01 - Luka yang Kau Tancapkan

465 32 1
                                    


01 - Luka yang Kau Tancapkan




Kata Tuhan, manusia adalah makhluk yang sempurna. Namun, mengapa aku tidak?

***

"Gagu, sini lo!"

Langkah seorang siswa yang membawa buku terhenti saat tiba di gerombolan genk sekolahnya. Setiap pagi selalu seperti ini, dan herannya ia selalu lupa untuk tidak melewati lorong ini keesokkan harinya, seperti remote control yang sudah diatur sedemikian rupa. Dia ingin berbalik kemudian lari. Namun, jika itu ia lakukan maka tamatlah sudah riwayatnya.

"Lo pasti bawa duit, kan? Mana sini!" Sang ketua genk mulai beraksi. Ia menarik kantong baju siswa itu. Benar, ada dua lembar uang pecahan dua puluh ribuan di sana. Ketua genk merangsek  uang tersebut.

"Eee ...." Siswa itu menggeleng. Berharap sang ketua genk mengembalikan uangnya. Tetapi, ketua genk berserta anak buahnya pergi meninggalkan siswa tersebut.

"Eee ...." Sang siswa hendak mengejar. Namun, niat itu langsung ia urungkan. Ia tidak ingin mendapatkan bogem mentah dan berakhir dimarahi ibunya.

Ia akhirnya merelakan uangnya diambil dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas.

***

Di kelas, ia duduk paling pojok belakang. Sendiri. Selama hampir tiga tahun mengeyam bangku SMA mana ada yang mau berteman dengannya? Bagi mereka, ia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang lemah. Pasrah saja saat diambil uangnya atau disuruh mengerjakan pr kelompok genk tadi. Sepuluh bulan berada di sini, ia tidak pernah melawan atau berani mengadukan dirinya ke ruang guru.

Selama sekolah di sini ia tidak memiliki teman. Lebih tepatnya tidak ada satu pun yang akrab dengannya. Selain terhambatnya komunikasi, salah satu alasan mereka tidak mau berteman adalah karena takut dengan kelompok genk itu. Menurut sang ketua, ia adalah noda hitam yang harus dimusnakan. Jika ia diganggu oleh genk tersebut, tidak ada yang berani membelanya. Meski sudah babak belur sekalipun.

Ibunya yang geram selalu ingin mengadukan nasib anaknya ke pihak sekolah. Tetapi, ia selalu berhasil menghalang ibunya. Ia tidak mau terlibat masalah yang lebih besar, sebab sang ketua genk adalah anak dari kepala sekolah.

Seperti itulah penderitaan yang dialami oleh Dhira, penyandang disabilitas bisu yang bersekolah di SMA biasa.

***

Sejak lahir, Dhira selalu mendapatkan perhatian lebih dari sang ibu. Bahkan ibunya rela melepaskan pekerjaan yang menjanjikan demi merawat sang buah hati. Sementara ayahnya, tak pernah sekalipun menyentuh Dhira sejak tidak bisa bicara.

Usia lima belas bulan, seharusnya Dhira kecil sudah bisa bicara, karena anak-anak seusianya ada yang sudah fasih menyebut 'mama'. Sang ibu sudah merasa janggal ketika dipanggil, Dhira tidak pernah menoleh. Dengan sabar ibunya melatih Dhira agar bisa berbicara. Namun hingga umur dua tahun, Dhira hanya mengeluarkan huruf 'u' saja. Khawatir dengan kondisi sang putra, ibunya berinisiatif membawa Dhira ke dokter anak. Dhira kemudian dirujuk ke dokter THT untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari situlah Dhira ketahuan tidak bisa berbicara.

Sejak saat itu, ibunya mengupayakan Dhira ikut terapi wicara, juga memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Buah dari hasil kerja kerasnya, Dhira bisa membaca dan menulis. Memiliki kemampuan tersebut, Dhira tak perlu kesulitan lagi berkomunikasi dengan orang tuanya.

Di mana peran sang ayah untuk Dhira? Tidak ada. Menurut sang ayah, Dhira adalah aib besar yang harus ditutupi. Tak jarang ia menghancurkan barang berharga milik Dhira. Tak mau makan satu ruangan dengan anaknya. Bertengkar dengan istrinya pun sudah menjadi makanan sehari-hari.

***

Terpaksa Dhira tidak jajan karena uangnya sudah diambil oleh Chiko, ketua genk tadi. Bahkan kini pulang sekolah berjalan lantaran ia tidak mengendarai sepeda seperti biasa.

Tiba di rumah, Dhira disambut dengan biola yang sedang dirusak oleh ayahnya. Di sisi sang ayah, ada ibunya yang berusaha merebut biola itu, tetapi karena tenaga lelaki lebih besar, sang ibu jatuh tersungkur.

Dhira berlari, menyelamatkan benda kesayangannya. Namun, lelaki bertubuh besar itu mendorongnya hingga jatuh ke tanah. Dalam hampa, Dhira menyaksikan sang ayah menghancurkan biola untuk kesekian kalinya. Menghancurkan mimpi dan harapannya.

"Sudah Bapak bilang kamu jangan beli mainan ini lagi! Nggak ada gunanya buat kamu. Tugas kamu sekolah, habis itu kerja cari uang!"

"Bang, apa salahnya anak kita main biola? Dari sana dia juga bisa dapat uang, Bang!"

"Dia bukan anakku! Seandainya dulu kamu nurut sama aku, mungkin kita nggak akan punya anak cacat!"

Jika ditolak oleh teman-teman di sekolah Dhira masih kuat menahannya. Jika dibully oleh Chiko dan genknya Dhira masih bisa menerima. Tetapi  ... saat ayahnya tidak menerimanya sebagai anak, mengapa rasanya sakit sekali? Padahal di tubuhnya mengalir darah sang ayah.

Sang ayah pergi. Menyisakan biola yang sudah remuk dan teronggok di tanah. Dhira bangkit, memungut serpihan biola yang tak mungkin bisa disambung kembali. Persis seperti hatinya saat ini.

"Sabar ya, Nak. Nanti kalau sudah gajian, Ibu belikan lagi," ujar sang ibu menenangkan. Dhira menggeleng kuat. Bulir bening jatuh tanpa permisi. Mengapa ayahnya seperti ini? Mengapa pada saat dilahirkan, ia tidak mati saja, daripada harus menanggung beban derita seperti ini?

Sang ibu menatap iba. Dipeluknya tubuh tegap anaknya itu. Memberi dukungan secara batin. Menegaskan bahwa masih ada manusia yang mau menerima Dhira. Anaknya, darah dagingnya.

Terlahir berbeda bukanlah keinginan Dhira. Namun, takdir itulah yang harus ia jalani. Bukan hanya Dhira saja yang merasakan, teman-teman seperjuangannya di SLB juga tak luput dari cemooh masyarakat. Tidak sedikit yang memandang para disabilitas dengan sebelah mata. Masih banyak yang berpikir sempit tentang mereka. Padahal jika ingin mengenalnya lebih jauh, mereka memiliki potensi yang kuat. Memang benar bahwa Tuhan menciptakan kelebihan di atas kekurangan.

***

Tepuk tangan menggema saat seorang gadis manis berkulit putih menyelesaikan permainan pianonya. Pipi chubbynya menampakkan senyum yang lebar saat mengetahui siapa yang sedang bertepuk tangan.

"Papa seperti melihat mama kamu di panggung. Luar biasa!"

Gadis itu berdiri. "Papa juga luar biasa."

"Besok Papa mau bertemu dengan calon pemain biola yang nanti akan berduet denganmu. Kamu mau ikut?"

"Papa nggak ingat, besok aku sekolah." Gadis itu terkekeh.

"Ah iya. Bagaimana SMA-mu? Menyenangkan? Atau?"

"Cukup menyenangkan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, jika aku tidak melakukan apa pun, aku terus memikirkannya."

"Apa kamu sudah jatuh cinta dengan pria?"

Gadis itu kembali terkekeh. "Bukan, Pa. Ada perundungan yang dilakukan oleh sekelompok siswa kepada anak disabilitas."

"Di sekolahmu ada penyandang disabilitas?"

"Ada, Pa. Dia bisu. Dan, perundungan itu sudah terjadi saat tahun ajaran baru, tapi aku baru mengetahuinya minggu-minggu ini. Aku jadi menyesal tidak pernah ke kantin saat istirahat."

Papa mengangguk. Turut merasakan apa yang dirasakan putrinya. "Kalau begitu, coba kamu laporkan saja ke pihak sekolah."

"Menurut informasi yang aku dapat, salah satu kelompok tersebut adalah anak kepala sekolah. Sulit untuk melaporkan perbuatan mereka."

"Ah, begitu. Nanti biar Papa saja yang datang ke sana. Semoga beliau mau mendengarkan Papa."

"Papa serius?"

"Ya. Papa nggak mau kamu terlibat lebih jauh." Papa mencubit hidung putrinya.

🔷🔷🔷

Nadhira [END]Where stories live. Discover now