknya. Lalu, cerita mereka berakhir dalam penyesalan kesalahpahaman. Dan meninggalkan teka-teki selamanya di dunia Milea.

Oh, tenang saja. Ini tidak sekompleks cerita mereka. Tapi, bisa kujamin, sama sakitnya.

Namaku Indira Adjani. Aku bertemu Radzi saat kami masih sekantor disebuah Kementerian RI di pusat Jakarta. 

Pertemuan kami sebenarnya sudah berbulan-bulan yang lalu sebelum kejadian sial itu datang. Baru dua bulan aku menduduki posisi sebagai operator Exit Permit di Kementerianku. Tugasku secara singkat, jika ada PNS atau non-PNS utusan lembaga berangkat ke luar negeri untuk keperluan dinas, izinnya harus diurus terlebih dahulu melaluiku.

"Permisi, Mbak. Saya mau urus surat Exit Permit Pak Julian. Radzi." tangannya yang cukup besar untuk tanganku yang kecil mengulur. Kusambut tangannya, "Indira. Silahkan duduk, Mas." Kupersilahkan dia duduk di bangku Mbak Ayu, teman sekomputerku dulu. Dia lagi sibuk ke bagian lain sepertinya, sehingga dia tidak menyaksikan apa yang terjadi.

Aku memberikan syarat-syaratnya seperti prosedur yang ditetapkan. Mau tidak mau, kita harus bertukar nomor telepon, jika sewaktu-waktu ada yang kurang atau bahkan izinnya sudah keluar.

"Okay, Mbak. Makasih ya. Kalau sudah selesai akan saya kirim surat-suratnya." dia sambil beranjak dari kursi lalu pergi. "Iya, sama-sama." sambil berniat melanjutkan kembali pekerjaanku.

"PSSSTTT! PSSSSTTT!," suara dari belakang kursiku ini cukup melengking hingga aku menoleh. Ah, ternyata Ila yang sedang protes, "IH INDIRA! LO BEGO APA GIMANA SIH?! ITU ANAK BARU YANG GANTENG BANGET, TAU! KOK LO SIA-SIAIN GITU AJA SIH?!"

Hah? Gimana? Ganteng? Ah, gatau sumpah! Ga terlalu merhatiin mukanya gimana. Yang kuingat hanya suaranya yang halus namun tegas. Oh iya! Posturnya juga tinggi tegap. Bentar deh, rambutnya juga aku inget kok, cepak gitu ga sih? Kulitnya juga, coklat, sama kaya warna matanya yang bersembunyi ketika dia sedang senyum. Alias matanya kecil, tidak sipit. Kumis? Tipis, sih, kayaknya. Bibirnya tipis, hidungnya mancung. Eh bentar! Kok jadi inget semua?

"Aku gatau Ila, oh dia ya? Biasa aja kok!" protesku kembali karena aku tidak tahu apa-apa tapi masih saja disemprot.

"Ada apa sih?! EH DEK! MBAK BARU AJA LIAT ANAK BARU YANG DIOMONGIN SEMUA BAGIAN ITU! BARUSAN DIA LEWAT SINI. NGAPAIN YA DIA? IYA LOH DEK GANTENG KALI DIA!" heboh Mbak Ayu yang baru saja datang dari bagian lain. Kalian bisa tebak pasti, iya bener, dia orang Sumatera, Palembang kental.

"Sumpah Mbak, aku ga tau. Iya dia habis dari sini kayaknya pas Mbak lihat. Mau urus suratnya Pak Julian. Mau ke Itali doi, ada acara kopi di sana." kujelaskan ke Mbak Ayu yang menggebu.

"Kamu sama dia aja, Dek. Daripada sama Si Andy. Mbak gak suka sama dia. Sombong." bujuk Mbak Ayu. Mbak Ayu ini memang teman kerja yang sedikit protektif, dan dia memang sudah menganggap aku sebagai adiknya. Bayangkan saja dia bisa mengaturkan calon jodohku. Tidak apa-apa, aku cukup senang diatur.

Itulah do'a pertama yang aku diamkan. Tidak ada amin sebagai balasannya. Karena betul-betul aku tidak ada maksud. 

Selanjutnya, kami berurusan seperti biasa. Melalui Whatsapp, sesekali dia menghampiriku. Aku menolak dipanggil "Mbak". Seperti apa saja dipanggil "Mbak". Aku bukan kakaknya kok. Sebagai imbalan diapun tidak ingin kupanggil "Mas". Okay, deal.

Setahun kemudian, bagian Sekretariat, bagianku pindah ke gedung sebelah. Iya, hanya bagian kami saja. Sisanya masih di gedung yang sama. Jadi, jika bagian lain ingin mengurus administrasi sesuatu, mereka harus ke gedung kami, gedung sebelah. Agak merepotkan, namun mau diapa, sudah kebijakan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 24, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Bucket of WishWhere stories live. Discover now