1

202 17 2
                                    

SEORANG gadis tengah tersenyum lebar pada sebuah foto usang yang berada digenggamannya. Sebuah potret anak kecil berusia lima tahun yang memakai baju muslim dengan tangan memegang piala itu tersenyum unjuk gigi ke kamera, memperlihatkan giginya yang tidak rata serta satu gigi atas disebelah kiri yang hilang karena terjatuh saat bermain kejar-kejaran dengan anak-anak lain pada masa itu.

Gadis itu masih ingat jika piala yang berada di foto itu adalah piala pertama yang ia dapatkan. Piala dengan juara ke-2 dari program hafidz yang diadakan di kota. Dengan usia yang masih kanak-kanak gadis itu sudah hafal 3 juz Al-Qur'an. Masya Allah...

Jari jempol putih bersih yang terlihat tulangnya itu mengulas foto dengan lembut lantas bibirnya tersenyum lebar. Sadar tidak sadar jika anak kecil yang berada di dalam foto itu hari ini genap menginjak usia 20 tahun.

"Selamat memasuki kepala dua, wahai diri!"

Memasuki usia 20 adalah memasuki babak baru dalam hidup. Dimana saat usia dua puluh harus mempersiapkan ke depannya akan seperti apa, mau jadi apa, serta planning kehidupan sudah harus disiapkan dengan matang.

Usia 20, bukan lagi hanya melihat keberhasilannya dari seseorang yang berhasil, melainkan pada prosesnya seseorang sampai di titik berhasil. Bukan lagi mudah percaya pada laki-laki yang menyatakan rasa, namun harus berani mempertanyakan kejantanannya. Bukan lagi seperti anak kecil yang harus punya segala keinginan, namun harus pintar-pintar mengutamakan kebutuhan dan kewajiban.

Perempuan yang mempunyai nama lengkap Mufida Salsabila itu pun mempunyai rencana serta mimpi-mimpi besar yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Pertama dan yang paling utama adalah pergi haji bersama Papa. Berdua bersama pria yang sejak kecil menyayanginya begitu tulus.

Laki-laki hebat yang rela membanting tulangnya hanya agar Mufida bisa makan dan mendapat uang jajan.

Laki-laki yang tidak pernah memarahinya dengan nada tinggi atau bahkan kata-kata kasar.

Laki-laki hangat yang selalu bertanya, "Gimana sekolahnya hari ini? Lancar? Ada cerita apa yang bisa Papa dengar?" tiap kali ia pulang sekolah.

Laki-laki yang menyiapkan sarapan untuknya dan mengajarkan Mufida memasak.

Laki-laki yang selalu mengingatkannya kepada Allah dan mewanti-wanti agar Mufida senantiasa mempunyai cahaya iman dalam hatinya yang tidak pernah redup apalagi sampai lenyap dan mati.

Laki-laki yang selalu mendengarkan segala keluh kesah Mufida, menjadi teman curhatnya, teman ngobrol dalam masalah apapun, dan yang akan menenangkan Mufida ketika Mufida merasa terpuruk dan selalu berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja karena kita punya Allah yang Mahasegalanya.

Laki-laki yang seringkali menemani Mufida belajar, menggantikan posisi Mama yang sudah berada dipangkuan-Nya sejak duapuluh tahun yang lalu.

Saat Mufida lahir ke bumi dan merasakan pertama kalinya menghirup udara, saat itu pula Mama menghirup napas terakhirnya di bumi, ia kembali ke langit.

Mamanya meninggal tepat setelah Mufida lahir ke dunia.

Dalam hidup Mufida, ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Mama seperti teman-temannya. Tidak pernah ia rasakan sentuhan hangat, belaian kasih, dan pelukan sayang dari sang Mama. Rasanya sedih, tapi Papa selalu mengajarkan padanya untuk tetap bersyukur.

Papa bilang, "Letak bahagia itu bukan dari kesempurnaan, melainkan dari hati yang penuh rasa syukur."

Sesederhana mengucapkan kalimat hamdalah setiap saat agar tidak mengkufuri nikmat Allah.

"Alhamdulillah..." Mufida tersenyum mengembang.

Rasa syukurnya kali ini adalah untuk nikmat umur yang ia rasakan. Pinta Mufida di setiap umurnya bertambah satu tahun tidak muluk-muluk. Gadis itu ingin diumurnya yang bertambah membuat cintanya pada Allah juga bertambah serta diberkahi umur serta hidupnya. Mufida menyimpan foto itu di tempat asalnya sebelum keluar dari kamar pribadi.

QadarullahOnde histórias criam vida. Descubra agora