Epilog

91 23 26
                                    

Katanya, Hoba adalah seorang pengembara yang tak pernah tersesat. Ia sudah menjelajahi seluruh semesta dengan keretanya. Hoba itu seperti rasi bintang Orion yang selalu mengetahui tujuannya. Begitu kira-kira yang diceritakan Tuan Jimmy tentang Hoba kemarin sore saat acara minum teh.

“Nona. Kenapa. Bersedih?” Tiga kelinci muncul entah darimana saat aku tengah membaca buku di perpustakaan kerajaan yang diperbolehkan oleh Raja Jung. Kali ini tidak ada seruan bersama pada akhir kalimat mereka.

“Apa aku terlihat sedih?”

“Sangat, Nona.” Jeon berkata, dua lainnya membenarkan dengan anggukan.

“Jika Nona bersedih, nanti lukanya akan terbuka kembali. Pasti sakit,” jelas Park, yang dua lagi mengangguk.

“Apa ... jika lukaku terbuka lagi aku akan menetap di sini lebih lama?”

Aku mulai berpikir licik.

“Kami akan sangat senang jika Nona bisa bermain lebih lama dengan kami.” Kali ini Kim yang berbicara dan tentu saja kalian bisa menebak apa yang dilakukan yang lain.

“Apa Nona tidak senang bisa kembali ke dunia manusia?”

Aku langsung menoleh ke asal suara. Itu suara Dokter Brainstrom, tentu saja. Dari awal aku sudah mengetahui dokter kerajaan ini sangat-amat peka terhadap orang sekitarnya.

Aku menyeringai. “Dokter selalu tahu apa yang ada dipikiran saya.”

Dokter Brainstrom mendekat. “Itu sebab anda selalu menjaga jarak?”

Aku tidak membalas, hanya tertawa kecil.

“Boleh saya memberi masukkan sebagai teman?”

“Aku akan mendengarkan.”

“Kau tahu, seberapa keras kau berusaha untuk lari dari duniamu, kau tidak akan pernah terlepas darinya.” Dokter menatapku, mungkin ia mencari emosi dari ekspresiku.

Menaruh buku yang tadi sempat kupegang ke tempatnya, aku menatap balik sang Dokter. “Lalu apa yang harus kulakukan, teman?”

Dokter Brainstrom terkekeh kecil. Ia masih menatapku dengan hangat. “Tentu saja menghadapinya.”

“Bagaimana jika aku tidak bisa?”

“Kau kuat. Tentu saja bisa.”

“Bagaimana kau bisa yakin aku kuat. Aku bahkan tidak yakin apa yang kuhadapi. Apa itu hidupku, Ibuku, atau diriku sendiri. Aku selalu berharap ada seseorang yang mencabut nyawaku begitu saja, apa kau masih menyebutku kuat?” Aku mencoba menahan emosiku.

“Aku yakin kau kuat karena kau sudah melangkah maju.”

“Maksudmu?” Aku menaikkan satu alisku.

“Kau sudah membuat satu langkah maju. Buktinya adalah tempat ini. Kau berhasil datang kemari. Apa kau tidak sadar kau baru saja melangkah keluar dari penjara yang mengurungmu selama ini? Semuanya akan lebih baik ke depannya.”

“Kau mengatakannya seakan tahu apa yang akan terjadi.” Aku menatapnya dengan tajam.

“Aku tidak tahu. Aku hanya yakin bahwa kau akan menjadi lebih baik setelah ini. Aku percaya kau kuat dan bisa menghadapinya. Dan aku akan berusaha untuk membantu.”

Dia tidak berbohong. Sorot matanya begitu yakin. Selama ini aku yang terlalu merendahkan diriku.

“Kau tahu, Dokter? Sebenarnya akan sangat menyenangkan untuk mempunyai teman sepertimu.”

“Begitukah? Kalau begitu, haruskah kita menjadi teman?” Dokter Brainstrom mengulurkan tangannya, lesung pipinya mencuat manis. Aku menyukai senyumnya.

Aku pun menyambut tangan itu.

“Kau bisa memanggilku Namjoon kalau begitu.”

“Senang berteman denganmu Namjoon. Aku Lily.”

“Lily, semoga kau tumbuh dan mekar di duniamu dengan baik.”

Tepat saat aku melepas genggaman tangan itu dan saling melempar senyum, Victory datang. Ia mengatakan kalau Hoba segera datang untuk mengantarku. Dan aku diminta bersiap untuk menunggunya di taman.

Sesampainya di taman, aku menemukan raja Jung dan tuan Jimmy. Sepertinya mereka hendak mengantar kepergianku.

“Wah, sayangku. Bahkan hari ini pun kau masih sangat cantik. Lihat mata hijaunya, Yang Mulia. Bukankah sangat cantik?” Tuan Jimmy merangkulku. Dari yang kutahu, Tuan Jimmy adalah seorang penjual. Tidak tahu apa yang tepatnya ia jual. Tapi aku yakin ia tidak menjual hanya satu produk saja.

Merotasikan bola mata, Raja Jung menyahut dengan malas, “Tentu saja, Jim. Aku tahu Nona Manusia ini sangat cantik, kau sudah mengatakan itu berkali-kali. Tapi tamu kita ini harus kembali ke dunianya.”

Selagi Raja Jung dan Tuan Jimmy berdebat tentang kepulanganku, para kelinci berseru, “Hoba! Hoba! Hoba!”—ke langit sebelah selatan yang tepatnya ada di belakangku.

Dari langit sana tampak seseorang dengan beret cokelat berdiri di atas sesuatu yang panjang dan kecil. Ia seakan berseluncur di atas sana. Awalnya, kupikir yang ia naiki itu ular, namun semakin dekat aku menyadari itu adalah kereta mainan.

“Halo semuanya, Hoba di sini! Siapa yang akan diantar pulang kali ini kuung-kuung?” Pria itu membuat gerakan lucu seperti kucing dengan kedua tangannya yang dikepal. Sebelah kakinya masih berada di atas gerbong kereta kecil itu.

Jika dilihat dengan pikiran murni, kereta milik Hoba adalah kereta mainan dengan tenaga baterai. Tingginya setara dengan mata kaki, memiliki satu kepala dan tiga gerbong penumpang. Hoba menginjak bagian kepala kereta itu, dan di gerbong ke empat ada kantung merah besar seperti milik santa.

Pertanyaan ini terus berputar di kepalaku: Apa aku pulang dengan berdiri di atas kereta dan melakukan aksi seluncuran di langit?

“Silahkan masuk ke dalam, Nona.” Hoba membuka kantung santanya dengan lebar.

“Ma-masuk ke sana?”

Hoba mengangguk sambil tersenyum dengan imut.

Aku mendekat. Mengintip ke dalam kantung, dan aku tidak dapat melihat apa pun. Isinya gelap.

Aku melihat ke belakang. Tuan Jimmy melambaikan sapu tangan kepadaku. Raja Jung berpesan supaya aku tidak lupa memakai alas kaki saat keluar. Victory membungkuk dan memberi hormat. Dan Namjoon, mengepalkan tangannya; memberi semangat. Serta yang paling menggemaskan adalah tiga kelinci Park-Kim-Jeon. Mereka melambai dengan kaki depan kecil berbulu itu.

Aku menatap Hoba sekali lagi, ia mengangguk dengan pelan, meyakinkanku sekali lagi. Wajahnya seolah mengatakan, Masuk saja dan tak perlu khawatir.

Aku mencoba memasukkan kepalaku. Seperti tersedot ke dalam, dengan cepat seluruh tubuhku masuk dan seakan berputar di dalam sana. Saat membuka mata, aku sudah terduduk di kursi kereta. Kereta sungguhan!

“Persiapkan dirimu, Nona. Kita akan segera berangkat.” Hoba ternyata juga berada di dalam gerbong.

Kereta melaju, suara peluit kereta terdengar nyaring. Dan aku, entah sejak kapan aku merasa mengantuk dan tertidur.
.

.

.
.
.

“Yoongi! Seokjin! Dia sudah bangun. Gadis itu sudah terbangun!”

Aku membuka mata. Kudapati seorang gadis menatapku dengan panik.

Beberapa pria masuk, kurasa ada empat. Tidak, hanya dua. Penglihatanku pasti berbayang. Aku mencoba mendudukkan diri.

“Taera, bantu dia bangun. Taruh bantal untuk jadi sandaran.”

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Ah, kami menemukanmu bergelantungan di perangkap yang kami pasang,” jelas si gadis.

“Aku ... benar-benar kembali.”

“A-apa?”

“Tidak.” Aku tersenyum. “Hanya ... sepertinya aku bermimpi panjang tadi.”

[]

Los VeriliesМесто, где живут истории. Откройте их для себя