4

642 189 72
                                    

Satu kekurangan yang akhirnya gue temukan ada pada diri Wanda. Nggak pakai hijab. Bukan mendiskreditkan perempuan yang tidak berhijab. Tapi kayaknya, Mami nggak setuju aja kalau anak laki-laki bungsunya ini menikah dengan perempuan yang nggak berhijab.

Padahal, gue sih nggak masalah. Apalagi perempuan secantik Wanda, membuat apa aja yang melekat di tubuhnya terlihat sempurna.

Tapi, gue amat sangat yakin. Wanda adalah muslim yang taat. Sejak hari pertama, satu hal yang nggak pernah dia lupa, sholat lima waktu. Jadi gue juga akhirnya terinfluence untuk sholat lima waktu juga.

Siang ini kita baru aja selesai sholat. Masing-masing. Padahal gue pengen jadi imamnya. Tapi, belum apa-apa udah ditolak sama dia. Alasannya, "Aku mau baca al-ikhlas sama An-nas aja. Kalau imaman sama kamu, takutnya kamu baca Hal Ataaka sama Amma lagi."

Kalau nggak ngerti, Hal Ataaka itu, ayat pertama surat Al-ghasiyah. Sementara Amma adalah ayat pertama surat An-naba. 

Masalahnya, gue juga nggak bakal baca surat panjang-panjang itu karena nggak terlalu hapal. Jadi gue juga bakal baca surat kecil kaya Al ashr dan paling panjang juga Al-qoriah.

Balik lagi, setelah gue dan dia selesai sholat kita memutuskan istirahat sebentar. Ngobrol-ngobrol. Sampai pada kalimat, yang gue sesali.

"Lo sholat rajin Nda. Orang-orang pasti heran lo nggak pakai kerudung," ya gue juga heran makanya bertanya.

Dia mengulum senyumnya. Banyangin, gue di samping dia, lihat senyum dia. Pipi dia yang naik membuat matanya menyipit. Gue gemas. Ingin cubit. Tapi tahu, nggak berhak. Sebagai gantinya, hati gue terasa dicubit. Sadar, kalau gue bukan siapa-siapa.

"Udah pernah," kata dia singkat.

Gue membelalak. "Lo pernah pakai hijab terus sekarang nggak?"

Dia mengangguk.

"Kok.. bisa?" Gue tahu kok, tahu banget, harusnya gue nggak bilang gitu untuk menghargai keputusan dia. Cuma gue benar-benar penasaran aja.

"Ya dilepas lah. Masa nggak."

Feeling gue nggak enak.

"Ya... iya... tapi.."

Dia mendelik ke arah gue yang masih bingung harus bilang apa. "Harus dilepas. Kalau nggak kan ntar dikejar sama marbot masjidnya."

"Hah? Gimana? Kerudung apaan yang lo pakai sampai harus dikejar marbot."

"Itu mukena masjid. Kan kerudung juga."

Harusnya gue sudah menduga. Bakal ada jawaban yang tidak terduga keluar dari bibir Wanda. Salah satunya ini. Gue sudah mau ngomong kasar. Tapi masih di masjid.

Kayaknya Wanda tahu gue kesal karena merasa ditipu. Jadi dia merangkul tangan gue. Dada gue udah megap-megap. Skinship itu terlalu nyata. Bikin gue pusing setengah jiwa. Mau teriak rasanya kalau Wanda nggak boleh berlebihan bersikap.

"Maaf yaa. Abis kamu bandingin iman aku pas sholat sama berhijab. Kan bedaaaaa," suaranya melengking di telinga gue. Mirip Bekti. 

Tapi beda. Please. Beda banget. Yang ini bikin ketar ketir kejiwaan gue yang hampir autis. Atau memang autis. Karena gue selalu suka sama kejutan yang dia berikan. Suka semua yang dia lakukan.

Gue berusaha melepas rangkulannya pada tangan gue. "Iya iya dah paham gue. Udah ayok jalan lagi. Katanya ada tempat yang mau dikunjungi."

Dia segera bergegas membereskan semua barangnya. Lalu berjalan di belakang gue sambil nyanyi-nyanyi senang. Nggak paham lagi gue, dia itu absurd. Gue tahu pasti bakal ada hal aneh yang dia lakukan atau dia katakan. Tapi tetap aja, walaupun gue sudah menyiapkan diri. Semua selalu mengejutkan.

Tidak Ada Jam KerjaWhere stories live. Discover now