Bab 17. Mencari Mahesa

104 24 7
                                    

Gara-gara Yemy yang seenaknya telepon malam-malam dan bahas soal galeri dengan sudut pandangannya yang nggak kepikiran dengaku, malah bikin aku jadi penasaran! Aku jadi berpikir kalau logika Yemy memang benar, saking fokusnya pada tujuan aku sampai lupa sama kemungkinan-kemungkinan yang Yemy jelasin di pesan singkatnya semalam. Kalau yang dibilang Yemy benar, Rimba bukan Mahesa dan semua yang terjadi di Hutan Galeri sudah diatur oleh seseorang yang berpengaruh, artinya ini jelas bukan keberhasilanku murni. Berarti, aku nggak sepenuhnya berhasil mengalahkan Rinja, aku nggak benar-benar beli saham Rinja. Aku jadi penasaran sama identitas pembeli foto-fotoku. Apa semua ini ada kaitannya lagi sama Ayah? Seperti berita tempo hari yang bisa turun secepat kilat karena relasi Ayah yang begitu kuat.

Lalu gimana soal lukisan-lukisan di galeri itu? Kalau semua lukisan itu bukan milik Rimba, kenapa lukisan-lukisan itu sama persis dengan ilustrasi dari puisi yang kutulis? Bahkan beberapa lukisannya seperti momen liburan aku bareng Rimba. Dia juga kelihatannya tenang-tenang saja waktu pameran di Hutan Galeri beberapa hari lalu. Bahkan dia juga ikutan pameran sebelum tragedi kudeta malam itu. Apalagi lukisan yang Rimba ikutkan pameran di Kemayoran bertuliskan sandi yang sama dengan yang ada di buku itu.

Tapi, kalau benar Mahesa adalah Rimba, dari mana juga dia tahu hal-hal yang terjadi padaku. Aku ingat ada lukisan yang menggambarkan diriku di tengah taman bunga saat aku berusia 10. Waktu itu aku dan Bang Okta sedang piknik merayakan 5 tahun usia Hutan Galeri milik Ayah dan Ibu. Di sana belum ada Rimba, bahkan aku belum mengenalnya. Lalu dari mana Rimba mendapat referensi lukisan yang dibuatnya itu? Apa jangan-jangan yang dipikirkan Yemy benar-benar fakta?

Ayah, Ibu, Bang Okta, Rimba. Empat orang yang bekerjasama buat menyeretku ikut berperan dalam Hutan Galeri. Atau, jangan-jangan Om Jeremy juga bagian dari rencana yang disusun mereka? Jadi, mereka berlima bekerjasama demi tujuan yang sama.

Tik … tok … tik … tok….

Sekarang sudah hampir jam 11 malam, nggak mungkin aku menelepon balik Yemy. Dia pasti lagi berkutat dengan rasa penasarannya juga. Apa aku meramban saja? Mungkin dia punya jawabannya.

Search : Mahesa pelukis Hutan Galeri
Mahesa Pelukis Kini Menjadi CEO Hutan Galeri
Mahesa Pelukis Adalah Saudara Kembar CEO Rinja
Skandal CEO Hutan Galeri Rinja Diganti
20 Tahun Mahesa Melukis di Jalan Palembang
14 Tahun Vakum, Pelukis Purbalingga Kembali Gelar Pameran
80 Karya Lukis Dipamerkan Peringati Hari Pers Nasional
Pelukis Muda Misterius yang Berhasil Menarik Perhatian Kanca Multinasional

Seperti mencari informasi tentang diriku sendiri sebagai lensalimalima di google yang menampilkan sejumlah puisi, kali ini aku menemukan sejumlah berita yang berkaitan dengan Mahesa, namun nggak sesuai harapan. Meskipun dua berita terakhir amat sangat membuatku semakin pengin tahu.
Seniman misterius Mahesa kembali beraksi
Mahesa, sang pelukis misterius kembali memunculkan dirinya….
Isi beritanya nggak memuaskan ekspektasiku.
Kalau aku cari tahu soal profil Om Jeremy, apa mungkin aku menemukan titik terang?
Search : Jeremy Jacob Pengacara
Jadi Pengacara Favorit Karena Menggugat Spammer
Tujuh Tahun Jadi Pengacara, Daniel Jacob Bangga Jika….
Search : Profil Jeremy Jacob Pengacara
Jeremy Jacob – Jakarta | Profil Profesional….

Got it!

Aku dapat satu profil yang berkaitan dengan nama pengacara itu. Namun, setelah kubaca, si pemilik nama bukanlah orang yang sedang kuinvestigasi. Jeremy Jacob yang kutemukan hanyalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan dari salah satu universitas negeri di jawa timur dan baru saja lulus dua tahun lalu.

Entah kali ini sudah jam berapa, aku masih terus menuruti rasa penasaran yang menghinggapi isi kepalaku. Namun, berlama-lama duduk di jam segini tanpa air minum cukup membuat pegal badan juga.
Aku menghentikan langkahku di dekat lorong menuju dapur saat kudengar ada yang berbicara di sana. Agaknya pembicaraan itu cukup serius dan aku melanjutkan langkah dengan perlahan sambil sedikit mencuri dengar pembicaraan itu.

"Anggap aja nggak terjadi apa-apa, lo juga udah bakal jarang ketemu dia, jadi nggak usah khawatir begitu. Kalo bokap nanya, lo jawab aja apa adanya. Soal buku itu, gue coba bikin lagi yang baru."

"........"

"Gue paham, ini udah jadi rencana gue dari awal. Itu kenapa gue minta sama lo supaya nggak ngelibatin hati dalam hal ini. Gue udah wanti-wanti dari awal, jaga buku itu baik-baik dan nggak boleh ada percintaan dalam hubungan kalian. Sekarang, lo tahu di mana ada di mana buku itu?"

"........"

"Fine! Gue tegasin sekali lagi, Art udah tahu kalau lo Mahesa, jadi manfaatin apa yang dia tahu. Satu lagi, jangan sampai dia tahu yang sebenarnya."

"Yang sebenarnya apa, Bang? Siapa yang lagi lo telepon di jam segini?"

Aku memberanikan diri memergoki Bang Okta yang masih berbicara dengan seseorang melalui telepon dengan seseorang di ujung sana. Aku jelas penasaran dan curiga saat namaku disebut olehnya. Kini, melihat tingkah Bang Okta yang gelagapan dan raut wajah yang begitu terkejut, membuat kecurigaanku semakin berlipat ganda.

"Ah-oh, Art. Hai! Kok belum tidur?" tanya Bang Okta tampak jelas berusaha mengalihkan pertanyaanku.

Aku berjalan melewatinya yang masih berdiri membelakangi jendela dapur. Dugaanku dia baru saja membicarakan soal buku Mahesa, tapi bisa jadi aku salah mendengar karena beberapa saat lalu aku sibuk termahesa-mahesa gara-gara Yemy.

"Gue haus, lo ngobrol sama siapa di jam segini?" tanyaku kemudian membuka minuman botol yang kini dalam genggamanku.

Bang Okta membuang napasnya pelan. "Biasalah, klien nanya soal berita."

"Berita soal ... Mahesa?" tanyaku sengaja memancing reaksinya, aku betul-betul ingin memastikan apakah pendengaranku betul-betul masih berfungsi dengan benar.

"Hah? Mak-sud lo? Oh, soal kejadian di galeri itu? I-iya biasalah."

Aku memicingkan mata spontan. Reaksinya benar-benar mencurigakan. Apa ya yang dirahasiakan Bang Okta?

"Yaudah gue balik kamar lagi ya," tuturnya sembari kemudian meninggalkanku yang masih memegang segelas air minum di sini.

Setibanya di kamar kembali, aku meneruskan investigasiku.

Search : Rimba Mahesa pelukis
PT Mahesa Karya Pramatra
Ilmu Silat dan Kesaktian Langka
PT Indotama Mahesa Karya
Wiro Sableng – Wikipedia Indonesia

Buntu!

Aku nggak menemukan berita lainnya tentang Pelukis Mahesa. Kalau tadi Bang Okta beneran lagi bicara sama klien-nya di telepon, apa jangan-jangan klien yang dia maksud adalah Mahesa? Bukan nggak mungkin 'kan kalau terbatasnya informasi tentang Mahesa ini karena Bang Okta yang memblokir semua berita tentangnya? Atau ... jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan Ayah? Bang Okta pernah bilang kalau berita tempo hari di Hutan Galeri pun dibantu Ayah supaya ditimbun dengan berita lainnya. Bisa juga 'kan Ayah dan Bang Okta kerjasama sama klien dan mitra mereka supaya memblokir semua informasi tentang Pelukis Mahesa?

Kulirik jam beker yang ada di nakas, sudah jam dua belas malam, mau nggak mau aku harus istirahat. Besok aku harus bicara lagi dengan Yemy. Karena ini semua betul-betul mencurigakan.

***

Yeremy is calling....
04.00 WIB

Di jam empat pagi kayak gini Si Bungsu Yemy sudah meneleponku lagi. Bocah edan! Ganggu orang tidur. Padahal aku sendiri juga sudah niat mau menelepon dia nanti.

"Hm?"

"Kak! Gue pagi ini berangkat ke Jakarta! Pokoknya lo harus tahu sesuatu! Gue ini adik yang baik, gue udah tahu siapa Mahesa. Ini semua berkat kecerdasan gue. Hahaha."

Suaranya yang begitu antusias dengan nada yang nggak kalah antusiasnya sudah berhasil membuat kedua bola mataku terbuka lebih lebar

"Semalam gue udah cari tahu soal Mahesa, gue malah nemuin nama-nama PT di google."

Pecah tawa renyah si bungsu membuatku tersenyum sekilas. Lama juga nggak mendengar tawanya yang mirip rempeyek itu.

"Jam berapa sampai di Jakarta? Naik apa? Perlu gue jemput?"

"Ini lagi siap-siap ke Bandara, nanti jemput di Halim jam 6-an ya."

***

Gadis berambut panjang lurus sepinggang, kedua bola mata bundar bak bola pingpong kalau kata Iwan Fals, dan hidung mancung mirip Angelina Jolie. Yemy berdiri di selasar Kedatangan Terminal 1A dengan koper biru muda di sampingnya. Kaos hitam polos dimasukkan ke dalam rok rampel merah muda. Sepatu kets putih dan kaus kaki menutupi mata kakinya, waist bag biru dongker, dan jam tangan hitam menjadi pelengkap outfit Yemy pagi ini. Anak lima belas tahun itu bahkan berpenampilan lebih perempuan daripada aku.
Semakin berjalan mendekatinya, semakin aku sadar bahwa Yemy lebih tinggi dariku. Dia adikku satu-satunya dan menjadi tanggung jawab Bang Okta lainnya. Berkat Yemy tinggal bersama Eyang, Bang Okta jadi lebih mudah saat meninggalkan rumah. Karena dia nggak harus memikirkan bagaimana kehidupan Yemy. Bang Okta denganku saja terpaut usia empat belas tahun, bagaimana dengan Yemy?
"Ayo!" ajakku yang langsung membuat Yemy mengangkat kepalanya setelah fokus memandangi ponsel.

"Kak!" serunya dan langsung menangkapku ke pelukannya. "Gila, gue kangen banget sama lo! Lo sama siapa?"

"Taxi online. Orangnya gue carter buat anter bolak-balik."

Yemy membulatkan mulutnya seraya menganggukkan kepala. "Gimana Yogya? Bikin nagih nggak?" tanyanya saat kami sudah memasuki kendaraan.

"Iya," jawabku sembari mengulas senyuman.
"Lain kali lo wajib mampir ke tempat Eyang kalau lo ke sana lagi! Dan juga, nginap di tempat Eyang nggak ada salahnya, lo bisa irit pengeluaran."

Aku membuang pandangan ke luar jendela. "Gue nggak bisa cari apa yang gue mau dapatin kalo kayak gitu. Nggak bisa ketemu orang baru."

Yemy menarik bahuku sampai menghadap ke arahnya. "Emang lo ketemu siapa pas di Yogya?" tanya gadis ini dengan tatapan curiga, sok-sokan memicingkan alisnya.

Aku mendengkus pelan. "Anastasya, anak sembilan belas tahun. Mahasiswa Manajemen Seni dari Australia yang lagi jadi intern di Yogya. Kebetulan satu kamar di sharing room."

"Kalian ngobrol?" tanya Yemy masih pasang wajah sok serius itu.

"Iyalah," kataku sekenanya. Lagipula aneh saja, mana bisa aku nggak ngobrol sama teman satu kamarku. Apalagi Anastasya termasuk gadis yang super ramah. Dia bahkan mengajakku untuk pergi bersama ke pagelaran wayang di salah satu malamnya.

"Emang lo ngerti dia ngomong apa?"
Memang Yemy ini sedikit mirip Myisha kalau nanya-nanya. Suka nggak ngotak. "Ya, ngertilah! Palingan dia yang nggak ngerti ucapan gue," jawabku dan kami pun tertawa.

"Jadi, siapa Mahesa sebenarnya?" tanyaku.
Yemymenyandarkan tubuhnya dan memejamkan kedua matanya. "Nanti ya, gue masih jetlag," dalihnya. Sial sekali anak ini!

DREAM OF ME [ILUSI]Where stories live. Discover now