15. Ning Aida

2.4K 209 14
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Ini versi Fikri
_____________

Tatkala mata tak lagi mampu melihat binar bahagianya, tak lagi bisa memberi guyonan untuk menggodanya, sesak ternyata. Apa yang terucap dari lisan tak seringan bila dikerjakan. Melepas berlian yang ada di depan mata  untuk orang lain sungguh sulit. Tapi tak ada jalan lain, aku yang harus mundur.

Dua sisi, bila aku tetap bertahan maka ada hati lain yang tersakiti, terlebih dia sudah kuanggap seperti adiku sendiri. Mungkin memang takdir membawaku dalam situasi seperti ini untuk menjadi perantara dia bersatu dengan wanita yang selama ini ku perjuangkan. Ya, aku mengalah. Lebih baik hatiku yang remuk ketimbang dia yang begitu berharap pada wanita itu.

Bohong bila hatiku menerima begitu saja, munafik bila aku berkata tidak terluka. Mungkin ini yang dulu Fany rasakan, dia memilih mundur karena keadaan yang memaksa. Sekarang aku berada pada posisi yang sama dengannya dulu.

Ribuan kata maaf hanya mampu terucap dalam hati. Aku tahu, Fany begitu mengharapku tetap memperjuangkannya meski dia sendiri telah salah paham dengan situasi dulu. Dia menganggapku sebagai pria beristri. Sekali lagi aku minta maaf, maafkan aku yang masih menyembunyikan kebenaran, maafkan aku yang sampai saat ini tidak berani mengatakan cinta.

Hari kian siang dengan sinar matahari semakin terik. Aku duduk di teras ndalem sembari membolak-balik lembaran kitab Fiqih yang ada dalam genggaman. Abah tiba-tiba saja tadi pagi memintaku pulang ke ndalem menggantikan beliau untuk mengisi kajian kitab sore nanti. Awalnya aku menolak dengan banyak alasan karena memang rasa hatiku sedang tidak bersahabat untuk melakukan apapun kecuali berdiam.

Dengan segala macam cara Abah merayuku hingga kata setuju diperoleh beliau. Aku terpaku cukup lama dengan kalimat yang Abah lontarkan tadi, beliau seakan tahu hati dan pikiranku sedang dilanda gundah gulana. Beliau berkata padaku 'ikhlas itu susah kalau ndak benar-benar niatnya kuat.' Hanya anggukan sebagai jawabanku atas ucapan itu.

Usai melaksanakan sholat Ashar berjamaah di masjid pondok, kusempatkan berbincang sejenak dengan beberapa santri pengurus. Banyak hal yang tidak kuketahui sejak beberapa tahun meninggalkan ndalem. Hampir seluruh penjelasan tentang pengelolaan pondok putra dari administrasi hingga pembangunan pondok mereka paparkan secara rinci padaku.

Ternyata cukup rumit mengelola pondok pesantren. Terbayang bagaimana susahnya Abah mengurus pondok seorang diri setelah Umi wafat. Memang ada Mbak Nana, tapi hanya bisa membantu pada waktu tertentu saja karena Mbak Nana sendiri telah berkeluarga dan tinggal bersama suaminya. Dulu ada Bapak yang membantu Abah mengurus pondok pesantren mulai dari mengisi kajian kitab, mbadali Abah dan mengurus pembangunan. Tapi ternyata Allah juga memanggil Bapak hingga akhirnya Abah sendirilah yang mengurus pondok pesantren.

Beban mengurus pondok pesantren sebenarnya adalah tanggungjawabku setelah Abah. Terlebih dengan usia Abah yang sudah semakin sepuh harusnya tanggung jawab itu sudah beralih padaku sejak dulu. Tapi aku yang harusnya mengemban tanggung jawab itu malah sibuk dengan urusanku sendiri tanpa memikirkan nasib pondok pesantren kedepannya.

Jika pun sekarang Abah mengamanahkan seluruh tanggung jawab pondok pesantren padaku, aku belum siap. Butuh waktu dan pasangan yang akan membantuku mengurus.

"Le, Ndang berangkat ke Madrasah. Abah ndak enak kalau kamu terlambat, nanti dikira kita pilih-pilih tempat ngisi kajian. Yang pengajiannya gede datangnya awal, tapi kalau kecil telat." Seruan Abah dari ruang tengah membuatku kalang kabut.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now