prolog: eclipse

129 17 4
                                        

One day in Yogyakarta, when we were both 20...

Wajah Sani redup hari itu, berbeda dari biasanya, matahariku kehilangan cahaya, pikirku. Sesuatu menyusun kelabu di depan wajahnya, menciptakan muram tipis yang bergerimis.

Ia memulas bibirnya dengan gincu warna merah segar yang sama sekali tidak membantu kesan dirinya. Matanya tampak bengkak meski ia berusaha menutupinya dengan riasan di bawah matanya. Senyumnya yang biasa terasa manis dan hangat, hari itu terasa masam dan memaksa hingga terasa dingin.

Sani bukannya tidak berusaha untuk menyenangkanku, ia justru berusaha terlalu keras dengan melemparkan senyum-senyum kecil pada tiap leluconku, mencoba menanggapi semua hal yang kubicarakan meski pikirannya ada di ruang yang tidak mampu aku raih. Seiring waktu bergulir dan malam semakin tua, semakin tidak mungkin bagiku atau dirinya mengabaikan duri kecil yang tersangkut di dalam kebersamaan kami sesorean.

"Kamu kenapa, San?" Aku bertanya.

Sani menggeleng, mengangkat kedua sudut bibirnya tanggung, berusaha tersenyum meski tak sampai. Ia mengaduk es jeruknya dengan sendok besi tahan karat, termenung, tampak membayangkan sesuatu berputar pada pusaran air jeruk berwarna kuning pucat itu. Aku memperhatikan wajahnya yang tampak semakin kusut, meraih tangannya.

"Sani, kalau kamu mau bilang sesuatu, please kasih tahu aku," kataku.

Ia terkesiap melihat tanganku mengusap punggung tangannya dan ia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Keenan,"

Ia menelan ludah dan memejamkan matanya, menarik napas panjang dan melepaskan beban di dadanya keras-keras.

Ah, begitu, pikirku waktu itu sambil mengingat rangkaian kejadian yang terjadi sebelum kami bertemu hari itu.

Aku memperhatikan sudut-sudut wajahnya, mempersiapkan diri pada apa yang akan ia ucapkan. Lalu detik itu, ketika ia mengangkat bibir lembutnya dan memberitahuku hal yang selalu dikhawatirkannya, aku tahu, hidupku tidak akan lagi jadi milikku sendiri.

"Aku hamil," ujarnya.

Aku bertahan bersama Sani yang terdiam, menggenggam tangannya erat, tepekur pada masa depan yang belum terjadi. Dalam menit-menit yang beku, aku sadar aku pun takut. Sama sepertinya, aku tidak tahu harus apa.[]

¤•¤•¤•¤

This is a draft i made in 2018, i hope you like it. Will really appreciate if you vote for this story or have anything to say about it lol. Thanks!

This is an additional note i made in 2022 prior to lesserafim redebuting miss miyawaki sakura. I can't believe i decided to put this story out there after *i'm counting* 5 years almost, wow, omg, anyway, i haven't done writing it, but it will be an easy story i think, hopefully, a funny one. I'm aiming weekly update, bismillah

[🔛] Being a DadWhere stories live. Discover now