24 jam (part 1)

2.1K 270 63
                                    


Tepat hari ini, Bangtan berulang tahun ke 7, Happy Birthday BTS.

Terimalah chapter ini sebagai kado ulang tahun dari saya untuk semua army tercinta.

Happy reading.

.
.

Alarm di ponsel Jimin berdering-dering keras, membuatku menggerutu. Jimin juga masih dalam keadaan setengah sadar, hanya saja ia lebih cepat bergerak daripada aku. Tangannya meraba-raba ponselnya di meja samping tempat tidur, dan mematikan alarm ponsel itu.

"Hyung, bangun," suaranya malas khas orang bangun tidur, "Sudah waktunya." Tangannya mengelus dan menepuk-nepuk pipiku dengan lembut.

Sebenarnya aku sudah terbangun karena alarm sialan itu, namun malas membuka mata. Tubuh Jimin terasa hangat di sampingku, suaranya juga menenangkan. Rasanya ingin menikmati tidur lelapku lebih lama lagi bersamanya.

"Hyung, kalau kau tidak bangun sekarang, kita pasti terlambat," Tepukan di pipiku sekarang sedikit lebih keras dan lebih cepat. "Dan aku tidak mau terlambat."

Aku menggeram pelan, "Hmm." Kupaksa membuka mata, netra indah dan senyum manis Jimin menyambutku. Walaupun wajahnya kusut acak-acakan dan matanya bengkak karena baru bangun, tetap saja dia seelok itu. "Jam berapa sekarang?" suaraku berat dan dalam.

Jimin tercekat mendengar suaraku, dia menutup matanya dan menarik napas panjang. "Jam 1 pagi, Hyung, mereka menyuruh kita berkumpul 30 menit lagi," katanya setelah membuka mata.

Hari ini adalah hari terakhir Jimin ada di Bali. Besok siang merupakan jadwal kepulangannya ke Seoul, yang berarti kami tidak akan pulang bersama dalam satu pesawat. Karena aku baru kembali ke Seoul lusa.

Kenyataan ini begitu mengagetkan buatku, karena waktu sungguh tidak terasa saat bersamanya. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, ternyata kami sudah menghabiskan 5 hari dengan berbagai peristiwa suka dan duka. Sama sekali tidak membosankan, malah kalau boleh jujur aku sangat sedih membayangkan berjauhan darinya. Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?

Mungkin karena begitu sedihnya, aku langsung mengiyakan ketika Jimin berkata dia ingin melakukan sunrise hiking di Gunung Batur. Bahkan walaupun itu artinya aku harus sudah bangun pukul 1 dini hari. Hiking dan bangun pagi, keduanya sama sekali bukan hal yang kusukai. Jimin tahu itu, maka ia sedikit terkejut ketika aku setuju saja.

kuharap dia tidak menyadari kegelisahanku. Kukira bila aku kelelahan dengan kegiatan fisik maka aku tidak akan punya tenaga untuk meratapi kepergiannya. Barangkali aku tidak akan terlalu galau pada saat perpisahan kami besok.

Mengenai besok, akupun belum tahu apakah aku sanggup mengantarnya ke airport. Aku tidak ingin dia tahu betapa kacaunya perasaanku saat ini.

"Hyung cuci muka dulu, jangan lupa bajunya sudah aku siapkan di gantungan baju di kamar mandi." Dia mendorongku pelan dari tempat tidur. Kemarin malam Jimin mempunyai ide supaya mempersiapkan terlebih dulu baju dan bekal perjalanan untuk hari ini, katanya supaya persiapan paginya tidak terburu-buru.

Aku tidak menjawab hanya mengayunkan kaki turun dari tempat tidur dan berjalan perlahan menuju kamar mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi, lalu langsung berganti pakaian.

Jimin sudah menungguku di pintu kamar mandi, sekarang gilirannya. Begitu melihatku, matanya membola, tapi ia tersenyum lebar.

"Ada apa?" tanyaku heran, pagi-pagi sudah cengar cengir tanpa alasan.

"Tidak apa-apa." Dia masih tersenyum sambil menarikku keluar dari kamar mandi.

Setelah dia keluar dari kamar mandi, aku menyadari sesuatu, kenapa Jimin memakai bajuku? Sejak kapan dia berani membongkar barang bawaanku? "Jimin, tidak salah? Itu bukannya bajuku?"

Travelling Buddy - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang