Chapter 3

6.1K 371 8
                                    

(Dean..)

Aku menyandarkan punggungku pada dinding di belakangku, sesekali aku mengintip jam tangan hitamku untuk melihat jam. Jariku mengetuk jam tanganku dengan bosan. Lalu memutuskan untuk mencari perempuan itu. Perempuan misterius yang selalu membuatku khawatir.

Tanganku meraih handphoneku di saku dan menekan phonebook untuk menghubungi perempuan keras kepala dan misterius itu.

"Halo?"

Aku menghela nafas lega begitu mendengar suaranya. "Dimana kau?"

"Aku? Hmm.. Sekolah?"

Aku mengernyit dan menyadari sesuatu. Lagi-lagi ia berbohong. "Jangan bohong."

Aku mendengar ia menghela nafas singkat lalu berdecak. "Fine. Aku sedang di cafe bersama Conner."

"Aku akan kesana."

"Tidak. Jangan ke sini sebelum aku menyuruhmu ke sini."

"Kenapa?"

Ia mengerang lalu berdecak. Aku bisa membayangkan ia sedang menggoyang-goyangkan tangannya dengan malas lalu menatap sadis apapun di depannya. Itu ciri khasnya. "Pokoknya tidak."

Aku tertawa kecil dan mengangguk. "Okay. Telpon aku jika butuh sesuatu."

------

(Jane..)

"Bagaimana?" Aku berbalik ke arah Jack dan Nathan yang sedang berkutat dengan komputer. Mereka sedang menganalisa kode untuk mengaktifkan program-program yang menurutku tidak menarik. Aku memutar kedua bola mataku saat mereka berdua tidak merespon pertanyaanku. Mereka hanya saling beradu pendapat mengenai kode itu. Sesekali Jack memukul Nathan dengan bantal tebal milik Nathan. Oh! Kita sedang berada di rumah Nathan untuk menganalisa code. Jack memilih rumah Nathan karena Nathan memiliki teknologi super duper lengkap dan canggih.

"Guys." Aku menepuk bantal di pangkuanku dengan malas. Namun tidak ada response untukku. Aku berdeham dan memanggil mereka sekali lagi. Hasilnya pun tetap sama.

"Hello?!" Aku berteriak cukup keras untuk menarik perhatian mereka. Nathan dan Jack menoleh kearahku dengan kompak lalu menatapku dengan tatapan kalau mereka merasa terganggu atas kehadiranku.

"Bagaimana dengan Adam? Lalu code?"

"Adam masih diselidiki begitu juga dengan code." Nathan mengangkat bahunya singkat lalu kembali menatap komputernya.

"Nice talk" gumamku pelan lalu berdiri. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dan mencoba mencari kesenanganku sendiri. Aku meraih handphoneku dan menggunakan jaketku kembali lalu berjalan keluar rumah Nathan. Aku menyusuri jalanan dan memutuskan untuk melihat-lihat toko-toko di sekitar cafe Conner. Sudah lama aku tidak jalan-jalan selayaknya remaja normal jadi akan kunikmati sekarang. Mataku menganalisa setiap kaca-kaca besar toko sepanjang jalanan yang menampilkan produk terbaik mereka.

Aku berhenti sejenak saat melihat sepatu yang menurutku menarik. Sepatu itu berwarna merah maroon gelap, dengan model mirip converse. Aku menimbang-nimbang sesuatu di kepalaku lalu masuk ke dalam toko tersebut. Agar sepatu itu tidak terbeli sia-sia, aku mengecek apakah sepatu itu cukup fleksibel untuk pekerjaanku yang kadang mengharuskan kakiku untuk bekerja extra, terutama di segala kondisi baik itu hujan, lumpur, berpasir, dan lain-lain.

"Janetta!"

Aku memutar kedua bola mataku begitu mendengar seseorang yang selalu memanggilku dengan Nada dan nama aneh. "Jangan memanggilku begitu james. I warn you." Aku memutar sepatu itu di tanganku ke arahnya. Ia tertawa dan mengambil sepatu di tanganku. "Sorry. So.. Dimana Dean?"  Ia menganalisa sepatu yang ia ambil lalu memberikannya lagi padaku.

"Babysitting." Jawabku asal sambil berjalan ke arah pegawai toko yang memperhatikan kami. "Ukuran 36?" Ia mengangguk lalu berjalan ke arah belakang kasir.

"Serius? Babysitting?!" James menatapku dengan horor. Aku tertawa dan menepuk pundaknya pelan. "Aku bercanda James Bond. Apa yang kau lakukan di sini?"

Ia tertawa terpaksa lalu berjalan ke arah belakangku. "Membeli sepatu basket. Team kita akan bertanding."

Aku membuka mulutku pelan saat memikirkan sebuah pertanyaan.

"Yup. Dia ikut. Dean dalam team." Potong James cepat seperti ia mengetahui dengan benar apa yang akan kupertanyakan. Aku mengangguk pelan lalu menghampiri pegawai yang sudah mengambilkan sepatuku. Aku berjalan ke kasir lalu menunggu pegawai tersebut memasukan barcode untuk harga sepatuku. Mataku menyusuri deretan accessories olahraga di belakang kasier dan menangkap satu accessories yang menurutku bagus untuk Dean. Bagus untuk mendukungnya supaya menang. Itu gunanya teman masa kecil bukan?

"Hm, bisakah aku melihat yang itu? Yang berwarna biru Navy." Aku menunjuk wristband yang ada di belakangnya. Ia mengambilnya dan memberikannya padaku.

"Wooo. Jadi ini hadiah penyemangat?" James mencondongkan kepalanya di sampingku lalu bersiul.

Aku mendorong wajahnya mundur lalu menatapnya datar. "Berisik." Aku memutar badanku lagi lalu memberikannya pada pegawai tersebut. Aku membayar barang belanjaanku lalu berjalan keluar tanpa memperdulikan James yang memanggilku beberapa kali.

-----------

Aku merapatkan jaketku dan menyandarkan punggungku pada dinding di belakangku. Mataku menganalisa hujan yang sedang turun dengan lumayan deras. Jika aku dalam misi tentu aku akan berlari sampai tempat yang aman. Tapi ini bukan misi jadi aku akan menunggu saja. Aku menghela nafas panjang begitu menyadari hujan ini akan bertahan lama. "Lebih baik aku pulang saja." Gumamku pelan. Aku menggenggam barang belanjaanku dengan kuat lalu berlari menuju cafe Conner. Kurasa Conner memiliki beberapa payung extra yang bisa kupinjam.

Langkahku terhenti saat melihat seseorang berdiri di hadapanku dengan sebuah payung di tangannya. Ia berdecak lalu menggeleng-geleng melihatku. Mataku membulat begitu otakku dapat memproses siapa dia. Ia berjalan mendekatiku lalu menarikku mendekatinya. "Sudah kubilang untuk menghubungiku jika membutuhkan sesuatu." Ia mengeluarkan saputangan dari sakunya lalu mengusap wajahku pelan. "Lihat kau sampai basah sekali. Kenapa tidak meneleponku untuk sebuah payung?!"

Ia mengambil barang belanjaanku lalu matanya bertemu dengan mataku sekali lagi. "Kau harus membayar segalanya." Ia berdecak lalu menatapku kesal. "Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini? Ah, kau ini.."

Aku menunduk dan bersandar pada bahunya. "Maaf." Kataku dengan tulus.

Ia menepuk pundakku pelan lalu mengacak rambutku. "Ayo pulang..." Ia tersenyum sambil menarikku ke arah mobilnya.

Saat itulah aku mulai menyadari bahwa Dean memang seorang pria bukan teman masa kecilku lagi. Ia sudah bertumbuh menjadi dewasa dibandingkan aku yang masih berpikiran kecil..

Secret GirlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora