Obrolan Pertama

109 10 7
                                    

Tidak ada hujan, tidak ada badai, tidak ada kecelakaan, tiba-tiba Valky mengutarakan sebuah pernyataan yang mencengangkan.

"Aku suka sama kamu, Ai-san."

"Um... Um... Maaf cuman..."

Ai tidak tahu ia harus bicara apa. Ia takut akan menyakiti perasaan Valky tapi ia sendiri adalah pengidap philophobia. Ia takut untuk jatuh cinta sehingga sampai sekarang ia tidak pernah berurusan dengan perasaan yang banyak diagungkan orang tersebut.

"Bukannya aku gak suka Valky-san, maaf aku cuman gak mau punya hubungan romantis," sahut Ai.

"Um... aku... Harus pergi sekarang," pamit Ai bergegas menjauh.

"Eh?" Valky menatap kepergian Ai dengan tatapan bingung. Dirinya ditolak kah barusan? Kok cepet banget? Dirinya sadar sih kalau nembak kemungkinan ditolak itu cepat. Tapi ini kaya cepatnya cahaya matahari menghantam bumi.

Tersadar, Valky lalu memilih mengejar orang yang baru saja dia tembak, "Tunggu! Ai-san!"

Ai dengan ragu memberhentikan langkahnya. Berbalik takut-takut dan menjawab.

"Ya?"

Ai berhenti berlari ketika tepat di depan Ai. Dia sedikit mendongak pada perempuan di depannya dan menatap matanya langsung, "Aku cuma ingin mengutarakan. Bukan berarti aku memaksa Ai-san untuk jadi kekasihku." Jawab Valky lantang, "Tapi kalau Ai-san tolak tak apa. Kita masih teman kan?"

Ai menarik napas panjang lalu tersenyum tipis.

"Tentu saja Valky-san, kita masih temenan."

"Kalau begiti mau tidak makan bareng ke kafeteria?" Ajak Valky tersenyum.

Ai mengangguk singkat. "Boleh."

Dan mereka berdua segera menuju arah kafetaria tanpa banyak obrolan.

Selama perjalanan, Valky kalut dalam hati dan pikirannya. Dia sejak tadi memanglingkan wajahnya dari sosok yang berjalan di sebelahnya. Wajahnya kentara memerah dan terasa panas. Rasa malunya baru muncul setelah kejadian terjadi.

Padahal dalam bayangannya, kalau diterima Valky akan tersenyum hangat dan mencium pipi Ai kemudian akan jalan dan makan di mana gitu sambil ngobrol. Dan kalau ditolak, dirinya masih akan tetap tersenyum dan pulang. Entah mau mengerjakan tugas atau apa. Intinya dia akan pulang dan menyendiri.

Tapi fakta malah berkebalikan dengan imajinasi. Sehabis ditolak malah ngajak makan ke kafetaria kampus. Orang maso mana yang habis ditolak malah ngajak ngobrol sama makan? Ya, dia Valky.

Sebelum Valky dapat mengasihani diri lebih lama, mereka sudah sampai di kafetaria. Duduk dan memesan minuman, dan membawanya ke bangku yang kosong setelah siap.

"Ngomong-ngomong, kenapa Ai-san takut dengan cinta?" Tanya Valky memulai percakapan. Dia ingin tahu lebih jauh tentang Ai.

Ai berpikir lama. Lalu dengan ragu-ragu menjawab.

"Menakutkan saja menurutku. Mencintai seseorang itu butuh keterbukaan, dan aku takut mengekspos diri ku pada orang lain. Semua pribadi yang tidak bisa aku tunjukkan, lalu aku juga tidak tau dengan pasti bagaimana rasanya jatuh cinta itu."

"Ohh..." Valky mengangguk paham, "Jadi, Ai-san ada trauma tersendiri untuk membuka diri pada orang lain?"

Ai menggeleng. "Aku udah sedari kecil begini anaknya tertutup, aku gak suka memperlihatkan rasa sedih, amarah, atau kesal dihadapan orang lain, jadinya aku besar ya takut untuk terbuka."

"Aku kira ada trauma." Valky lalu menompang dagunya, "Tapi Ai-san pernah jatuh cinta?"

Ai tertawa kecil. "Nggak pernah, makanya aku nggak tau rasanya mencintai secara romantis itu seperti apa. Aku gak pernah memikirkan rasa ketertarikan pada seseorang bisa saja lebih dari sekedar teman, makanya kata adikku aku ini nggak sensitif. Aneh ya? Memang saat Valky-san jatuh cinta rasanya kayak apa?"

We Have StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang