Professionalism? Next!

311 34 14
                                    


Di umurnya yang mendekati kepala tiga, Kim Seokjin sama sekali belum mempertimbangkan komitmen akan hubungan romansa.

Sesekali pikiran untuk menjalani hubungan dengan seseorang (entah itu serius atau sekedar percobaan) memang mampir di benaknya, namun ia memiliki terlalu banyak to-do-list di tangannya untuk mengutamakan kehidupan pribadi dalam waktu dekat. Memiliki pasangan yang dapat diajak menonton film animasi di malam Minggu terdengar menyenangkan, namun untuk sekarang ia merasa puas menghabiskan waktu luang tanpa seseorang menanti kehadirannya.

Rekan kerjanya, Park Jimin, sering mengatainya kaku dan terlalu serius untuk seseorang yang dilahirkan dalam kategori sempurna. Kehidupan sempurna sayangnya adalah hal yang ambigu bagi Seokjin karena jika dilahirkan di keluarga kaya, memiliki otak cerdas, dan wajah tampan adalah apa yang orang-orang katakan sebagai kesempurnaan, maka bagi Seokjin sempurna adalah hidup tanpa ekspektasi dan bayang-bayang.

Yang mana merupakan hal yang takkan bisa ia capai selamanya.

Tetapi hidup memang jenaka seperti itu, karena pada akhirnya kesempurnaan bagi seseorang adalah suatu fase yang selamanya takkan dapat orang tersebut raih—dan karenanya, berlaku berbeda bagi tiap insan di dunia.

Maka berpegang teguh pada stereotip kaku yang orang-orang kantor sematkan padanya, Seokjin menolak untuk ikut ketika orang-orang di divisinya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama di salah satu ruang privat yang ternyata telah direservasi sebulan sebelumnya oleh Kim Taehyung, entah dalam rangka apa.

Jungkook, intern yang baru-baru ini ditetapkan akan diangkat menjadi pegawai tetap setelah dinyatakan lulus dari universitasnya, terus menempel dan mengikutinya seharian dengan bujukan dan rayuan, "Hyung, acara nanti malam tidak akan terasa lengkap tanpamu!"

Dukungan Jimin menyebabkan Seokjin berspekulasi apakah keduanya telah bersekongkol di belakangnya seharian. "Apakah kau tidak kasihan pada Jungkook, Hyung? Dia terus mengekorimu seperti anak anjing hanya karena kau tidak mau ikut bersenang-senang nanti malam."

Ia merasa penat, sungguh; dikarenakan tumpukan pekerjaan, deadline dan terutama tekanan dari Jungkook dan Jimin yang ia akui sebenarnya bermaksud baik. Seokjin hanya merasa ingin merebahkan diri di atas tempat tidur malam ini, apakah permintaannya terlalu mustahil untuk dipenuhi?

"Mungkin lain kali?" ujarnya berusaha bernegosiasi, sebisa mungkin menghindari sepasang mata berbinar Jungkook yang sering membuatnya tak sampai hati. "Kook, aku benar-benar lelah."

"Kau bisa beristirahat di hari Sabtu dan Minggu!" Jimin memberi usulan yang mengundangnya untuk melemparkan pandangan tajam. "Hyung, ini sudah... entahlah, mungkin satu tahun sejak terakhir kali kau ikut bersama kami?"

Seokjin melakukan kesalahan dengan menoleh putus asa ke arah Jungkook yang merengut penuh harap. "Oke, kalian menang."

Kesalahan lain muncul ketika ia terbawa suasana, menegak alkohol sedikit lebih banyak dari seharusnya. Seokjin menyalahkan tubuhnya yang tidak lagi terbiasa menerima alkohol sehingga merendahkan toleransinya, namun ia berhasil mengontrol diri untuk berhenti sebelum menjadi bahan ejekan Jimin selama sebulan.

Ketika sepasang matanya mengedarkan pandangan, irisnya berhenti pada wajah familiar yang ia ketahui jarang menghadiri acara seperti ini dan memiliki reputasi tak jauh berbeda dengannya. Min Yoongi tampaknya sadar tengah menjadi pusat perhatian seseorang, berakhir membalas tatapan Seokjin selama beberapa detik sebelum mengangkat botol soju di tangannya sebagai gestur sapaan.

Menepuk pundak Jimin di sebelahnya, Seokjin berbisik, "Aku baru tahu Min Yoongi mau datang ke acara seperti ini."

Di sisinya, Jimin tengah mengunyah potongan besar samgyupsal sambil merespon, "Tidak, kau dan dia adalah dua orang yang paling sulit diajak bersenang-benang di antara semua pegawai kantor." Tanpa berusaha menelan daging di mulutnya terlebih dahulu.

Professionalism? Next!Where stories live. Discover now