Si Kecil Cabe Rawit

1.1K 26 0
                                    

Angin semilir berembus pelan, menemani seorang anak perempuan yang berperawakan mungil, duduk bersila di teras rumahnya. Meskipun cuaca siang itu agak mendung dan sejuk, namun bulir-bulir keringat tetap saja membasahi wajahnya. Tangan kanannya sibuk menggambar pola kucing di selembar kertas putih, yang nantinya akan ditempel di atas triplek. Kertas-kertas bekas yang telah direndamnya semalaman, kini telah menjadi bubur, dan siap digunakan.

Dua jam kemudian, akhirnya bubur koran berbentuk kucing itu siap untuk dijemur. Setelah kering nanti, bubur koran tersebut akan dicat agar nampak indah. Sari, nama anak itu, nampak kelelahan. Ia duduk bersandar di tembok, merasa bersyukur karena tugasnya akan segera selesai, karena sehabis ini ia harus membantu Bunda menyiapkan makan malam.

Tibalah hari pengumpulan tugas keterampilan. Para murid kelas lima membawa beraneka macam bentuk yang telah dicat seindah mungkin ke dalam kelas. Di tengah-tengah kelas, beberapa murid sedang asyik berkerumun, mengelilingi sebuah patung kura-kura berukuran sedang berwarna hijau kecokelatan. Siapapun yang melihat pasti akan setuju dengan keindahannya.

"Cantik banget kura-kuranya, Mir!" seru Reva, salah satu anak yang ikut berkerumun di sana.

"Hehe, makasih Va, ayahku yang bantu bikin. Kalau sendirian juga aku enggak sanggup, deh," sahut Mira, si pemilik patung kura-kura itu.

Sari memperhatikan Mira dari tempat duduknya, dua bangku dari tempat duduk Mira. Memang patut diakui, Mira yang juga tetangganya itu, sedari dulu memiliki hasil karya terbaik. Ayah Mira adalah seorang guru kesenian di SMA, dan selalu membantu Mira mengerjakan tugas keterampilan.

Tangan Sari menelungkup di atas meja, menutupi lembaran triplek yang berhiaskan kucing kuning. Kucing kuningnya bahkan terlihat seperti kucing alien, bentuknya agak tidak karuan. Sungguh, hasil karyanya sangat tidak bisa dibandingkan dengan milik Mira.

Murid-murid semakin banyak yang berdatangan ke meja Mira. Jaya-anak laki-laki berbadan besar yang tidak disenangi oleh sebagian murid karena tingkahnya yang suka seenaknya-datang sambil terkekeh-kekeh. Ia mengacung-acungkan patung kura-kura Mira ke atas, sambil memuji-muji. Lalu, ia pergi ke meja di belakang Mira, mengoceh satu dua kalimat, dan akhirnya sampai di meja Sari. Tanpa persetujuan, ia memegang papan triplek hasil karya Sari.

"Sar, aku lihat ya!" Jaya lantas merebutnya dengan kasar. Sari memelotot. Ia berusaha merebut kembali papan triplek miliknya, tapi tidak berhasil. Jaya lantas meledek prakarya buatan Sari sambil tertawa-tawa.

Sari tiba-tiba merasa panas. Ia menjawab Jaya dengan lantang. "Punya Mira hampir semuanya dibuat oleh ayahnya tau!"

Seisi kelas pun terdiam. Pandangan murid-murid kelas lima mulai tertuju pada Sari dan Jaya. Mira yang merasa terejek, menghampiri Sari.

"Memangnya kenapa kalau ayahku ikut bantu? Oh, aku tahu! Karyamu kurang memuaskan karena nggak ada yang bantu, ya?" Mira belum selesai berkata-kata, saat Sari mendorongnya keras hingga membentur meja.

Mira merintih kesakitan sambil menggosok-gosok pinggangnya. Matanya berkilat marah, ia mendekat ke arah Sari. Perbedaan postur tubuh mereka terlihat jelas. Mira tinggi dan berisi, sedangkan tinggi badan Sari tidak sampai setelinga Mira. Mira menatap Sari yang berdiam dengan tegang. Dengan marah, ia mendorong Sari dengan lebih keras hingga jatuh terjerembab ke lantai. Mira melotot dengan galak ke arah Sari yang sedang kesakitan.

Mars sekolah mulai berkumandang, menandakan mata pelajaran pertama segera dimulai.

"Sudah! Sudah! Jangan bertengkar lagi! Sebentar lagi Pak Budi datang." Reva datang menengahi. Ia lalu menenangkan Mira, mengantarnya kembali ke mejanya. Kemudian, ia menghampiri Sari yang masih terduduk di lantai, membantunya berdiri, raut wajahnya khawatir. "Kamu enggak apa-apa, Ri?"

Kumpulan Cerpen dan Dongeng AnakWhere stories live. Discover now