Peti Mati

480 35 4
                                    

Nyaris seumur hidupku, sebisa mungkin aku selalu berusaha menghindari menghadiri acara-acara kematian. Kalau bukan karena terpaksa atau memang sudah tidak bisa dihindari lagi, aku urung menghadirinya. Padahal mengingat usiaku yang hampir menginjak kepala tiga, sudah tidak sepantasnya aku ketakutan seperti anak kecil.

"Kamarnya besar loh Ris, harganya juga standart, lingkungannya juga aman, plus dekat lagi dengan kantor." Ucap Rena sahabatku, mempromosikan kamar kost yang sedang kucari.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk berpikir sebelum mengiyakan tawarannya. Toh selama ini aku dapat mempercayai Rena.

"Gimana ?" tanyanya.

"Oke deh, asal kamu bersedia membantuku menyelesaikan urusannya. Maklum seminggu ini aku banyak kerjaan."

"Tidak masalah. Tapi ada syaratnya,"

"Apa?"

"Traktir makan kalau sudah selesai."

"Beres,'' aku mengacungi jempol, menyanggupi permintaannya.

Akhirnya seminggu kemudian, dengan dibantu oleh Rena aku pindah ke kost yang baru. Dari pagi sampai sore, kami berdua sibuk memindahkan semua barang-barangku dari tempat kost yang lama ke tempat kost yang baru. Lalu malamnya setelah semuanya beres, aku memenuhi janjiku meneraktir Rena makan.

Sepulangnya Rena, aku langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini, hari yang melelahkan. Letak kamarku yang berada di lantai dua ternyata cukup menguras tenaga kami.Walaupun begitu, aku merasa rasa lelah ini tidak seberapa, melihat betapa beruntungnya mendapatkan sebuah kamar kost yang nyaman dan murah.

Tak berapa lama kemudian aku jatuh tertidur.

***

Tapi, ternyata dugaanku salah. Kenyataannya keberuntunganku hanya dapat bertahan satu hari saja. Mendadak semua berubah ketika keesokan harinya. Di pagi hari yang cerah, saat membuka jendela kamar, aku melihat sesuatu yang mengejutkan.

Bukan main kagetnya aku begitu melihat toko yang ada disamping, yang awalnya kupikir menjual furniture, ternyata adalah toko spesialis menjual peti mati.

BRAK!

Aku menutup menutup jendela dengan keras. Kurasakan tubuhku langsung lemas, jantungku terdengar berdetak keras, dan satu persatu tetesan keringat dingin mulai membasahi wajahku yang kuyakin warnanya pasti pucat sekali.

Butuh waktu beberapa menit bagiku untuk menenangkan diri. Setelah itu, segera aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Aku butuh bicara dengan Rena secepatnya.

"Ren, kenapa tidak bilang sih kalau toko yang disamping itu adalah toko peti mati?" ucapku setengah kesal, ketika aku mendatangi Rena yang sedang merapikan make up nya dimeja kerjanya."

"Kenapa rupanya, Riska?" tanyanya dengan santai, tanpa melepaskan pandangannya terhadap kaca yang ada dalam genggamannya.

"Kamu kan bisa memberitahuku dulu,'' Jawabku menjelaskan dengan suara emosi yang sedapat mungkin kutahan.

Mendengar nada suaraku, Rena langsung meletakkan kacanya dan kembali menatapku.

"Loh, bukannya semalam kamu tidak keberatan. Lagipula itu hanya toko peti mati, Riska. Bukan kuburan."

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Harus kuakui kemarin memang aku tidak protes terhadap pilihannya, malah sebaliknya aku terus berterima kasih atas usahanya yang mencarikanku kamar yang terbaik. Salahku sendiri, kenapa tidak memperhatikannya kemarin. Lalu kenapa juga bukan aku yang membuka jendela, melainkan Rena. Memang, ini semua salahku karena tidak peduli dengan apa yang ada disekitarku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 10, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Peti MatiWhere stories live. Discover now