chapter one

226 81 96
                                    

Selamat membaca!

Sorak-sorai penghuni kelas memenuhi indra pendengaran, ketika seorang murid perempuan datang terlambat. Ejekan, hinaan, tawa meledek, semua ditujukan kepadanya. Walaupun, ada seorang guru perempuan yang duduk dibangku guru terlihat tenang, seolah tidak terganggu dengan keributan.

Sementara itu, seseorang tengah duduk dibangkunya, menatap iba kepada gadis seusianya di depan sana. Teriakan mencemooh seluruh murid dikelas ini tidak juga berhenti, terus mengatai murid perempuan yang terlambat. Tentu saja, ini sudah hampir jam delapan. Limabelas menit yang lalu bel masuk sudah dibunyikan.

Seseorang yang dari tadi menatap iba sangat ingin sekali menutup semua mulut penghuni kelas ini, ia terus menyuarakan protesan di dalam hatinya, tidak berani mengucapkan.

Kenapa semua orang tega sekali? Ia pernah merasakan apa yang gadis itu rasakan. Diledek seperti itu sangat menusuk, menyakitkan.

Tidak.

Dia mulai berseru di dalam hatinya ketika melihat mata gadis di depan sana mulai berkaca-kaca, sekali berkedip saja pasti akan ada air mata yang turun menyusuri pipinya.

Tidak boleh menangis. Jika menangis, artinya kamu kalah. Aku merasakan apa yang kamu rasakan. Itu... pasti menyakitkan. Tapi tetap saja kamu tidak boleh menangis. Jika menangis, mereka akan semakin keterlaluan.

"Eh kok telat, abis kencan sama siapa nih?"

"Hahaha."

"Jangan-jangan lo ngamen di bus ya semalam?"

"Buset dah parah bener lo pada, dia kan jualan koran. HAHAHA."

Kenapa mulut mereka tidak berhenti? Kenapa mereka terus melayangkan kata-kata yang menyayat hati? Apa mereka tidak mengerti? Sakitnya tidak dihargai, sakitnya diperlakukan dengan tidak baik, sakitnya dipandang seakan tidak ada arti. Bagaimana jika ia sudah tak tahan lagi dan berujung dengan bunuh diri? Sungguh ironis.

Guru didepan sana sangat anteng melihat handpone miliknya, seolah tidak terusik dengan teriakan tidak pantas yang dilayangkan kepada siswi di depan sana. Sama sekali tidak berniat meredakan apalagi membela.

Cukup. Dia sudah tak tahan, kenapa orang lain yang dicaci maki tetapi dia yang sedih? Itu karena dia merasa iba, dia merasa kasihan, dia merasa itu menyakitkan. Karena dia... pernah merasakan itu semua.

Dia memegang erat pensil miliknya digenggaman tangan. Kenapa dia merasa sangat emosi?

Tak.

Pensil miliknya terbagi dua.

Semuanya sudah keterlaluan, sepertinya tidak akan pernah berhenti.

"Cukup!" Akhirnya dia berani mengeluarkan suara hatinya. Walaupun, hanya satu kata.

"Mega?" Seorang murid laki-laki yang duduk di depan bangkunya menoleh ke belakang, mengernyit bingung.

Mega melihat murid di depannya, samar-samar ia melihat seluruh wajah siswa paling pintar dikelas ini sekaligus menjabat sebagai ketua kelas itu memerah.

Wajah Kaindra sang ketua kelas yang sering dikatai tidak becus itu memerah. Terlihat sekali, ia berusaha menahan amarah.

Mega gelagapan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semua mata penghuni kelas menatapnya, mengalihkan atensi ke Mega yang kini berdiri diposisinya.

Hening.

Semua rencana Mega untuk membela dan menghentikan  ocehan seluruh siswa pun hilang. Entah, mungkin ia kehilangan keberanian.

Berkedip sekali, ia menghela nafas.

"Sa-saya... izin ke toilet." Kenapa mulutnya tak bisa diajak kompromi?

Guru di depan sana menganggukkan kepalanya.

Mega segera keluar dari kelas, dan buru-buru menuju ke toilet.

Berdiri di depan kaca, melihat dirinya di sana. Kenapa ia menjadi pengecut sekali? Kenapa ia tak berani menyuarakan isi hatinya untuk membela? Dia ingin sekali membantu, memberikan uluran tangan untuk seseorang supaya tidak berakhir ke dalam kesakitan.

Mega membasuh mukanya dengan air dan memutuskan untuk kembali ke kelas.

Dalam perjalanan menuju kelas ia bertekad untuk menjadi seseorang yang penuh dengan rasa kepedulian, ia akan membantu orang-orang yang dalam posisi sama seperti ia yang dulu. Iya, ia yang dulu, Megami Kireina yang dulu. Semoga saja.

Sesampainya di kelas ia hanya melihat keadaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Murid perempuan yang tadi berdiri di depanpun sudah duduk dibangkunya, terlihat sedang menulis.

Tamisa Ayumi, murid perempuan yang selalu menjadi sasaran empuk untuk dibully, kini sedang menulis.

Tamisa melihat Mega lalu tersenyum.

____________________

I hope you like this story, guys!

Tolong, tekan bintang dan tulis dikolom komentar sebanyak-banyaknya! Itu... akan sangat membantu.

Because I'm CareWhere stories live. Discover now