BAGIAN 3

376 20 0
                                    

Entah sudah berapa lama dua anak muda itu berada di sana. Tapi yang jelas, mereka melihat semua yang terjadi barusan. Dan kini mereka terdiam membisu, memandangi tempat putra Ki Marta ditemukan tergeletak sudah tidak bernyawa lagi.
"Kakang. Apakah memang dia yang kita cari...?" terdengar pelan sekali suara gadis cantik berbaju biru muda itu, tanpa berpaling sedikit pun pada pemuda disebelahnya.
"Entahlah, Pandan. Aku jadi ragu-ragu juga," sahut pemuda berbaju rompi putih itu perlahan.
Gadis cantik yang dipanggil Pandan itu memalingkan mukanya sedikit, menatap wajah tampan di sebelahnya. Dia memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut di kalangan orang-orang persilatan.
Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang berdiri di sebelahnya, tidak lain dari Rangga. Dan dia juga dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, mereka berada di Desa Paranggada ini mempunyai satu tugas. Satu tugas yang tentu saja merupakan tugas sebagai pendekar.
"Kalau memang dia..., hm.... Tindakannya semakin biadab saja, Kakang. Dan ini tentu tidak bisa didiamkan terus-menerus," ujar Pandan Wangi lagi, masih dengan suara pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Jangan terlalu berprasangka, Pandan. Sudah cukup jauh kita mengejar. Dan sampai sekarang, kita belum tahu pasti keberadaannya," kata Rangga mencoba menyabarkan hati gadis ini.
Pandan Wangi memang cepat sekali naik darah. Apalagi melihat kekejaman terjadi di depan matanya. Sedangkan Rangga, selalu bisa menahan kesabaran. Bahkan harus terlalu sering mendinginkan darah Pandan Wangi yang cepat sekali mendidih.
"Ayo, Pandan. Kita cari kedai dulu. Sejak kemarin kau belum makan, kan...?" ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka kemudian melangkah menghampiri kuda yang ditambatkan tidak jauh dari tempat mereka berdiri di bawah pohon ini. Dua ekor kuda yang bagus dan tegap. Kuda itu tidak ditunggangi, tapi dituntun. Dan mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Paranggada ini bagai menjadi dua bagian.
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan kedua pendekar dari Karang Setra ini. Semua perhatian orang di Desa Paranggada tengah terpusat pada peristiwa pembunuhan penuh teka-teki yang mengambil tiga korban. Dan semua yang korbannya, tewas dengan leher terbabat hampir buntung.
"Di sebelah sana kelihatannya ada kedai, Kakang," ujar Pandan Wangi sambil menunjuk ke sebuah tikungan jalan.
"Hm.... Ayolah," ajak Rangga agak menggumam nada suaranya.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kudanya. Dan begitu sampai di tikungan jalan yang ditunjuk Pandan Wangi, mereka memang menemukan sebuah kedai yang tidak begitu besar, namun kelihatan begitu sepi. Kedua pendekar muda itu terus berjalan memasuki halaman kedai. Tampak seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun, berlari-lari kecil menghampiri.
"Kudanya, Den...," ujar bocah itu menawarkan jasanya.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya. Demikian pula Pandan Wangi. Sambil tersenyum riang, bocah yang bertelanjang dada itu menarik dua ekor kuda ini ke bagian samping kedai. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang perempuan tua bertubuh gemuk segera menyambut dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Silakan, Den..., Nini...," sambut perempuan gemuk itu, ramah.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai ini. Memang tidak besar, tapi kelihatan bersih sekali. Dan kedai ini sangat sunyi, tanpa seorang pun pengunjung. Rupanya, hanya mereka berdua saja yang datang ke kedai ini. Rangga memilih tempat tidak jauh dari pintu, tempat tadi masuk.
"Sediakan makanan enak, dan minumannya," pinta Rangga.
"Baik, Den," sahut perempuan gemuk itu, yang ternyata pemilik kedai ini. Perempuan gemuk itu bergegas melangkah ke bagian belakang kedai ini. Langkah kakinya terlihat terseok, mungkin terlalu berat menahan beban tubuhnya yang begitu gemuk.
Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan tak berapa lama kemudian, perempuan gemuk itu sudah kembali lagi bersama seorang gadis manis, sambil membawa sebuah baki kayu berukuran cukup besar. Dengan sikap ramah disertai senyuman manis mereka menghidangkan pesanan kedua pendekar muda ini. Rangga hanya memperhatikan saja. Sementara, Pandan Wangi sejak tadi terus mengarahkan pandangan ke jalan.
"Sebentar, Nyi...," cegah Rangga ketika perempuan gemuk itu hendak meninggalkannya, setelah menghidangkan semua pesanan.
"Ada apa, Den?" tanya perempuan gemuk pemilik kedai ini ramah.
"Boleh bertanya sedikit, Nyi?" lembut sekali nada suara Rangga.
"Silakan, Den...."
"Hm. Apa nama desa ini, Nyi?"
"Desa Paranggada."
"Ooo..," Rangga mengangguk-angguk.
"Raden memangnya datang dari mana? Kok, tidak tahu nama desa ini...?" perempuan gemuk itu balik bertanya. Sementara, gadis manis yang tadi menyertainya sudah kembali menghilang ke belakang dan tidak muncul-muncul lagi.
"Kami berdua datang dari jauh, Nyi," sahut Rangga.
"Kami pengembara yang kebetulan lewat desa ini," sambung Pandan Wangi yang sudah melahap makanannya, tanpa dipersilakan lagi.
"Ooo.... Jadi, kalian berdua ini pengembara...?"
"Benar, Nyi," sahut Rangga.
"Wah! Kalau begitu hati-hati, Den," ujar perempuan gemuk itu.
"Kenapa...?" tanya Pandan Wangi langsung menghentikan makanannya.
"Desa ini sedang gempar, Nini. Apa tadi kalian tidak lihat ada kejadian di ujung jalan sana...?" perempuan gemuk itu menunjuk ke arah jalan, tempat arah kedatangan kedua tamunya ini tadi.
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melemparkan pandangan. "Pembunuhan itu, Nyi...?" ujar Rangga seakan ingin menegaskan.
"Benar, Den. Itu korban yang ketiga. Pertama, anaknya Ki Rantak. Kemudian, disusul Ki Rapala, kepala desa ini. Dan yang barusan anak Ki Marta, orang paling kaya dan berpengaruh di desa ini. Dia bisa berbuat apa saja dengan kekayaannya. Tadi Ki Marta juga mengatakan, bahwa akan menyediakan hadiah seribu keping emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala pembunuh itu padanya," jelas pemilik kedai tanpa diminta.
"Oh! Bisa berbahaya...," desah Rangga seakan terkejut mendengarnya.
"Benar, Den. Bisa-bisa terjadi pembunuhan-pembunuhan lain. Bisa jadi, orang akan membawa kepala orang lain yang tidak bersalah, hanya untuk mendapatkan hadiah dari Ki Marta," sambung pemilik kedai itu.
"Terlalu gegabah dia, Kakang," ujar Pandan Wangi.
"Apa tidak disadari, kalau hadiah begitu besar malah akan memperburuk keadaan...? Hhh! Orang kaya di mana-mana sama. Tak pernah mau memikirkan akibat dan keselamatan orang lain."
"Celakanya lagi, Nini. Baru tadi Ki Marta mengatakan begitu, sudah ada dua orang yang datang padanya. Dan katanya lagi, mereka akan mencari pembunuh itu," sambung pemilik kedai ini.
"Siapa mereka, Nyi?" tanya Rangga.
"Wah, tidak tahu.... Kelihatannya mereka bukan orang sini. Memang, tadi mereka makan di sini. Seperti juga Raden dan Nini, mereka juga orang jauh."
"Laki-laki atau perempuan, Nyi?" tanya Pandan Wangi, seraya melirik Rangga.
"Dua-duanya perempuan. Mereka juga membawa pedang seperti kalian."
Rangga dan Pandan Wangi tidak bicara lagi. Sementara perempuan gemuk pemilik kedai itu sudah meninggalkan mereka, setelah berpamitan ke belakang. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kini menikmati makanannya tanpa bicara lagi.

102. Pendekar Rajawali Sakti : Pembunuh Berdarah DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang