BAGIAN 4

337 16 0
                                    

Apa yang diduga pemuda itu memang tak salah. Begitu dia mendorong tubuh Pandan Wangi, maka dia sendiri melompat ke samping untuk menghindari serangan lawan. Akibatnya rumah di belakang mereka menjadi sasaran serangan lawan sampai ambruk berantakan dengan tiang-tiang penyanggahnya hancur.
"Bagus! Ternyata kau punya kepandaian juga. Pantas berani bertingkah di depanku. Tapi kematianmu cuma menunggu waktu saja!" geram Klawir Abang sambil mendengus dan menyeringai buas pada Rangga.
"Dasar perampok, majulah kau! Jangan banyak mulut!" ejek Rangga semakin membuat kemarahan lawan memuncak.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Wut! Wut!
Klawir Abang semakin penasaran saja ketika semua serangannya dapat dihindari Rangga dengan mudah. Dia meningkatkan serangannya, dan mengeluarkan satu jurus handalnya yang bernama ‘Menebas Lalang Mencabut Rumput’. Jurus itu memang hebat dan tak mengecewakan karena beberapa saat kemudian terlihat lawan terdesak hebat. Rangga pun betul-betul merasakan tekanan yang dilakukan Klawir Abang.
Kalau saja dia tak mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib, niscaya sudah sejak tadi serangan lawan akan melukainya. Tapi dia tak bisa terus menerus bertahan dengan jurus itu. Sebagaimana diketahui, jurus Sembilan Langkah Ajaib adalah suatu jurus yang mengandalkan kelincahan bergerak untuk menghindari serangan-serangan lawan, maka pada satu kesempatan, pemuda itu melompat cepat sambil melakukan beberapa kali gerakan bersalto.
Sementara Klawir Abang sama sekali tak ingin memberi kesempatan sedikit pun kepada lawan. Dia terus memburu sambil menyerang lawan dengan gencar.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Tubuh Rangga meliuk-liuk dengan lincahnya dan kedua kakinya menyambar-nyambar kepala lawan dengan gencar. Klawir Abang tercekat kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke tanah. Namun Rangga terus mengejarnya tiada henti sambil memainkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
Plak! Plak!
"Uhh!"
Dalam satu kesempatan Klawir Abang memberanikan diri menangkis tendangan lawan dengan sapuan kakinya. Tapi dia mengeluh sendiri sambil menahan rasa sakit. Sadarlah dia bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi satu tingkat di atasnya. Lagipula dibandingkan kecepatan bergerak, terlihat pemuda itu lebih unggul pula darinya. Tanpa sadar dia mengeluh sendiri meski hal itu tak ditunjukkannya lewat sikap.
"Hm, boleh juga permainanmu, Bocah. Siapa gurumu?" tanya Klawir Abang setelah melompat agak jauh dari serangan lawan. Rangga sendiri tak meneruskan serangannya.
"Untuk apa kau tahu guruku?"
"Hahahaha...! Siapa tahu aku dan gurumu punya pertalian saudara, dan kalau melihat kau berani mengganggu urusanku maka kau akan kena hukuman berat darinya!"
Kali ini Rangga yang tertawa kecil mendengar kata-kata Klawir Abang. "Hahahaha...! Kau tahu Klawir Abang? Kalau sampai beliau tahu perbuatanku, dia malah akan bertepuk tangan saking gembiranya. Malah beliau akan marah-marah karena aku lama sekali memotes kepalamu!"
Ketawa Klawir Abang seketika sirna. Wajahnya kembali menyiratkan kemarahan yang tak terkendali lagi. Ditatapnya pemuda itu tajam-tajam, kemudian perlahan-lahan mencabut badik panjang yang terselip di pinggang.
"Kau akan mampus di tanganku, Bocah...!" geramnya dengan suara ditekan sedemikian rupa.
Rangga telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Namun sebelum keduanya kembali terlibat dalam pertarungan, terdengar jerit dan pekik kematian beberapa anak buah Klawir Abang yang berada di ujung jalan.
"Gerombolan Badik Merah, menyerahlah kalian! Tempat ini telah dikepung oleh tentara kerajaan...!"
"He, keparat!" Klawir Abang memaki geram mendengar teriakan mengancam itu.
Tapi ancaman itu memang beralasan sebab di setiap pelosok desa terlihat prajurit-prajurit kerajaan dengan senjata terhunus dan siap menyerang mereka. Klawir Abang mengumpulkan seluruh anak buahnya. Mereka terlihat bingung dan salah tingkah. Namun dengan tabah Klawir Abang berteriak pelan kepada mereka.
"Kalian tak perlu takut. Kita akan melawan mereka!"
"Tapi jumlah mereka lebih banyak daripada kita, Klawir!" sahut salah seorang anak buahnya.
"Huh, mereka pikir bisa menangkapku! Jangan harap!" dengus Klawir Abang geram. Dia memberi semangat dan ancaman kepada anak buahnya yang ragu-ragu dan takut. Kemudian setelah bersiap akan menempur tentara kerajaan, dia memandang tajam ke arah Rangga.
"Bocah, lain kali kita selesaikan urusan kita. Coba sebutkan kau punya julukan agar bisa kuingat-ingat kelak!"
Rangga tersenyum kecil. Meskipun jahat dan memiliki sifat yang buruk, namun Klawir Abang berjiwa ksatria dan pantang menyerah. Lebih dari itu dia seorang pemimpin yang tangguh dan tegas kepada anak buahnya. Tak ada salahnya dia menghormatinya dengan menyebutkan siapa dirinya.
"Hm, jadi kau rupanya Pendekar Rajawali Sakti" Klawir Abang hanya berkata begitu, tanpa rasa heran ataupun nada datar.
Kesannya biasa saja mendengar Rangga menyebutkan julukannya. Itu berarti dia memang pernah mendengar namanya, tapi merasa bahwa pemuda itu sama sekali tak mengejutkan bagi dirinya. Kemudian setelah itu dia dan anak buahnya menggempur tentara kerajaan pada satu jurusan, dengan sengit dan semangat yang berapi-api. Apa yang dilakukan Klawir Abang memang bukanlah taktik bunuh diri, namun suatu siasat penyelamatan diri yang jitu dan tak mengambil banyak korban.
Dengan menekan pada satu jurusan, maka mereka bisa dengan leluasa menghadapi prajurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya hampir sama. Dan ketika prajurit-prajurit kerajaan dari jurusan lain bermaksud memberi bantuan, Gerombolan Badik Merah telah berlalu dari tempat itu. Meninggalkan beberapa korban yang terjadi di kedua belah pihak. Tapi niatnya untuk tidak tertangkap oleh pihak kerajaan telah terlaksana.
"Kisanak, siapa kalian ini?" tanya salah seorang prajurit kerajaan yang mendekati Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Kami cuma pengembara biasa. Namaku Rangga dan ini kawanku, Pandan Wangi," sahut Rangga.
"Ada urusan apa sehingga kau bentrok dengan Gerombolan Badik Merah? Dan tahukah kau bahwa orang itu tengah dicari-cari pihak kerajaan?"
"Hm, aku sungguh baru mendengar hal itu. Benarkah demikian? Sebab apa dia cari-cari pihak kerajaan.”
"Mereka sering merampok dan meresahkan penduduk di wilayah kerajaan. Telah lama kami mencari jejaknya dan baru kali ini kembali bertemu. Tahukah kau kira-kira di mana sarang mereka berada?"
Rangga tersenyum kecil.
"Kisanak mungkin tadi kau sempat melihat bahwa diantara kami bermusuhan. Bagaimana mungkin aku tahu dimana sarang Gerombolan Badik Merah. Kalau aku tahu, sudah sejak dulu kusatroni."
"Oh, begitu? Memang tadi kami sempat melihat perkelahian kalian berdua. Kisanak, pihak kerajaan akan sangat berterima kasih sekali kalau suatu saat kau bertemu mereka dan memberitahukannya kepada kami."
"Oh, pasti akan kuberitahukan!" sahut Rangga cepat.
"Satu lagi...."
"Apa itu?"
"Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia persilatan, tahukah kau siapa tokoh yang sering mencuri?"
"Suka mencuri? Siapa yang kalian maksudkan?" tanya Rangga aneh bercampur bingung. Tokoh seperti itu memang banyak terdapat, tapi baru kali ini pihak kerajaan menaruh perhatian.
"Belakangan ini banyak terdapat laporan yang mengatakan bahwa seorang tokoh persilatan sering mencuri benda-benda berharga dari para saudagar-saudagar kaya. Orang itu tak mempunyai tujuan untuk membunuh, namun kebanyakan korban-korban yang ditimbulkannya adalah mereka yang hendak menghalangi niatnya. Banyak sudah jago-jago silat yang disewa oleh saudagar-saudagar kaya untuk melindungi harta benda mereka, namun tak satupun yang mampu menangkap pencuri itu. Bahkan kebanyakan dari mereka kedapatan tewas..." jelas prajurit kerajaan itu.
Rangga tersenyum-senyum kecil. Demikian pula Pandan Wangi. Sampai para prajurit kerajaan meninggalkan tempat ini dan mereka pun berlalu, Rangga masih juga tersenyum.
"Kenapa Kakang tersenyum-senyum begitu?" tanya Pandan Wangi heran.
"Aku teringat cerita kawan. Dia seorang maling, namun hasilnya selalu dibagikan kepada rakyat yang tak mampu. Siapakah orang itu dan apa yang diinginkannya? Kita juga tak tahu, ke mana hasil curiannya itu digunakan. Bukan tak mungkin bahwa dia membagikannya kepada rakyat jelata. Lalu... he, buat apa aku mesti melaporkannya kepada mereka kalau suatu saat kita bertemu dengan orang itu?" tanya Rangga seperti pada dirinya sendiri.
"Bagaimana kalau barang curian itu untuk dirinya sendiri?"
"Itu suatu kejahatan yang mesti secepatnya diberantas!"
"Kakang, kau tak akan bisa menjadi raja yang bijaksana bila berpikiran begitu!" cela Pandan Wangi.
"Lho, kenapa tidak?"
"Kejahatan tetap kejahatan apapun yang dilakukannya dari hasil kejahatannya itu, dan semuanya mesti diberantas!"
Rangga ketawa kecil. "Kalau seorang raja selalu bertindak begitu, itu suatu tanda bahwa sang raja kurang bijaksana. Seorang raja yang bijaksana harus bisa berpikir panjang dan meneliti persoalan dengan mencari setiap celah yang bisa digunakan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan suatu perkara. Bila kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, bukanlah hal itu termasuk dalam kebaikan pula?"
"Kakang, jangan suka berpikir yang sulit-sulit. Suatu saat kau akan terjebak sendiri ke dalamnya!" ujar Pandan Wangi menasehati.
Rangga hanya tertawa mendengar kata-kata gadis itu. "Apakah kau anggap hal seperti itu terlalu sulit?"
"Apakah Kakang kira hal itu mudah dipahami orang banyak?"
"Eh, siapa yang mengatakan bahwa hal itu untuk dipahami oleh orang banyak? Aku kan hanya bicara tentang seorang raja yang harus bersikap bijaksana...?"
"Sudahlah. Kakang kalau bicara selalu tak mau kalah!" sahut gadis itu ketus dengan wajah cemberut.
Kembali Rangga hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan Pandan Wangi yang sedang merajuk. Namun ketawanya tiba-tiba berhenti ketika mereka melewati sebuah rumah yang ramai dipenuhi oleh orang-orang.
"Hm, ada apa di situ? Apa yang terjadi?" seru Rangga heran bercampur penasaran.
Dia membelokkan arah lari kudanya tanpa mengajak gadis itu. Hal itu tentu saja menambah perasaan kesal di hati Pandan Wangi. Namun dia terpaksa mengikuti pemuda itu. "Apa yang telah terjadi di sini, Kisanak?" tanya Rangga ramah pada salah seorang yang berada didekatnya.
Orang itu memandang sekilas kepada Rangga sebelum menjawab. "Mereka terkena musibah…"
"Musibah apa?"
"Setelah suaminya pergi, tak berapa lama mereka dirampok dan segala harta bendanya habis semua. Beberapa saat kemudian orang-orang membawa suaminya yang telah menjadi mayat...."
"Siapa keluarga ini dan kenapa suaminya tewas? Lalu adakah yang mengetahui siapa orang yang merampok itu?" tanya Rangga lebih lanjut.
"Suaminya yang meninggal bernama Tatang Senjaya...," jelas orang itu kemudian menceritakan sedikit yang diketahuinya dari murid-murid Tatang Senjaya sendiri.
Seperti diketahui, Tatang Senjaya tewas di tangan pendekar dari negri asing yang bernama Wu Shian Lung. Kemudian mayatnya ditemukan orang-orang di desa ini dan membawanya pulang. Namun setiba dirumah ternyata ada musibah yang menimpa pula. Beberapa orang muridnya didapati telah tewas. Yang tersisa hanya mereka yang kebetulan tak berada di tempat kejadian saja. Sementara anak dan istri Tatang Senjaya sendiri selamat.
"Hm, jadi tak ada yang mengetahui siapa perampok itu?" tanya Rangga setelah mendengar penuturan orang itu.
"Menurut keterangannya, orang itu mengenakan topeng. Ilmunya tinggi dan semua murid Tatang Senjaya tak mampu melawannya."
Rangga merenung beberapa saat lamanya mendengar penuturan orang tersebut. Betulkah ini ada hubungannya dengan seorang tokoh yang diceritakan prajurit kerajaan tadi padanya? Kalau benar demikian, apakah pantas dia disebut baik? Seorang maling budiman jarang membunuh korbannya jika tak terpaksa sekali. Tapi beberapa orang murid Tatang Senjaya tewas dengan cara yang mengerikan. Dan jelas hal itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hati yang sadis.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau masih beranggapan bahwa pencuri itu orang baik?" tanya Pandan Wangi sinis seperti mengerti apa yang dipikirkan pemuda itu. Rangga diam saja sambil menaiki kudanya dan berlalu dari tempat itu. Kali ini terlihat wajah Pandan Wangi selalu tersenyum penuh kemenangan.
"Kau membenarkan kata-kataku, bukan?" ulang Pandan Wangi sambil tersenyum meng-goda.
"Kau boleh benar, tapi tentu tidak dengan pencuri itu. Siapa tahu dia bukan mencuri yang masuk dalam hitungan seperti yang kuceritakan tadi. Dia betul-betul pencuri yang melakukan kejahatan dan pantas mendapat hukuman yang setimpal!" sahut Rangga tenang.
"Huuu, Kakang memang tak pernah mengalah. Merasa benar sendiri, dan tak mau mendengar pendapat orang lain!" gerutu Pandan Wangi dengan kesal.
"Lho... kenapa jadi kesal sendiri? Ah, sudahlah. Lebih baik kita tak membicarakan hal itu lagi...."
Pandan Wangi diam saja tak menyahut. Rangga meliriknya berkali-kali dan berusaha menggodanya. Namun gadis itu tetap cemberut dan tak mau berpaling sedikitpun. Kedua muda-mudi itu terus berlalu hingga tiba di tepi sebuah pantai di dekat perkampungan nelayan.
"Lho, kenapa jadi melantur. Apa yang akan kita kerjakan di sini?" tanya Rangga pada diri sendiri.
"Kakang, apakah kau merasa bahwa kita tak punya tujuan? Kalau begitu untuk apa kita berleha-leha segala? Lebih baik kita pulang ke Karang Setra dan beristirahat barang beberapa bulan...," kata Pandan Wangi dengan suara datar.
"Ya, aku juga bingung. Tapi bukan soal tujuan kita, melainkan ada sesuatu yang terjadi di daerah ini dan menjadi teka-teki bagi kita. Pencurian, kemudian tokoh asing yang menantang pendekar-pendekar negeri ini, dan nanti entah apa lagi...."
Kata-kata Rangga terpotong ketika melihat suatu perkelahian yang kelihatannya tak seimbang. Seorang laki-laki tengah dikeroyok oleh sepuluh orang lawannya yang bertubuh besar-besar. Laki-laki itu sendiri bertubuh sedang dan agak kurus.
"Coba kita ke sana!" ajak Rangga.
"Kakang mau mencampuri urusan orang?"
"Kita hanya melihat-lihat saja. Kalaupun sesuatu terjadi pada kita, itu soal nanti," sahut Rangga seenaknya sambil memacu kudanya mendekati tempat perkelahian itu.
Sambil bersungut-sungut kesal Pandan Wangi terpaksa mengikuti dari belakang. Dari dekat mereka dapat melihat dengan jelas. Laki-laki yang tengah dikeroyok itu mengenakan baju putih terbuat dari sutera. Namun caranya berpakaian berbeda sekali dengan penduduk kebanyakan di negri ini. Rambutnya yang panjang digelung ke belakang, dan orang ini pun memakai sepatu panjang yang menutupi celananya. Sepasang alisnya agak miring menaungi kelopak matanya yang sipit. Kulitnya kuning langsat dan wajahnya klimis. Laki-laki ini paling-paling berusia sekitar tiga puluh lima tahun atau lebih sedikit. Dengan bertangan kosong dia mampu bergerak lincah menghindari sambaran-sambaran senjata lawan-lawannya.
"Kakang, laki-laki itu pastilah orang asing di sini. Apakah tak mungkin dia yang belakangan ini ramai dibicarakan orang?!" seru Pandan Wangi curiga.
"Nah, betulkan Kakang akan mencampuri urusan orang?!"
Rangga tak menyahuti ucapan Pandan Wangi, sebaiknya malah berteriak dengan suara nyaring. "Kisanak, apakah yang tengah terjadi di sini?!"

***

118. Pendekar Rajawali Sakti : Dukun Dari TibetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang