already s e t

329 54 147
                                    

"Lo masih mau di sini, Vy?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo masih mau di sini, Vy?"

Saking larutnya dalam materi yang sedang kupelajari, aku tidak sadar kalau Mbak Vio sudah mengemasi buku-bukunya. Hal yang kemudian membuatku mengernyit. Pasalnya, Mbak Vio sudah bilang akan di perpustakaan sampai asar nanti. Lalu, kenapa dia merangkum semua bawaannya ke dalam tas, padahal baru hampir jam dua?

"Iya, Mbak. Mbak Vio ngapain beres-beres?" tanyaku menuntaskan rasa penasaran.

Sebelum menjawab, dia memasang tampang cemberut. "Sebel gue punya komting yang teledornya nggak ketulungan."

"Terus?" Maksudku, apa urusannya dengan berkemas-kemas?

"Minggu lalu dia dititipin surat pemberitahuan gitu. Kalau hari ini ada pertemuan sama dosen wali. Dan dia baru bilang sekarang. Gitulah. Ribet pokoknya."

Aku meringis. Drama seperti itu memang kadang terjadi, begitu juga di kelasku. Musibah lupa, salah informasi, dan kealpaan lain sudah menjadi suatu kewajaran yang sayangnya selalu berujung menyebalkan.

Kakak tingkat yang kukenal melalui Himpunan Mahasiswa Matematika itu beranjak, sementara Razy juga sudah pergi selepas salat Jumat tadi. Bagaimana dengan Aksa? Entahlah. Dia pergi tidak lama setelah Razy. Hal yang kusyukuri karena aku tidak harus terlarut dalam kebisuan perpustakaan dengannya. Namun, tetap saja aku belum lega karena pria itu meninggalkan tasnya di sini, yang artinya kami akan kembali bertemu karena dia menitipkannya kepadaku.

Akhirnya, di sinilah aku. Sendirian di antara rak-rak buku, lengkap dengan tumpukan kertas yang dijilid itu. Tempat di mana bau paling menyenangkan bisa dihirup. Tempat yang tak pernah membuatku bosan atau lelah, meski hanya duduk di salah satu kursi yang tak mampu mendengar rambatan suara yang aku nyanyikan diam-diam. Tempat yang sejak usiaku sepuluh, menjadi ruang paling akrab di hari-hariku.

Sejak hari di mana aku bercakap dengan orang asing di depan toko alat tulis delapan tahun lalu, aku jadi sering mengunjungi perpustakaan. Sekadar untuk menemani laki-laki yang irit senyum itu.

Memperhatikannya menggoreskan tinta-tinta produksi pabrik ke atas kertas yang ia bawa. Membaca novel sembari menunggunya selesai menghitung sederet soal dengan formula yang tidak aku mengerti apa maksudnya. Atau mendengarnya yang fasih menceritakan The Ugly Duckling dalam bahasa Inggris. Di suatu sudut, yang tidak terjangkau telinga penjaga perpustakaan.

Dari sana, perpustakaan menjadi tempat yang tak bisa aku abaikan begitu saja.

Ya Tuhan. Lagi-lagi aku membawa Mas Faris dalam angan-anganku. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak sekadar menunggu rasa ini raib. Aku harus berkeras menghilangkannya. Harus.

Aku menghormati Ibun, juga Mbak Nindy. Rasanya seperti mengkhianati mereka jika aku terus-terusan menyimpan rasa kepada seseorang yang sudah jelas siapa pemiliknya.

Melalui makan malam di rumah Ibun beberapa waktu lalu, aku jadi berpikir ulang. Jika aku di posisi Mbak Nindy, aku tidak akan suka jika suamiku dipandang dengan perasaan cinta oleh wanita lain. Meski aku tidak bisa menyalahkan atau mengendalikan perasaan wanita itu.

Kalkulasi Rasa [END] Where stories live. Discover now