bagian sepuluh

19 2 1
                                    

Seharian ini, kami habiskan waktu bersama, aku memilih pulang dan menjenguk keadaan Bapak di rumah sakit. Seberusaha apa pun untuk menjauh, nyatanya aku tak mampu.

Saat membuka pintu ruangan Bapak di rawat, Brian sedang bicara dengan Bapak, mereka tampak bahagia.
"Apa aku mengganggu?" Aku berusaha mencairkan suasana yang hening.
"Tentu saja, tidak. Nona." Brian menyambutku dengan tawanya.

Segera aku menyalami Ibu dan Bapak, kali ini Bapak yang pertama kali mengulurkan tangannya, awalnya aku ragu.

"Pergilah dengan, Brian. Dari tadi anak ini hanya mengganggu Bapak," perintah Bapak.
Brian terkekeh, "Calon menantu hanya ingin akrab dengan mertuanya," Brian menatapku sejenak, "dan semoga lekas sembuh Bapak mertua," lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa menggeleng dengan guyonan Brian, ini sama sekali tidak lucu untuk didengar.
.
.
Brian mengajakku berkeliling rumah sakit. "Kita mau ke mana, Brian?"
"Kita akan kencan, di rumah sakit ini." Dia tertawa hingga lubang tenggorokannya terlihat.

"Uh, jangan dipikirkan, tadi aku hanya bercanda." Brian memperingatkanku.

Aku merasakan kecanggungan dari sikap Brian, dia tidak berani melihatku, seperti saat bersama Bapak.

"Ayo, kita harus bicara."

Aku mengikutinya saja, ketika sampai di lorong rumah sakit, kaki Brian tampak lemas, tangannya bergetar, dan punggungnya merosot ke lantai yang dingin.
"Aku lelah."

"Brian, sadarlah aku mohon. Jangan tinggalkan aku, aku mohon, Brian."

Tak ada jawaban, hanya hening. Brian tak sadarkan diri lagi. Kumohon Tuhan beri dia kesempatan untuk hidup dan menjalani dunianya dengan indah.
.
.
.

Aku tak bisa diam menunggu dokter keluar dari kamar rawat Brian, Bu Airin bersama suaminya pun sudah datang. Matanya tak berhenti mengeluarkan bulir beningnya.
"Syifa, boleh kita bicara," ujar Bu Airin mengagetkanku.
"Tentu saja, Bu."
"Kita bicara di sana." Dia menunjuk pada kursi penunggu pasien yang kosong. Aku mengikuti langkahnya, dan memikirkan apa yang akan Bu Airin katakan.

"Syifa, bisakah untuk berjanji," pintanya dengan melas.

"Berjanji apa, Bu?"

"Berjanjilah untuk menjaga, Brian. Kamu tahu, Nak. Sejak kehadiranmu, Brian yang dulu telah kembali, dia tersenyum, dia juga mau meminum obat. Sejak bertemu kamu, dia tampak bersemangat lagi. Syifa, bisakah kamu berjanji untuk menjaga Brian? Saya mohon, Syifa."

Aku tidak suka berjanji, karena aku tahu aku tak bisa menepati janji-janjiku yang dulu.

"Saya tidak bisa berjanji, Bu, tapi saya akan berusaha sebisa saya untuk menjaga Brian dan akan menemani dalam masa pengobatannya sampai dia pulih." Bu Airin tersenyum lalu memelukku, dia menangis dalam dekapanku.

Seorang ibu yng tak takut kehilangan anak laki-lakinya, semua orang tua akan melakukan apa pun demi anak-anaknya. Mungkin itu yang Ibu rasakan, dia selalu melakukan apa pun yang aku mau, meski dia akan mendapatkan amarah dari Bapak.

"Brian adalah anak hang kuat, dia berubah menjadi dingin terhadap kami saat kami memutuskan berpisah. Lalu meninggalkannya bersama kakek dan neneknya. Brian kurang kasih sayang dari kami, hingga membuatnya menjauhi kami. Semuanya terasa berbeda saat bertemu kamu," luahnya.

Aku berusaha menenangkan beliau, aku tahu semua ketakutan itu mengakar kuat dalam hatinya. Semua rasa takut itu tidak akan hilang sebelum Brian sembuh.

Aku pun tidak akan menampik semuanya, keadaan Bapak, senyum yang terlukis di bibirnya berawal saat perjumpaan dengan Brian. Setidaknya dia berpengaruh penting dalam hidup Bapak dan aku. Aku pun harus bisa membalasnya demi orang-orang yang mencintai Brian. Ini bukan berarti aku melupakan Adi,  tidak. Nama Adi akan selalu tersimpan di dalam hatiku.

"Keadaan Brian sudah stabil, jangan dipikirkan lagi." Pak Andrian--bapaknya Brian-- memberitahu kami.

Rasa lega begitu terasa, saat aku mendengar perkataan beliau. Brian, lekas sembuh. Itu doaku kali ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 18, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Terpisah Pagar TuhanWhere stories live. Discover now