01. Hipotesis

4.9K 324 19
                                    

Pernahkah kau menganggap seseorang begitu sempurna di matamu? Hingga setiap hari pekerjaanmu hanya melihatnya. Berharap bisa menemukan sesuatu yang salah. Lucunya semakin kau mendekat, semakin jauh pula hal itu terlihat.

Melihatnya dari ujung ruangan bagaikan observasi yang takkan pernah berujung. Mungkin jika dianggap sebuah catatan ilmiah, aku belum bisa menyimpulkan apapun. Tapi hipotesisku masih tetap sama. Aku yakin tidak semestinya sesuatu, apapun itu, diciptakan tanpa celah.

Mari kita sambut Singto Prachaya sebagai bentuk apresiasi untuk siswa berprestasi.

Juara satu Penulisan Essai Kreatif Nasional

Juara satu Olimpiade Sains Internasional

Juara satu Kompetisi Musik Nasional

Juara satu Desain Grafis antar sekolah

Juara satu...

"Juara satu, juara satu..." Nam, sahabatku, sibuk mengejek kepala sekolah.

Aku tertawa kecil. Namanya memang tak pernah tertinggal setiap ada pengunguman siswa beprestasi. Hidupnya seakan menjadi kebanggaan sekolah. Apapun yang ia lakukan selalu dianggap mengharumkan almamater. Singto memang pantas mendapat perhatian lebih dari sekolah. Lagipula, ia juga bukan anak yang semena-mena menggunakan 'hak istimewanya'.

Aku yakin banyak orang yang bosan mendengar nama Singto. Tapi kalau dipikir lagi, itu sama sekali bukan salahnya. Ia ikut lomba karena ia merasa mampu dan siap. Kalau mereka yang mencibir tidak bisa melakukannya, kenapa malah menyalahkan orang lain?

"Krist, kita rapat perdana semester ini di jam istirahat ya." Marcel menepuk bahuku dari belakang.

Aku menoleh, "Tumben? Ada yang harus dibahas?"

Ia mengangkat sebelah alisnya, "Gue ada ide buat penulisan kita nanti!"

***

Tepat sudah lima belas menit aku duduk menunggu. Belum ada seorang pun yang muncul. Aku menghela nafas. Tak sengaja menghirup debu yang menggelitik hidung membuatku terbatuk. Aku mendegus kesal. Tentu saja hal ini sudah tak jarang terjadi. Lucunya, aku tidak pernah belajar dari kesalahan. Aku terus datang tepat waktu dan mereka terus membuang-buang waktuku.

"Sorry." Marcel berteriak sambil membuka pintu. "Udah nunggu dari tadi ya?"

"Gak kok." Balasku menggeleng.

Begitulah aku.

"Ini." Marcel menaruh beberapa bungkus makanan di hadapanku. "Bagi-bagi ya sama yang lain."

"Thanks." Balasku sambil tersenyum tipis.

Tak lama kemudian dua orang lagi muncul. Earn, sekretaris klub, duduk dan langsung siap dengan buku catatannya. Berbanding terbalik dengan Tay yang masuk hanya membawa setengah nyawa. Sejak awal datang, ia terus menatap refleksinya di meja dengan tatapan kosong sambil berpangku tangan.

Kami memang jarang melakukan rapat di tengah jam istirahat. Jika memang terpaksa dilakukan, pasti ada hal penting yang harus disampaikan.

"Selamat datang kembali di rapat klub jurnalistik." Marcel membuka rapat.

"Skip!" Potong Tay lalu melempar gumpalan kertas ke arah Marcel. "Langsung to the point aja. Gue ngantuk mau tidur."

"Oke kalau gitu." Marcel menarik nafas. "Kita bahas Singto ya untuk lomba penulisan?"

Deg

Seketika dadaku langsung sesak. Detak jantungku menjadi tak beraturan. Aku benci kalau hal ini terjadi, apalagi ketika mendengar namanya disebut tiba-tiba.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Where stories live. Discover now