[IV] Me And All The Words That I Negate

880 103 11
                                    

[ 아 · 이 · 린 ]
|
|

Di sebuah ruangan luar biasa luas dan selalu rapi, untuk pertama kalinya terlihat  berantakan oleh beberapa kertas yang tersebar dimana - mana.

Irene masih dengan gagang kacamata yang menggantung pada kedua telinganya tak henti membolak - balik tumpukan lembaran berita abu - abu kusut jaman dahulu di meja hadapannya. Tak lelah bertekun bersama segala logika nan tetap tidak masuk akal, Irene melakukan hal ini sepanjang malam hingga lupa untuk pulang padahal adik jarah jauhnya sedang berkunjung.

Terasa sangat fiktif hanya untuk sekedar menerima tulisan - tulisan di depannya yang mengatakan bahwa sosok Jang Dong Gun nan Ia kenal sebagai teman dekat orang tuanya, begitu baik dan berhati hangat, membunuh pendahulu Kim Group hanya karena persaingan bisnis.

Pemikiran sembrono macam apa ini?

"Masuk!"

Teriak Irene tegas setelah mendengar tiga ketukan berjeda di pintu megah ruangannya.

Merasakan dan mendengar langkah kaki berat sedang mendekat kearahnya, Irene mendongak mendapati Bogum tersenyum seakan mengingatkan sesuatu sembari membawa sebuah box coklat kecil di tangan kirinya. Kala Irene melepas kacamata lalu merapikan mejanya, detik setelah itu seluruh gerakannya ditahan oleh kalimat Bogum.

"Nyonya, ini saatnya rapat dan... ada paket dititipkan di mejaku. Untukmu."

Mata Irene tak lepas dari benda yang perlahan diletakkan di pinggir meja besarnya.

"Baiklah, kau bisa tunggu di depan. Aku akan menyusul."

Sesungguhnya Irene sudah berjalan membawa semua file bahan rapat siang ini, namun langkahnya tiba - tiba terhenti. Rasa penasaran mendadak menggerogoti hatinya yang benar - benar akan habis jika Ia tidak segera membuka paket itu.

Berbalik lantas meletakkan kembali map diatas meja, gelagat Irene terlihat ragu namun juga tak ingin mundur. Tetap setia memandang kotak tersebut sampai akhirnya dengan penuh kebimbangan Irene membuka perekat paket pelan - pelan.

"Aaa!!"

Pekiknya terkejut seketika matanya menyaksikan benda di dalam kotak tersebut.

Seekor gagak hitam mati dengan darah segar yang masih mengalir.

Irene takut. Sangat takut. Bahkan kini tangannya mulai gemetar untuk mengambil sepucuk amplop putih yang ternoda sedikit darah, terjepit dikaki burung tersebut.

Tahu - tahu Irene menjatuhkan amplop dan isinya tepat ketika jari - jarinya menarik selembar kertas foto. Terdapat potret Seulgi dari kejauhan sedang memegangi ponsel, turun dari sebuah eskalator yang entah berada di mana. Lebih mencekik tenggorokannya saat mengingat pakaian didalam foto itu sama dengan yang Ia lihat ketika melakukan panggilan video pagi ini dengan adiknya tersebut.

Menyadari fakta Seulgi tengah dimata - matai, serta - merta Irene mengambil mantel coklat panjangnya serta kunci mobil tanpa pikir panjang. Berlari melewati Bogum di depan ruangannya, tak ada hal lain yang bisa Irene pikirkan selain adiknya. Ditambah lagi nomor Seulgi yang tak bisa dihubungi padahal dalam foto tadi jelas - jelas Seulgi tengah memainkan ponselnya.

Pikiran Irene dipenuhi kepanikan bukanlah sesuatu nan dapat dihentikan orang lain. Untuk saat ini membiarkan Irene mengambil keputusan tanpa mencoba menghentikannya mungkin adalah yang terbaik.

Tak cukup lama, suara berderak heelsnya sudah menggema di perusahaan tempat Seulgi menandatangani kontrak.

Mencekal lengan seseorang yang Ia kenali parasnya, Irene bahkan tak sempat mengambil nafas.

"Jooheon! Kau tau dimana Seulgi?"

"Dia tadi mengatakan akan pergi ke mall pusat kota. Tapi kenapa kak Irene terburu - buru? Ada sesuatu?"

"Tidak ada. Terimakasih!"

Dan dengan perkataan itu Irene kembali melangkahkan kakinya dengan cepat keluar dari gedung tempat perusahaannya juga berinvestasi itu, lantas mengemudikan mobil diatas 150km/jam menuju tempat yang disebutkan Jooheon.

Irene benar - benar tak bisa tenang. Memikirkan bagaimana bisa dia menemukan Seulgi diantara beratus - ratus orang dalam mall yang ditujunya saat ini, alam bawah sadar Irene gagal untuk menenangkan dirinya.

Hampir 30 menit memutari dan mengecek setiap sudut mall 6 lantai dengan kaki nan sudah menujukkan luka akibat berlari mengenakan sepatu yang tidak cocok untuk melakukan hal itu, Irene tetap tidak menyerah menekan nama Seulgi diatas layar persegi panjangnya.

Angkat, Seul. Kumohon angkat!

"Aishh!"

Irene malah menjadi kesal.

Bukan. Bukan pada peneror maupun Seulgi. Ia kesal pada dirinya sendiri yang lengah hanya karena diberi kenyamanan setelah semua masalah yang menimpa keluarganya. Berpikir bahwa kata 'santai' merupakan sesuatu yang tidak akan pernah dialami oleh jabatan kakak tertua, tentu Irene kembali menghujam dirinya sendiri dengan rasa bersalah.

Sudah benar - benar putus asa, Irene sungguh tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika tidak mendapati Seulgi dalam kamarnya.

Dan ketika Irene membuka kamar adik kedua dengan tergesa, disaat yang sama wajah nan begitu Ia kenali tengah memegang kenop pintunya sendiri pula, menatap Irene dengan mata sukses membulat.

Memeriksa setiap inci bagian tubuh Seulgi, Irene langsung menarik gadis yang tak mengerti apa - apa itu kedalam pelukannya.

"Kau... kau sungguh baik - baik saja kan?"

Siapa adik yang tidak khawatir melihat kakaknya sendiri tiba - tiba datang memeluknya dengan nafas terengah?

Seulgi perlahan melepaskan pelukannya lantas mendeteksi beberapa bulir keringat yang muncul dari dahi kakaknya. Bergerak mengusap peluh tersebut dengan punggung tangan halusnya, Seulgi kembali memeluk Irene berusaha memberikan ketenangan diatas segala kepanikan yang Seulgi endus dari diri Irene.

"Aku tidak apa, Kak. Sekarang kakak bisa berhenti, hmm? Aku juga sudah tangguh karena kakak menurunkan sifat itu pada adik - adikmu. Kau tidak perlu lagi berlari ke arah kami. Kami yang akan menuju padamu. Oke?"

Irene menghembuskan nafasnya merasakan tepukan - tepukan kecil Seulgi yang sebenarnya tidak cukup untuk membuatnya lega.

Namun dibalik anggukan nan bersamaan gerakan tangan membalas pelukan Seulgi, Irene menampik dirinya sendiri dan bersumpah akan selalu memprioritaskan mereka berempat diatas siapapun. Teguh merelakan lecet kaki maupun hati untuk terus berlari di jalur yang membawanya ke kebahagiaan adik - adiknya terlepas dari dirinya sendiri bahagia atau tidak.

Irene diam - diam membangkang dalam batin dan pikirannya.

"Ya. Aku akan mulai memikirkan diriku."

Atau mungkin tidak akan pernah.

Lagi, Irene ingkar.

• TO · BE · CONTINUE •

Regards
- C

Red Velvet Fraternity 5 : IRENE ✔Where stories live. Discover now