Keping Ambarawa

1K 40 7
                                    

Banjarmasin, 10 Maret 1943

Semalaman suntuk Ambarawa menahan kantuk, namun ia berusaha tetap terjaga dengan perasaan gamang. Sementara jalan tampak tak berujung, hanya rerumputan liar dan prajurit-prajurit Nippon yang berjaga dengan mata nyalang seakan siap menjegal.

Sesekali Ambarawa menggerak-gerakkan kaki telanjangnya yang mulai kaku. Jelas terlihat jari-jari kaki mungil itu tak berhenti bergetar.

Ambara menangkap papan peringatan “Verboden voor Honden en Inlander’ atau ‘Terlarang bagi Anjing dan Pribumi’ masih terpasang di tempat-tempat orang  Belanda asli atau totok sejauh mata memandang. Restauran, tempat hiburan, losmen-losmen pelacuran tak lagi disesaki oleh orang-orang Belanda. Keadaan lenggang bagai kota mati.

Tak jauh dari sana, puluhan tentara Nippon berkerubung merundingan sesuatu yang pelik dengan asap mengepul dari cerutu mereka.
Ia bersama delapan gadis lain dipaksa menaiki kendaraan dengan bak terbuka serupa truk pemasok senjata api yang sering dilihatnya sibuk berlalu-lalang di jalan raya.

Ambara mengedarkan pandangan ke sekeliling, gadis-gadis seusianya meringkuk menyembunyikan air mata mereka. Di ujung truk, terdapat seorang gadis Tionghoa menatap lurus ke arah tentara penjaga. Ia tampak terlihat waras dari yang lain.

Hanya beberapa hari setelah Samarinda direbut, Banjarmasin dikepung oleh tentara Nippon pada 10 Februari 1942.  Parade tentara Nippon berbaris berlapis-lapis sambil memangku bayonet di dada kiri mereka tak asing bagi Ambarawa. Ambarawa tidak mengenal tentara berkulit putih dan bermata sipit itu, namun ia segera mengerti negaranya akan diporak-porandakan sekali lagi.

Ambara mengadu nasib sebagai buruh pabrik minyak di Balikpapan selama tiga tahun. Tanpa disangka, tentara Nippon menyerbu tempat itu untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar cadangan panser milik mereka.
Peristiwa pembumihangusan instalansi minyak oleh orang-orang Belanda memicu kemarahan tentara Nippon. Mereka memaksa Ambarawa menyaksikan pembunuhan orang-orang Belanda itu.

Ambarawa tak punya pilihan selain melarikan diri dari amukan tentara Nippon. Dengan menyusup kendaraan pejuang pribumi secara diam-diam , ia menuju Banjarmasin—daerah terdekat yang mungkin dicapai Ambara—guna mencari perlindungan.

Suasana di Banjarmasin mengeruh. Tak cukup mengirim ribuan laki-laki pribumi dari berbagai kalangan untuk dijadikan pekerja romusha, gadis-gadis perawan di bawah umur tak bernasib mujur, mereka dieksploitasi oleh prajurit Nippon sebagai budak seks. Ambarawa bersama delapan gadis pribumi lainnya akan dijadikan Jugun Ianfu.

Para Jugun Ianfu direkrut dari desa dengan kekerasan, tipu muslihat, dan ancaman. Sistem rekruitmen tertutup, tidak menggunakan pengumuman resmi seperti romusha. Pemerintah militer Jepang menggunakan bantuan pejabat seperti lurah, camat, dan tonarigumi.

Hawa dingin menusuk tulang rusuk kurus yang terbalut kemben seadanya. Sorot mata salah satu tentara Nippon yang duduk di sudut truk memindai tajam ke arah Ambarawa. Refleks Ambarawa menutupi tonjolan kedua buah dadanya. Bibir tentara itu menyeringai. Betapa ingin Ambarawa wajah menjjikan itu. 

Ambara sangat waspada dengan setiap pergerakan tentara penjaga. Tidak ada jaminan bahwa bayonet-bayonet di pangkuan tentara berseragam cokelat itu tidak menyerangnya suatu saat.

Atama o sagete!” teriak tentara Nippon kepada Ambara untuk menundukkan kepala.

Bunyi geraman dari mulut tentara itu mampu membuat seluruh bahu gadis-gadis Jungun Ianfu berjengkit kaget, namun tak ada satu pun dari mereka berani menoleh apalagi bertatap wajah.

Keping Ambarawa Where stories live. Discover now