iii. cerita sepiring gudeg.

277 77 267
                                    


Bagian 3 : kalau aku kayu yang dijadikan abu maka aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Bagian 3 : kalau aku kayu yang dijadikan abu maka aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

setelah kejadian tadi siang, jengga mengajakku pergi dari kampus. tanpa ada rasa takut sedikitpun.

"jengga, tapi ini masih jam ospek. kamu ndak takut kalau ketahuan terus kita dimarahin?"

"tara, saya ndak peduli sama mereka. seandainya pihak kampus memanggil saya untuk menghadap, saya bakalan datang. toh, saya ngelakuin ini juga ada alasan."

aku hanya menghela nafas panjang sambil mengikuti langkah lebar dari si jangkung yang ada di depanku.

tiba-tiba jengga berhenti membuat tubuhku menabrak punggung lebarnya.

"kalo kamu jalan itu harus disamping saya, bukan di belakang kayak majikan sama pembantu."

dengan entengnya jengga langsung menyatukan hasta kami berdua hingga membuat debar jantungku kian menjadi-jadi.

dua jam telah berlalu, aku sendiri juga tidak tahu jengga mengajakku kemana. katanya begini, "saya mau pergi ke banyak tujuan, menghabiskan waktu bersama kamu itu jauh lebih baik daripada ikut ospek, lama-lama saya muak dengerin omongan mas langit."

aku tertawa mendengar alasannya yang cheesy tapi lucu, baru kali ini aku bisa akrab dengan orang baru padahal belom ada dua puluh empat jam kita berkenalan tapi rasanya sudah sangat dekat.

"tara, kamu bosan ndak keliling jogja sama saya?" tanya jengga yang masih fokus pada jalanan yang kian padat.

aku menggeleng. "ndak lah, aku jarang keliling di kota ini. terakhir kali sih, pas umurku masih sepuluh tahun diajak keliling sama bapak."

otakku terus berputar mencari kenangan manis bersama bapak. sudah delapan tahun berlalu semenjak bapak tiada, aku tidak pernah menginjakkan kaki ku kembali di kota ini. jogja itu pusat kenanganku bermuara.

"tara, kamu baik-baik aja? mau pulang atau lanjut perjalanan?" tanya jengga menepuk pelan pipiku membuat diriku tersadar akan lamunan semata.

"aku ndapapa kok, mending kita lanjut perjalanan aja."

"beneran? saya takut kamu kenapa-napa" iris coklat jengga menatapku penuh kekhawatiran.

"aku ndapapa jengga, beneran."

"kalo ada apa-apa, bilang lho ya, jangan diem-diem aja, saya bukan cenayang yang bisa tau pikiran sama isi hati kamu."

aku tersenyum. jenggala, kalau kamu bukan cenayang, kenapa kamu bisa tau kalau aku lagi nggak baik-baik aja?

jengga mengajakku ke kampung wijilan, saat itu suasananya tampak sepi tidak terlalu padat.

"mampir kesini dulu buat makan, saya ndak mau bikin kamu kelaparan."

alasannya begitu, padahal aku tau kalau dia sendiri yang lapar. saat di mobil tadi, aku melihat dia memegangi perutnya, aku pikir dia sakit perut tapi saat melihat gelagatnya ternyata dia menahan lapar. jengga dan tingkahnya itu lucu, menurutku.

"makan gudeg ndak masalah to?" tanya jengga.

"ndak kok, aku malah suka kalau makan di tempat kayak gini daripada di restoran."

"kalau gitu, kamu cocok sama saya."

keningku mengerut menatap penuh tanya ke arah pemuda disampingku.

"cocok? maksudmu?"

"saya kurang suka kalau diajak ke restoran, lebih suka jajan di pinggir jalan atau di tempat kayak gini, biar lebih merakyat terus murah."

satu fakta yang baru aku ketahui, jengga nggak pernah gengsi atau malu kalau makan cuma di pinggir jalan.

"menurut saya gudeg disini paling enak daripada yang lain."

jengga mengajakku memasuki sebuah warung gudeg berbentuk rumah joglo, disana sudah banyak kendil yang tersusun rapi.

"budhe, gudeg e kalih piring nggih, kaliyan ngangge es teh."
(budhe, gudeg nya dua piring ya, sekalian pakai es teh)

"siap mas jengga, silahkan duduk dulu."

aku menatap jengga dan ibu penjualnya bergantian, jengga seakan-akan mengerti arti dari tatapanku.

"udah akrab soalnya sering jajan disini." ucap jengga dibalas anggukan kecil olehku.

tidak lama kemudian, pesanannya sudah datang. aku dan jengga sibuk memakan sepiring gudeg yang ada dihadapan kami, aku melihat jengga memakannya dengan sangat lahap, antara doyan dan kelaparan.

"makannya pelan-pelan nanti keselek." peringatku dibalas kekehan kecil dari jengga.

"saking luwe ne dadi ngene iki. oh yo, gudeg mu ndang di maem selak adem."
(saking lapar nya jadi kayak gini. oh iya, gudeg mu cepetan dimakan keburu dingin)

"iya jengga." sahutku sambil menyendokkan makanannya dalam mulut. benar apa kata jengga, rasa nya lebih enak dari yang lain.

"gimana? enak to?" tanya jengga saat aku sudah selesai makan. dia sendiri sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu.

aku mengangguk antusias. "enak banget, makasih ya jengga."

jengga tersenyum tulus sampai kedua netranya berbentuk bulan sabit.

"tara, daritadi kita belum kenalan."

aku menepuk keningku, baru ingat kalau kita belum sepenuhnya kenalan dengan baik. aku hanya tahu namanya lewat id-card yang terpasang di lehernya, apa kita terlalu asik mengobrol sampai lupa berkenalan?

aku menyodorkan tanganku terlebih dahulu ke arah jengga. "namaku taranggana sahasika, kamu bisa manggil pakai nama tara, aku suka ketemu sama kamu."

jengga menyambut uluran tanganku, netra kami saling bertemu hingga tanpa sadar aku tersenyum.

"nama saya jengga, lebih tepatnya jenggala agnibrata, saya suka sama kamu sejak tujuh jam yang lalu kita ketemu."

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Aug 15, 2020 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

Bentala JogjakartaOnde histórias criam vida. Descubra agora