JEBAKAN

12 3 0
                                    

Menjelang pagi, Deyara dan pasukannya baru sampai hutan terlarang. Malam hari, kuda yang dipakai untuk melakuakn perjalanan berjalanan lamabat karen apenerangan yang tak maksimal. Pasukan beristirahat sejenak untuk minum sebelum melanjutkan perjalanan.

Pikiran Deyara masih berputar, strategi apa yang harus diterapkan. Terlebih, kabar ini dibawa oleh penjaga kerajaan yang ia curigai sebagai suruhan Raden Mas Malaraja Brajamusti. Ia perlu hati-hati jika di sana terjadi sesutau di luar dugannya. Sudah sering eyara dijebak dalam kondisi yang terdesak oleh siasat Raden Mas Malaraja Brajamusti, tapi kali ini, siasatnya seperti berbeda. Ada sesuatu yang direncanakan yang sangat luar biasa, menurut batin Deyara.

"Tolong ambilkan peta daerah bagian utara di atas kuda!" perintah Deyara pada salah satu pasukan yang dibawanya untuk berperang.

Pasukan itu berjalan ke arah kuda milik Deyara, dengan sengaja ia menumpahkan air minum ke atas kertas peta kerajaan daerah utara. Tanpa rasa bersalah ia menyerahkan peta tersebut.

"Maaf, Kangjeng Balatara Deyara, petanya basah terkena tumpahan air minum. Tadi tempat air minumnya terbuka." Pasukan tersebut menyerahkan peta yang basah.

Deyara membuka peta, garis hitam dalam peta buyar tak berbentuk. Ia hanya mengelus dada, menarik napas perlahan lalu mengeluarkannya, berharap ketenangan menghampiri supaya ia bisa berpikir strategi apa yang sebaiknya ia ambil.

Deyara merenung di bawah pohon, merekam kejadian-kejadian yang datang secara tiba-tiba. Kabar direbut kembalinya daerah utara kerajaan, pasukan yang diikutkan perang hanya sedikit padahal yang menjadi taruhan adalah daerah strategis yang bisa menjadi tolak ukur ekonomi ke depan, pasukan yang kurang bersemangat diajak perang hingga perjalanan ke utara sanagat lama, juga kuda yang begitu lesu diajak jalan, dan terakhir, peta daerah utara yang kena tumpahan air minum. Keanehan-keanehan ini berutntun dalam jarak waktu yang sangat singkat. Apa mungkin tantara yang dibawa itu juga sudah bersenkongkol dengan Raden Mas Malaraja Brajamusti?

Kekalutan membayangi, ia tak mungkin membuat strategi jika tim pasukan yang ia bawa tak loyal padanya. Sedangkan, mata orang-orang pada malam tadi semua tertuju padanya, ia yang harus bertanggung jawab dengan direbutnya kembali daerah utara kerajaan.

Matahari semakin naik, perjalanan penyelamatan derah utara kerjaan harus tetap dilakukan. Deyara tak menyiapkann renacana apapun, percuma juga ia menyiapkan rencana. Panadangan Deyara ia edarkan pada seluruh pasukan yang ikut serta, semuanya tertunduk. Taka da yang memandanginya kembali. Ya, sekilas mereka seperti orang yang turut pada perintah atasannya. Tapi, entahlah apa yang ada dalam hatinya.

Dengan gerakkan tangan Deyara memrintahkan pasukan bergerak maju. Tanpa suara, tanpa pikiran tak tik perang. Deyara sudah pasrah jika perang ini menjadi perang terakhir yang ia pimpin.

"Kangjeng Balatara Deyara, engkau belum menyampaikan tak-tik perang untuk melawan musuh. Apa yang harus kami lakukan nanti?" tanya salah seorang pasukan yang posisinya sangat dekat dengan Deyara.

"Aku tak memiliki tak tik perang apapun, kita perang seperti biasa saja tanpa tak tik," ujar Deyara tegas menjawab pertanyaan pasukannya, tanpa menoleh. Taka da senyum yang terukir di bibirnya, tak seperti biasanya.

"Apa kau bilang? Kau mau mengajak kami perang tanpa tak tik?" tanya pasukan lain mendengar jawaban Deyara. kegaduhan dan kepanikan terjadi antar pasukan. Perjalan terhenti karena ada satu pasukan yang tiba-tiba menghentikan kuda yang Deyara tunggangi.

"Jangan main-main kau, kami punya anak istri, bukankah engkau pemimpin kami? Buatlah tak tik perang yang jitu supaya daerah utara kerajaan terselamatkan, kami pu selamat!" hardik pasukan yang menghalangi tersebut berang.

"Jika kalian ingin selamat, lakukan apa yang pemimpin kalian perintahkan," ucap Deyara tenang menjawab pasukannya yang berbicara emosi. Deyara memamcu kudanya untuk kembali melakuakn perjalanan meninggalkan pasukan tadi yang masih bergeming di tempatnya. Sedangkan pasukan lain kebingungan, ada yang mengikuti Deyara, ada pula yang hanya diam tanpa pergerakan, takut nyawanya tak selamat.

"Aku memilih untuk kembali ke istana kerajaan," sahut pasukan yang tadi menghalangi jalan kuda Deyara. beberapa orang pasukan mengamini, sedangkan pasukan lain ada yang mengikuti temannya yang sduah terlebih dahulu pergi mengikuti Deyara.

Deyara yang mendengar ucapan pasukan yang menghhalanginya tadi hanya tersenyum kecut. Sampai di sana kah nyali seorang pengkhianat yang dipimpinnya? Ucap Deyara dalam hati. Tanpa mempedulikan apa yang disampaikan pasukan yang mengkhianatinya, Deyara terus melanjutkan perjalanan. Ia tidak tahu, apakah pasukan yang mengikutinya sekarang benar-benar orang yang setia atau pengkhianat juga seperti mereka.

Tak terdengar lagi ocehan pasukan pengkhianatnya. Deyara menghentikan kudanya dan membalikan badan, melihat sisa pasukan yang mengikutinya. Matanya menyapu dari ujung kiri ke ujung kanan. Jari telunjuknya menghitung jumlah pasukan yang tersisia. Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu turun dari kuda. Pasukan yang mengikutinya langsung mengikuti Deyara.

"25 orang pasukan yang tersisa," ucap Deyara pada pasukannya. "Pasukan yang sangat sedikit jika dibandingkan jumlah tantara musuh yang menguasai daearh utara kerajaan, menurut laporan penjaga kerajaan semalam." Deyara mengambil posisi duduk di atas dedaunan kering. Para pasukan yang berdiri pun ikut duduk mengikutinya.

"Aku tak ingin memaksa kalian untuk mengikuti peperangan ini, jika di antara kalian ada yang mau mundur, silakan mundur sekarang juga. Aku tak bisa menjamin, apakah peperangan ini akan kita menangkan atau tidak. Apakah nyawa kalian akan selamat atau tidak. Jika kalian khawatir dengan anak istri kalian, silakan mundur sekarang." Deyara kembali menegaskan ucapannya pada pasukan yang tersisa tersebut.

Seorang pecundang perang yang hanya memikirkan nasib diri dan perutnya, akan memilih mundur dari pertarungan. Itu yang diyakini Deyara. Dan, tujuh orang pasukan mundur dan pamit pulang ke istana. Hanya 18 pasukan yang tersisa.

Deyara berdiri dan menaiki kuda setelah tutjuh pasukan tadi pamit pulang. Tanpa berbicara tentang strategi perang, ia hanya terdiam, dan melecut kudanya untuk maju. Sepanjang perjalanan melewati hutan, pikiran Deyara terus berputar. Strategi perang apa yang akan dilakukannya, mereka sudah percaya padanya. Tapi, ia juga tidak ingin mereka mati begitu saja. Tantara musuh sangat banyak, tak sebanding jika mereka harus berperang nanti.

Kembali Deyara menghentikan kudanya, ia membalikkan badan lagi. Dilihatya 18 pasukan yang rela berjuang untuk kerajaan. Yang sudah percaya sepenuhnya pada Deyara sebagai pemimpin pasukan perang.

"Pulanglah! Biar aku selesaikan misi ini sendiri, terima kasih sudah menjadi pasukan yang setia." Deyara membalikkan badannya lagi ke depan, ia melajukan kudanya sangat cepat, ini pilihannya. Ia tidak ingin ada korban hanya karena perang jebakan yang direncanakan Raden Mas Malaraja Brajamusti.

"Kangjeng Balatara Deyara! Kangjeng Balatara Deyara!" seru para pasukan mengikuti gerak kuda yang melaju dengan cepat. Kuda yang dipacu Deyara perlahan melambat.

"Kami akan ikut perang denganmu, apapun yang terjadi," ujar salah seorang pasukan pada Deyara, posisi kudanya begitu dekat dengan Deyara.

Deyara menghentikan kudanya, ia turun dari sana, dan merancang strategi yang akan dilakukan untuk melawan musuh.

TITIAN JENAR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang