NAPM 1

5K 390 16
                                    

"네, 엄마 Nanti aku hubungi lagi. 안녕"
(Ya, Eomma. Nanti aku hubungi lagi. Bye.)

Diza mengakhiri panggilan telepon dengan ibunya. Meletakkan benda pipih pabrikan asal negara sang ibu ke atas nakas.

Ibunya meminta Diza terbang ke Busan bulan depan. Dalam rangka merayakan ulang tahun ibunya yang kelima puluh.

Bukan permintaan yang sulit sebenarnya. Pergi sendirian ke Busan juga bukan kali pertama bagi Diza. Sejak Eomma dan Papa berpisah lima belas tahun silam, Diza sering melakukan perjalanan Jakarta-Busan yang sebenarnya cukup melelahkan. Namun, lelahnya terbayar saat melihat Eomma merentangkan tangan, menyambut kedatangan Diza di bandara.

Diza menyukai salju, maka biasanya Diza lebih memilih berkunjung ke Korea Selatan saat musim salju tiba. Selebihnya, Eomma yang paling sering datang ke Indonesia, untuk bertemu putri yang sangat ia cintai.

Biasanya, Eomma tak memintanya berkunjung hanya untuk merayakan hari pertambahan usia wanita itu. Diza selalu mengucapkan selamat ulang tahun pada ibunya tepat pukul dua belas malam waktu Busan. Bukan hal sulit karena perbedaan waktu Jakarta dan Busan hanya dua jam. Jika di Busan sudah menunjukkan pukul dua belas malam, di Jakarta masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Belum masuk jam tidur Diza. Jadi, ia tak merasa kesulitan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada sang ibu, meski terpisah jarak ribuan kilometer.

Yang membuat Diza merasa berat untuk menyanggupi permintaan Eomma, karena belakangan ini hubungannya dengan salah satu senior-nya di kantor, menunjukkan progres yang cukup baik. Diza berani bersumpah, jika rasa deg-degan dan tak percaya yang ia rasakan saat Kahfi mengajaknya datang bersama ke acara pernikahan adik salah satu nasabahnya, masih Diza rasakan sampai sekarang.

Namanya Fahri Al Kahfi, senior Diza di kantor tempat ia bekerja. Pria sederhana, berwibawa, serta santun yang berhasil mencuri perhatian Diza saat pertama kali mulai bekerja.

Diza tidak langsung jatuh cinta sebenarnya. Rasanya pada Kahfi bermula dari rasa kagum. Melihat bagaimana sabarnya Kahfi menghadapi klien, tak tersulut emosi dan masih sanggup tersenyum sekalipun klien sudah berapi-api, membuat Diza kagum. Sekali lagi Diza menekankan jika hanya rasa kagum yang mulanya ia rasakan pada Kahfi. Lagipula, saat itu Diza masih memiliki pacar bernama Sandy. Pilot muda yang merupakan anak dari teman Papa.

Perlahan rasa kagum itu mulai berubah menjadi ketertarikan, kemudian rasa sayang, hingga sekarang Diza sadar jika ia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona seorang Fahri Al Kahfi.

Mengubah posisi berbaring menjadi duduk, Diza ambil kembali ponselnya. Membuka aplikasi whatsapp, hanya untuk melihat foto profil Kahfi. Bersama seorang anak kecil laki-laki yang Diza tebak merupakan keponakan pria itu. Tidak mungkin anak Kahfi, karena pria itu belum menikah. Bahkan berdasarkan informasi yang Diza peroleh dari Kiran, Kahfi batal menikah, entah karena apa.

Diza tidak ingat, sejak kapan ia memiliki kontak Kahfi. Yang Diza ingat, ia sudah menyimpan nomor pribadi lelaki itu sejak lama. Hanya disimpan, tanpa pernah sekali pun Diza coba menghubunginya.

Lalu sore tadi Kahfi mengajaknya pergi bersama esok hari. Diza nyaris terkena serangan jantung mendadak mendengar ajakan tersebut. Namun, setelah Diza pikir lagi, ia tidak boleh kena serangan jantung, atau penyakit mematikan jenis apa pun. Diza harus hidup sehat, agar kelak bisa bersanding dengan Kahfi di pelaminan. Menemani Kahfi selama 24 jam penuh, kemudian melahirkan anak-anak yang lucu, tentunya dengan Kahfi sebagai ayahnya.

Duh ..., Diza jadi tersenyum sendiri membayangkannya. Kahfi versi kecil pasti lucu dan menggemaskan. Menjadi kakak yang baik untuk adik-adiknya nanti.

Kira-kira Kahfi ingin punya anak berapa ya? Diza tidak mau jika hanya satu orang anak. Jadi anak tunggal itu enggak enak. Mungkin tiga atau empat orang anak cukup. Kahfi junior dengan sikap dewasa seperti sang ayah akan membantu Diza menjaga adik-adiknya.

(Not) A Perfect MateWhere stories live. Discover now