PART 8

5.8K 361 46
                                    

Seperti biasa Adzan subuh menjadi penentu, berakhirnya teror mbak Santi yang menghantui kami.
Eva yang meditasi semalaman di depan lilin yang sudah padam sejak lama, kini tengah duduk di kursi memperhatikan kami bertiga yang saling peluk satu sama lain.

Pukul 6 Pagi Isna bangun dari tidurnya, ia nampak heran melihat kami bertiga yang tidur dengan bersandar di tembok ruang tamunya.

"Mbak, Mbak, tangi he, wes awan" (mbak bangun sudah siang) Isna menepuk pelan kami bertiga secara bergantian.

Juminten mengucek kedua katanya, ia nampak masih mengantuk saat Isna membangunkan kami.
Aku dan Dista bergantian memasuki kamar mandi, masih terbayang di ingatanku, tentang mbak Santi yang menghantui kami.

"Terus oleh e, awakmu silo mambengi iku opo Va?" (yang kamu dapat dari bersila semalam itu apa Va?) Tanya Dista pada Eva yang duduk di samping Juminten yang melanjutkan tidurnya.

"Iku iblis, mergo matine Santi ora di suceni pas di kubur" (Itu iblis, karena matinya Santi tidak di sucikan) Jawab Eva dengan nada serius.

"Terus kate di dudah ta, kuburane Santi" (Lalu mau di bongkar kah, kuburan Santi) Kali ini suara Juminten yang tidur di paha Eva mulai penasaran.

"Nek di dudah awakmu ae Jum seng ngedusi karo mbuak susuk'e mbak Santi" (kalo di bongkar kamu saja jum, yang mandiin dan buang susuknya mbak Santi) Jawabku menimpali Juminten.

"Nang Kakikmu ngono Shep" (Kakimu Shep) Sahut Juminten, melengos.

"Asline yo opo seh, Santi kok iso dadi medi ngono iku?" (Aslinya gimana sih, Santi bisa jadi hantu begitu?) Tanya Dista heran ke arah kami.

"Koen kerjo adoh adoh, gak eroh transformasi ne, Santi dadi medi bendino ngedok lawang omah karo nawakno jajane" (Kamu kerja jauh, tidak tahu hantunya Santi tiap malam mengetuk pintu menawarkan kuenya) Jawab Juminten panjang.

"Cangkemu Jum" (Mulutmu Jum) Umpat Dista kesal.

"Ancene iyo, Mbak Santi ngedor lawang ben bengi" (emang iya, Mbak santi mengetuk pintu tiap malam) Isna menimpali.

"Is, koen turu ta, keblinger? suwengi ora ngelilir babar blas, kancane kepoyoh kepeseng ngejer, awakmu isone ora tangi" (Is, kamu tidur atau pingsan, semalaman tidak bangun, teman ketakutan kamu tidak bangun) Tanya Juminten pada Isna.

"Lha moro moro tangi isuk e, Mbak Jum hehehe" (Tiba tiba bangun pagi) Jawab Isna sambil tersenyum senang.

"Terus solusine yok opo iki Va?" (Terus solusinya gimana ini Va?) Tanya Dista pada Eva.

"Yo kudu medot susuk e, marani nang omahe dukun e" (Harus memutus susuknya, dengan datang ke rumah si dukun) Jawab Eva santai.

kami berempat memandang Eva dengan tatapan heran, bagaimana bisa tau rumah dukunnya, sedangkan mbak Santi memasang susuk saja kami tidak tahu.

"Tenang, Santi nyimpen catatan alamat e nek kamare" (Tenang santi menyimpan catatan alamatnya di kamar) Ucap Eva menepis keheranan kami.

"Terus sopo seng kate marani nang omae dukune?" (terus siapa yang kerumah dukunya) Tanyaku masih heran.
Mereka beralih memandang ke arahku.

"Yo awak dwe lah, Shep" (Ya kita lah) Jawab Dista singkat.

"Aku kan ora oleh metu adoh, Mbak" (Aku kan tidak boleh keluar jauh, Mbak) Kataku memberi alasan.

"Aku seng ngomong nang Lek Eni, mariki" (Aku yang bilang sama Bibi Eni, habis ini) Jawab Dista pelan.

"Jum koen terno Eva moleh ganti karo salen, aku karo Shepia tak nang omahe Anam" (Jum kamu anterin Eva pulang, ganti pakaian, aku sama Shepia ke rumah Anam) Kata Dista tegas memberi perintah, kekesalan nampak muncul di wajah cantik kakak sepupuku ini.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang