13. Shouldn't Be

4.3K 414 27
                                    


"Kamu membuatku terkesima, disaat tidak seharusnya perasaan itu ada."

***

Anak Bapak yang pertama kuliah adalah Oliv. Lantaran Bapak terlalu jujur menjalani hidup termasuk dalam mengisi formulir pendaftaran kuliah membuat UKT Oliv melonjak hingga tingkat tertinggi. Bapak memang masih sangat sanggup menanggung walaupun disertai Nahla yang masuk pondok hafalan, namun 3 tahun kemudian, aku dan Nahla menyusul kuliah. Jelas Bapak mulai terkatung-katung dalam membiayai kami sekolah. Nahla mungkin masih bisa hidup enak dengan beasiswa dan gajinya membina di Pondok Pesantren, tapi aku beda cerita. Tabunganku sudah habis kusisihkan untuk Nature, sehingga Bapaklah yang mau tidak mau menanggung seluruh biaya kuliah.

Ketakutan terbesarku saat itu adalah kekecewaan Bapak. Sebagai beban orang tua, aku merasa mempunyai tanggung jawab besar untuk memaksimalkan kuliah. Aku belajar sungguh-sungguh, meninggalkan kebiasaan telat, dan menjadi mahasiswa arsitektur paling produktif di angkatanku. Saking rajinnya aku sampai lupa kapan terakhir kali telat, maksudku di sini adalah aku adalah manusia yang sangat-sangat tepat waktu mengenai pekerjaan.

Setelah sekian tahun telat diberi tanda silang besar-besar, hari ini untuk pertama kalinya prinsipku itu ternodai secara keterlaluan. Bukan menitan, tapi sampai 2 jam lamanya. Aku harus menahan wajah agar tidak jatuh karena malu, juga siap mendengarkan apapun yang akan dikatakan Pak Adam dengan khidmat, meskipun itu adalah omelan tiada ujung.

"Kenapa telat, Tiya?" Tanya Pak Adam dengan intonasi tergolong santai dari yang sudah aku bayangkan.

"Saya telat bangun, Pak," jawabku jujur sambil terus menunduk.

"Kamu lembur? Pekerjaanmu terlalu berat? Kalau begitu saya bisa batalkan keberangkatanmu besok," ujar Pak Adam cepat sekali. 

Aku cengo, menatapnya tidak berkedip. "B-bukan begitu, Pak. Semalam saya temenin sepupu saya di rumah sakit sampai pagi," ngelesku jadi gugup. Gugup karena setengah bohong, walaupun masih ada jujurnya sedikit. 

Pak Adam lantas menatap lekat wajahku yang memang tidak dipoles apa-apa. Mana sempat kan mau make up, mandi saja tidak. Mata panda sampai pori-poriku pasti kelihatan semua.

"Proyek Bu Chandra sudah aman kan?"

"Design Development-nya sedikit lagi siap, Pak. Saya sudah komunikasi dengan Bu Chandra dan sesuai kesanggupan beliau, selasa depan sudah bisa dipresentasikan."

Pak Adam mengangguk-angguk paham. "Kamu pulang saja, telatnya jangan diulang lagi."

Wajahku berubah muram. Gaji 2 bulanku bahkan sudah habis untuk membelikan Mama tas dan gaji bulan ini alamat kena potong. "Pak," ujarku tertahan.

Pak Adam mengangkat satu alisnya. "Kenapa? Kamu nggak mau?"

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan saya hari ini, saya janji tidak akan mengulangi lagi. Tapi Pak, saya masih harus kerja, Pak."

"Ya, memang kamu masih harus kerja. Tapi kerjaanmu bisa dilanjut senin, hari ini kamu cukup pulang istirahat siapin energi untuk berangkat ke Makassar besok. Gajimu nggak akan saya potong. Karena ini kali pertama kamu telat, saya bisa maklum."

Mataku berbinar-binar bahagia. Wah, Pak Adam baik sekali. Aku ingin sekali curiga dia punya maksud terselubung. Tapi, jujur saja aku masih butuh tidur dan siang sebentar aku masih harus pulang ke Bandung. Tentu aku tidak bodoh menolak perintahnya yang sangat menguntungkan ini. "Terima kasih, Pak. Jadi, saya boleh undur diri sekarang?"

Pak Adam berdehem sejenak. "Sebelumnya, saya betul-betul minta maaf untuk kejadian tempo hari."

Aku menggigit bibir sambil berpikir, sampai akhirnya mengangguk dengan senyum canggung. "Iya, Pak."

Tentang Kita yang Dulu| REMAKEWhere stories live. Discover now