1. Hierarki Paling Tinggi

194 14 0
                                    

MHS
Malvern High Schooll

Papan reklame itu terpajang megah di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi, dua kali lipat melebihi tinggi orang dewasa. Puluhan mobil mewah terlihat bergantian menepi di depan gerbang, menurunkan sosok putra-putri yang apabila di lihat sekilas saja, sudah memancarkan aura strata sosial kelas atas.

Fendi jacket, Balenciaga sweater, Chanel scraf, Gucci cardigan, Nike sneakers, backpack Louis Vuitton, Rolex watches.

Rasanya brand high end itu hanya jadi aksesoris pelengkap yang menegaskan bahwa mereka berada di hierarki paling tinggi ditengah masyarakat.

Sudah lima menit Asya berdiri di seberang gerbang, menghela napas sambil menelan saliva susah payah. Kepalanya pening kala melihat pemandangan tak biasa itu, anak-anak SMA turun dari mobil mewahnya.

"Apa gue bisa bertahan?"

Mendadak dia menyesal mengambil tawaran beasiswa sampai lulus disini setelah berhasil memenangkan olimpiade sains.

Ucapan Mita teman sekolah lamanya tempo hari seratus persen benar, jika selama ini dia menganggap Pak RT dekat kost-kostnya adalah sultan karena sering bagi-bagi daging gratis. Maka Asya salah besar. Karena sultan sesungguhnya adalah mereka, siswa-siswi kelas atas yang orangtuanya rela membayar sekoper uang demi bisa menyekolahkan anaknya di Malvern High School.

Asya sudah cari tau biaya yang harus mereka keluarkan selama setahun demi bisa sekolah disini. Untuk SPP-nya saja, mereka harus merogoh kocek setara dengan harga satu mobil.

Gila!

Jika bukan karena beasiswa, sudah pasti Asya tidak bisa mengenakan seragam yang harganya mencapai satu unit motor dan menerima pembelajaran seharga satu unit mobil.

Jika beasiswanya boleh ditukar pakai uang, Asya sudah pasti untung banyak.

Oke, ini sudah lebih dari 10 menit Asya berdiri melongo, menatap mereka dari kejauhan.

Kakinya yang sempat gemetar, dipaksa berjalan mendekati gerbang, membuat langkahnya terlihat sedikit aneh.

Beberapa siswa yang menyadari itu, melirik diam-diam. Bahkan beberapa sisanya terang-terangan menatap Asya dari atas sampai bawah seolah sedang menilai, berapa digit yang orangtua Asya mampu hasilkan setiap bulannya.

Asya menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Seragam mereka memang sama, jas biru tua yang senada dengan bawahannya. Tapi dari wajah, gestur dan tatapan, tidak bisa menutupi bahwa strata sosial mereka berada di kelas berbeda.

Berasa abis nyuri gue, batin Asya menyadari semua tatapan intens itu.

"Kemarin perusahaan bokap lo share dividen ya, labanya banya banget! I know, karna gue beli saham disana."

"It's crazy my mom said, she wanted to buy a BMW for me. Tapi sampe hari ini gak dateng!"

"Gila! Caffe gue ditutup sama my dad karna profit kemarin ga sesuai yang dia mau!"

"Lo mending inves disini deh, grafik sahamnya lagi bagus!"

"Gue lagi mau yang minim resiko, Debt of equity-nya turun, right?"

"Gimana holiday lo di US kemarin?"

Shit! Asya merinding dengan semua topik pembicaraan mereka.

GOOD ATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang