enjoy your reads, hun!
.
.
"Aku gagal menahanmu. Aku gagal membesarkan Eva dengan baik. Aku gagal membanggakan kedua orang tuaku. Aku gagal menjadi paman yang baik untuk dua keponakanku. Aku gagal menjadi figur pertama yang dimiliki oleh Eva. Aku gagal Lauren! Aku Gagal!" ucap pria itu lagi sambil menyeka air matanya sesekali.
"Aku gagal untuk menepati janjiku sendiri, untuk melupakanmu dan menghapusmu dari ingatanku. Aku gagal bertingkah sebagai orang asing di hadapanmu, seperti permintaanku padamu bertahun-tahun yang lalu. Aku gagal mencari orang lain untuk menggantikanmu, karena memang diriku yang tidak ada niat sama sekali untuk mencari penggantimu. Kau tahu rasanya?"
Pria itu tak henti-hentinya menghardik dirinya sendiri. Ia masih menunduk karena ia merasa malu untuk memperlihatkan kegagalan yang terpampang di wajahnya pada Lauren. Ia benci pada dirinya sendiri, pada monster dalam dirinya yang masih saja menginginkan Lauren untuk berada di sisinya.
"Kau tidak gagal, Hans. Kau hanya berjalan di jalan yang kurang tepat, dan kau masih bisa untuk berbalik dan mengambil jalan yang benar," ucap wanita itu lembut, sambil membelai surai cokelat itu.
Inilah yang ia butuhkan. Afeksi dari wanita itu benar-benar ia butuhkan saat ini. Ia membutuhkan kasih sayang dari wanita itu. Ia menginginkan sentuhan-sentuhan halus di wajahnya di malam-malam ia merasa gagal menjadi seorang ayah yang baik. Ia memerlukan wanita itu untuk menemaninya menghabiskan waktunya. Membesarkan Eva, dan menyaksikan pertumbuhan serta perkembangan gadis kecil itu.
"Maafkan aku, Laurie. Atas kelancanganku yang masih menginginkanmu untuk kembali padaku. Ingin rasanya aku memelukmu, walaupun memelukmu dapat membunuh diriku sendiri."
Lauren memeluk pria yang terpuruk di hadapannya. Selama enam tahun ini, ia mengira bahwa pria itu telah bersenang-senang dengan wanita barunya. Ia mengira pria ini berhasil menemukan wanita lain yang dengan senang hati menemaninya dalam merawat gadis kecilnya. Pelukan itu sangat erat, bahkan keduanya rela untuk mati dalam keadaan tubuh yang saling bertaut ini.
Pria itu masih menangis, namun ia sudah mulai bisa mengontrol nafasnya. Ia merasakan bahwa ia telah mengonsumsi obat yang tepat untuk penyakitnya selama ini. Walaupun obat itu terasa pahit. Pelukan itu terasa berbahaya, namun membahagiakan. Memberikan 'percikan' yang lebih dari sekedar reaksi kimia.
Entah siapa yang memulai, kini kedua bibir itu menyatu. Menyatu dalam permainan harmoni yang indah yang hanya dimengerti oleh keduanya. Ciuman itu basah, bukan karena terlalu begairah, namun karena keduanya menangis. Air mata mereka menyatu. Mempertemukan rasa rindu yang disimpan oleh keduanya selama beberapa tahun.
Paru-paru mereka memaksa mereka untuk membuat jarak. Keduanya tersenyum tulus kepada satu sama lain. Keduanya merasa lengkap, layaknya potongan puzzle yang telah diletakkan pada posisi yang pas. Keduanya merasa bahwa mereka adalah manusia paling bahagia, saat ini.
Layaknya sihir terlarang, ciuman itu membuat Hansel kembali terpikat pada wanita di hadapannya. Terpikat atas pesona surai hitam yang digelung indah. Safir bertemu dengan Hazel. Safir itu menyiratkan kerinduan yang mendalam, begitupula sang Hazel.
"Apa menurutmu semuanya dapat kembali seperti semula?" tanya pria itu pada wanita bersurai hitam itu. Wajah wanita itu menyiratkan beragam emosi. Bahagia, takut, khawatir, dan juga keraguan. Semuanya terlihat dengan jelas.
"Entahlah. But I feel like, we kinda kill each other, slowly but sure, you know?" Mendengar itu, Hansel merasa bahwa keinginannya tidak memiliki peluang untuk bersatu dengan masa lalunya. Ia bertekad, walaupun ia tidak dapat bersatu dengan masa lalunya untuk melanjutkan masa depannya, ia akan berdamai dengan masa lalunya saat ini juga sehingga ia dapat menyusul masa depannya sesegera mungkin.
"But I won't lie. The monster in me, still loves the monster in you," bisik wanita itu padanya. Hansel merasakan bahwa ia masih memiliki harapan. Ia memberanikan memeluk kembali wanita di hadapannya. Surai hitam itu kembali tersembunyi di dalam rengkuhan si cokelat terang.
Safir itu kembali menatap Hazel itu, mengerahkan segala usahanya untuk membahagiakan si Hazel. Kemudian beberapa detik kemudian, ciuman itu terjadi lagi. Percikan itu semakin terasa. Yang sekarang telah berubah menjadi api yang membara. Membakar rasa sakit yang selama bertahun-tahun ini ditahan oleh keduanya.
"Menikahlah denganku!" ucap Hansel sesaat ciuman itu terlepas.
"Begitukah caramu meminta seorang wanita untuk menikahimu?" rajuk wanita itu.
"Baiklah aku akan mengulangnya. Maukah kau kembali padaku? Memulai kehidupan yang baru bersama? Bersama pria jahat yang akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu dan anak kita? Menemaniku untuk membesarkan putri kecil kita?" pinta pria berusia tiga puluhan itu.
Wanita itu terdiam dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Beragam pemikiran berlarian memenuhi kepalanya. Melihat Lauren yang begitu, entah mengapa kepercayaan diri seorang Hansel Lancaster menguap entah kemana.
"Aku tidak akan berbohong. Memang selama enam tahun ini dirimu terus menghantuiku. Dan juga, kuakui aku memang menginginkanmu. Tapi, bukankah ini terlihat seperti mimpi?" tanya Lauren kepada pria di hadapannya.
Hansel diam mencerna ucapan wanita itu. Merasa pria itu tidak ada keinginan untuk berbicara, Lauren melanjutkan lagi perkataanya. "Jujur saja, perasaan hampa yang aku miliki selama enam tahun ini, benar-benar membunuhku. Pertemuan kita di restoran kemarin, mulai memberikan cahaya harapan dalam hidupku. Namun, ini terasa tidak nyata."
"Tatap aku, Lauren!" Akhirnya pria itu mengeluarkan suara. "Dapatkah kau melihat keraguan dan ketidakseriusan dalam tatapanku? Kau kau bisa melihatnya, kau bisa menolak ajakanku. Aku ingin meyakinkanmu, bahwa ini nyata. Bahwa aku juga sama merasakannya. Bahwa kita sama-sama menyiksa diri kita masing-masing selama lima tahun ini."
Safir cerah itu menyelam kedalam hazel lembut di hadapannya. Tiada sedikit keraguan yang dapat ditemukan oleh Lauren. Ia dapat melihat tatapan memuja yang masih sama dengan tatapan yang setiap pagi diberikan oleh pria itu lima tahun yang lalu.
"Aku butuh meyakinkan diriku," ucap wanita itu lagi.
"Satu tahun," ujar pria itu. Perkataannya dibalas dengan ekspresi kebingungan dari Lauren. "Satu tahun, aku pikir itu cukup untukmu meyakinkan dirimu. Dan selama satu tahun ini, aku akan belajar menjadi pria yang lebih baik lagi. Kau wanita yang baik, dan yang kau butuhkan adalah pria yang baik untuk menemanimu."
Lauren mendekat ke arah Hansel, kemudian memberikannya pelukan hangat. Hanya pelukan, tidak ada kecupan di bibir atau di pipi. Sesaat setelah pelukan itu terlepas, Lauren pergi meninggalkan ruangan itu.
Meninggalkan Hansel dengan beribu perasaan di hatinya. Bersama dengan gadis kecil yang tengah berulang tahun yang saat ini tengah merajuk, dan juga kue ulang tahun yang telah hancur berserakan di lantai.
.
.
tbc
YOU ARE READING
Healing (COMPLETED)
General Fiction[Book 2 of Walking on Earth Trilogy] "Itu artinya, kita telah selesai." Terdengar nada dingin pada ucapan pria tersebut. Mendengar itu, wanita itu terkaget dan langsung menatap pria itu. "Let's act like the word 'we' is never existed!" - - Semuanya...