X A V I E R A : 2

60 14 15
                                    

| ALVAN EMBROT |

KATA orang persahabatan itu bagai kepompong, tapi bagiku persahabatan bagai neraka. Alvan lah contoh sahabat penjerumus siksa. Pria itu selalu mengajakku untuk menjahili orang. Entah itu guru, teman kelas, satpam komplek, tukang bubur, mbok jamu, apa saja lah selama dia senang dia akan lakukan. Dan parahnya, dia selalu melibatkanku mengenai aksi konyolnya ini.

"Embrot, udah deh nggak usah aneh-aneh," aku menegur Alvan yang sedang mengendap-endap ke pos ronda. Di sana ada Pak Jamal, tetanggaku yang rajin ronda malam.

"Diem deh, Ra," dia membalas acuh. Terus melangkah sambil membawa mercon duer di tangannya.

"Eh, kamu jangan aneh-aneh ya," aku kembali menegurnya. Takut jika Alvan kembali dengan aksi gilanya.

"Eh, Em--" mulutku aku tutup saat Alvan memajukan korek gas ke arahku, matanya pun melotot tajam mengancam.

"Sst..." Alvan memberi kode. Aku pun diam, mencari aman daripada nanti ia bakar.

Alvan pun menyalakan sumbu mercon itu, setelahnya melemparkan ke Pak Jamal. "LARI, RAAA!!!" ia menarik lenganku, lari bersama.

DUEERR!!

Mercon itu meledak. Pak Jamal yang tertidur di pos ronda itu melompat kaget. Membuat Alvan yang bersembunyi bersamaku di belakang pagar tetangga terkikik keras. "Hahaha, rasain. Salah siapa ronda tidur! Bukannya jaga keamanan malah jaga mimpi!" Alvan mengeluarkan uneg-unegnya.

Jujur, aku tak habis pikir dengan anak ini. Kok bisa ya berani ngejahilin orang tua?

"Ayo, Ra, kita lanjut!" Alvan kembali menarik lenganku.

"Ke mana?"

"Cari mangsa lagi."

"Nggak mau ah. Dosa."

Alvan mendecak. Sebal dengan jawabanku. "Udah deh, kita masih anak-anak, Ra. Belum dosa." Ia menyanggah enteng.

"Nanti aku belikan arum manis deh. Besok kan malam Senin."

Tradisi di komplek perumahanku, setiap malam Senin di lapangannya digelar 'Pasar Senin' sebuah ajang permainan anak-anak, ada : bianglala, komedi putar, istana balon, kereta, dll. Selain itupun juga ada banyak penjual, misal : mainan, perabotan, baju, lolipop, dll. Tapi yang paling aku dan Alvan suka di sana adalah 'arum manis' warna pink.

"Udah ah, Ra, besok aku belikan deh. Ayo!" begitulah Alvan, sebelum mendapat persetujuan sudah main nyelonong begitu saja. Huh.

Aku hanya bisa merutuk Alvan dalam hati. Bocah itu terus menuntunku, tangannya bahkan tak lepas menggandeng tanganku. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 tapi kata Alvan 'paling enak ngejahilin orang tuh, ya, malam gini. Seru'

"Ayolah, Al, kita pulang aja." Rengekku karena Alvan tak lagi mendapat mangsa.

"Nanti aja. Nanggung nih merconnya masih satu. Mubazir, Ra." Dia menunjukkan sebuah mercon di tangan kirinya.

"Tapi, besok sekolah."

"Udah, deh, telat itu udah sewajarnya. Manusia, kan, nggak sempurna. Jadi, telat itu hal manusiawi, toh kadang hidup begitu." Aku benci Alvan yang pandai menyanggah. Memangnya, nurut satu kali susah apa, ya?

Autumn CrocusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang