2

3K 281 15
                                    

Zeyeng-zeyengku, aku mau kasih disclaimer dulu :

"Cerita ini mungkin akan tentang Alva. Tapi mungkin juga masih tentang Faro. Mudah-mudahan konfliknya ringan. Tapi ke depannya, kalau ada perubahan tokoh utama atau yang semacam itu, mohon pemaklumannya. Jempolku kadang suka jalan duluan dibanding otakku." #eh?!

Yahh, begitulah. Intinya, ailapyu, zeyeng.

--

Setelah sarapan, mereka berkeliling sebentar di taman hotel menikmati udara pagi. Lyra suka menggandeng Faro, sementara Faro suka saat Lyra menggandengnya. Hawa pengantin baru masih begitu kentara.

Mereka kembali ke kamar setelah membeli beberapa makanan ringan di minimarket terdekat. Setelah melepas sweater rajutnya, Lyra sudah kembali ke kasur pengantin mereka yang nyaman. Spreinya sudah diganti, selimutnya juga. Kamar yang berantakan akibat ulah mereka semalam sudah kembali rapi.

Faro bersandar pada kepala dipan, meraih Lyra untuk ia rengkuh sementara tangannya yang bebas mencari saluran televisi yang bagus.

Lyra membuka tabung Pringles-nya, menyuapkannya pada Faro. "Kakak, ada yang mau kutanyakan soal semalam,," ujarnya malu.

Faro melirik istrinya, mengulum senyum geli. Semalam, setelah mereka selesai dengan ritual malam pertama saat menjelang fajar, Faro sempat mengatakan bahwa ia jadi ingin melakukannya lagi besok, seharian. Dan Lyra bilang, jangan dibahas terus.

Tapi memang khas Lyra sekali. Istrinya itu sudah membahasnya lagi pagi ini.

Faro berdehem. "Soal apa?"

"Kakak ingin punya anak tidak?"

"Orang menikah mana yang tidak ingin punya anak? Kakak ingin sekali."

"Tapi kenapa semalam kakak keluarnya di luar terus?" Lyra menggigit bibirnya, malu. Hanya saja ia tidak bisa berhenti penasaran. "Kan sel ayah dan sel ibu harus bertemu kalau mau punya anak. Mana ada sel ibu keluar dari atas perutku?"

Lelaki yang wajahnya ceria itu tertawa lepas, menunduk untuk mengecup wajah Lyra berkali-kali, terutama pipinya, gemas. "Kakak ingin sekali ada versi junior kita yang akan meramaikan rumah. Tapi kakak ingin menundanya dulu."

Lyra beringsut duduk, menatap Faro dengan sedikit kecewa. "Kenapa?"

"Kaki kakak belum bisa dibilang sembuh-"

"Lalu?"

"Kakak tidak bisa membayangkan, dengan kaki yang begini saja kakak masih sering membuat kamu repot, apalagi kalau kamu hamil? Kakak takut tidak bisa jadi suami siaga saat kamu hamil. Belum lagi kalau sudah melahirkan dan kakak belum juga sembuh."

"Perkiraan sembuh dari Dokter Markus masih lama."

"Perkiraan manusia, sekalipun dokter, bisa meleset. Tadi pagi lutut kakak mulai terasa sakit lagi, itu artinya mulai ada perkembangan. Lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya."

"Kenapa bisa begitu?"

Faro kembali meraih istrinya, mendekap wanita itu dengan hangat. "Mereka bilang, jiwa yang bahagia membantu fisik sembuh lebih cepat."

--

3 hari menginap di hotel, setiap malam pula mereka mengerang indah di ranjang pengantin. Tanpa ada gangguan sedikitpun, seolah siapapun sedang memberi keduanya waktu untuk bersama.

Hari ini mereka akan kembali ke Jakarta, setelah sebelumnya berpamitan dengan keluarga besar Lyra. Bagasi mereka bertambah 1 koper lagi yang isinya adalah oleh-oleh yang dikumpulkan keluarga besar mereka.

Faro resmi menjadi bagian dari keluarga Manado, kehangatan keluarga yang selama ini ia cari ada disana. Makanya Faro merasa lebih berat untuk kembali ke Jakarta daripada Lyra sendiri.

Wanita itu sedang cengengesan karena diganggu sepupunya soal bercak merah yang tidak sengaja terlihat di balik kerah blousenya, ada 2 bercak yang terlihat, dan ada lebih banyak lagi yang tidak terlihat. Mereka menggoda Lyra, bahwa di balik sikap kalem dan tenang Faro, lelaki itu menyimpan taringnya di atas ranjang.

"Ssst, sudah, enak saja membicarakan suamiku terus." Lyra mengusir sepupu-sepupunya setelah berpelukan. Mereka masih memasang wajah meledek, melepaskan Lyra dan Faro untuk segera check in.

--

Lyra akhirnya setuju untuk menunda program kehamilannya, tentu saja setelah Faro terus menerus merayunya karena wanita itu sempat merajuk. Tapi sekali lagi, Lyra berusaha menerima bahwa Faro memikirkannya juga. Sementara Lyra tidak ingin menunda kehamilan karena mempertimbangkan usia Faro yang sudah matang. Mereka saling memikirkan satu sama lain.

Meski Lyra tidak mempermasalahkan kalau ia harus mengandung sementara kaki Faro belum sembuh, kali ini lelaki itu bersikeras dengan pendapatnya. Argumen Faro terasa lebih kuat, maka Lyra akhirnya luluh setelah Faro merayunya seharian.

Sekembalinya ke Jakarta, mereka segera mengadakan pertemuan dengan semua tim Azalia Wedding. Masing-masing sub-tim menjelaskan semua perencanaan kerja mereka, dan sudah tidak ada masalah. Plan B juga sudah disiapkan andai ada sesuatu yang tidak lancar, sesuai permintaan Faro.

Bagian yang paling membuat Lyra senang adalah saat mereka akhirnya mencoba menu prasmanan di acara nanti. Aku sudah mengosongkan perut untuk ini, begitu bisik istrinya seraya nyengir bahagia sebelum mereka mulai mencicipi menu. Lyra selalu semenggemaskan itu di mata Faro.

"Bagaimana?"

Lyra mengangguk. Dari 28 menu yang disediakan, ia sudah mencicipi 24 menu. "Untuk balado parunya, pedasnya harus dikurangi. Ini selera anak muda, sementara nanti akan ada banyak tamu dari kalangan berumur. Rendangnya aku ingin ditambahi kentang mini. Selain itu, aku suka semuanya." Lyra lalu menoleh pada Faro. "Kakak?"

"Kuah capcaynya terlalu cair. Selain itu, aku tidak masalah."

Tim dapur mengangguk, mencatat masukan dari klien mereka.

Setelah berkumpul di aula Aston Hotel, Lyra kembali menggandeng lengan Faro menuju butik Azalia. Lyra akan mencoba gaun yang akan dipakainya 2 hari lagi. Gaun panjang yang elegan itu adalah pilihan Faro setelah mereka berdebat kecil lagi. Yang namanya Alfaro Abraham mana rela kalau tubuh istrinya terekspos.

"Ratu Elizabeth saja tidak pernah membiarkan tubuhnya terekspos buka-bukaan, karena memang wanita seberharga itu. Bukannya kakak ingin mengekang, tapi ada banyak mata nakal di luar sana yang akan melihat kamu di malam istimewa lusa." Dijelaskan dengan nada lembut begitu, Lyra luluh juga padahal tadinya ia bersikeras mengenakan gaun off shoulder. "Kamu ratunya kakak. Kakak hanya ingin yang terbaik buat kamu. Kecuali kalau kamu ingin mengenakan pakaian terbuka, nanti malam juga bisa. Ada lingerie baru-"

"Kakak, ih!"

Faro terkekeh ringan, Lyra sudah mencoba gaunnya dan menurut Faro, tidak ada masalah.

"Mulai posesif ya."

"Sudah jadi istri kakak sih, jadi otomatis posesif."

"Harusnya dari dulu posesif begini, kan romantis."

"Nanti jadi banyak debat." Faro menjulurkan lidah lantas tertawa ringan, membuat Lyra terpana untuk sesaat. Lelaki itu terlihat riang sekali, seolah tidak pernah memiliki masa lalu yang sulit. Ia jadi ingat kalimat suaminya sewaktu mereka masih di Manado. Jiwa yang bahagia membantu fisik sembuh lebih cepat.

Lyra tersenyum lembut. Suaminya bahagia.
Wanita itu lantas teringat sesuatu. "Kakak, kita ambil Miku ya, dia seharusnya di rumah bersama kita."

Faro membalas senyum istrinya, mengusap kepala Lyra dengan lembut. "Sure."

Selangkah demi selangkah, Faro akan mengumpulkan kembali kebahagiaannya yang dulu hancur berserakan.

Kali ini, kebahagiaannya nyata. Lyra ada bersamanya, adalah nyata. Lyra adalah istrinya, nyata.

--

[]

Different Ways - Sequel of Different Twins 🌐SH - Completed ✔Where stories live. Discover now