P.20. Water Park

14 1 0
                                    

Perjalanan dari agrowisata menuju cottage tidak gue ingat dengan pasti karena capek dan mengantuk. Gue asal saja duduk dibangku yang diduduki Stefie tadi pagi dekat jendela. Detik berikutnya gue pun pulas ke alam mimpi. Gue bahkan tidak bisa mendengar rengekan Stefie yang memaksa gue pindah posisi duduk.

Sesadar saat gue mendengar suara ribut anak cowok dari arah belakang. Gue bangun diposisi bersandar dibahu yang gue yakin bukan Stefie.

"Eh, lo ya Jon...duh maaf banget ya kalo gue ngilerin bahu lo." respek mulut gue tanpa bisa dikontrol, membuat gue mengelap kedua sisi sudut bibir yang kering tanpa jejak.

"Nggak apa-apa kok, Nggi. Santai ajah..." Jono acuh tak acuh. Dengan headphone yang tersambung dengan iPod ada dikepala dia sebagai penutup telinga, lalu ada buku tipis kumpulan puisi William Shakespeare. Ini cowok bule memang beda gaya sendiri.

"Itu lo bisa tau artinya apa?" decit gue bingung sendiri dan asal berucap demi menutupi rasa malu gue, tadi pasti gue ngorok bikin ribut sampai Jono harus menutup telinga dia. Tetapi ya, yang diajak bicara sikapnya santai pakai banget seolah tidak terjadi apa-apa. Membuat gue semakin merasa malu, secara Jono kan bule pastinya bahasa Inggrisnya tidak perlu diragukan lagi sekali pun membaca sastra klasik macam penulis Romeo and Juliet itu.

"Dikit-dikit ajah, Nggi. Mau baca?" ya elah malah kasih penawaran ke gue.

"Makasih Jon. Biarlah itu menjadi pengalaman pahit gue dulu karena si Will itu." tunjuk gue tanpa sadar bergidik dengan sendirinya. Membaca karya sasra klasik semacam itu hanya akan mengingatkan kejadian sewaktu SMP.

"Pasti dulu...lo disuruh menerjemahkan dan nggak bisa?" tebak Jono hampir benar.

"Ya ....nggak separah itu juga kali Jon." elak gue tidak terima. "Dulu, pas SMP gue dapat tugas bahasa Inggris untuk menerjemahkan puisi yang berbahasa Inggris. Nah, disitu soalnya sewaktu gue ke perpus asal aja tuh ambil buku yang berbau Inggris. Pas gue tau itu sastra klasik ya pas hasil nilai terjemah ngawur gue udah keluar. Bu guru bahasa Inggris waktu itu marah besar ke gue. Katanya gue udah mencederai sastra klasik." curhat gue pada akhirnya. Satu lagi rahasia gue keluar. Kali ini si Jono yang beruntung mendengar pengakuan gue. Bahkan ayah dan ibu tidak tahu menahu soal ini.

"Wah...keren dong sekolah lo." komentar Jono diluar dugaan.

"Ya..gimana ya. Dari dulu gue sekolahnya swasta, biar mudah urus administrasi jika harus pindah-pindah."

"Enak tuh tiap tahun pindah sekolah, Nggi."

"Enak dari Hong Kong. Yang ada gue keteteran kejar pelajaran. Mana tiap sekolah beda-beda...apalagi kalo ada muatan lokal. Pusing pala gue tau."

"Makanya HP lo jadul gitu? Supaya lo bisa fokus kejar pelajaran kan?"

"Itu sih akal-akalan orang tua gue ajah kali Jon." sela gue. Tapi ada benernya juga sih. Kok gue nggak pernah berpikir kesana ya. Gue cuma keras di aksi protes tanpa mencoba menelaah.

"Lo pikir begitu?"

"Kok... lo jadi kayak guru BK, Jon?" elak gue binggung harus jawab apa.

Ini cowok bule tercipta dari komposisi apa saja sih? Rumit amat pola pikirnya.

"Udah cocok ya gue jadi guru?"

"Emang cita-cita lo nanti mau jadi guru?" balik gue bertanya.

"Mungkin...selama itu bisa berguna dan gue mau ya boleh dicoba."

"Jadi guru kok pake coba-coba..." canda gue asal.

"Ibarat, sama kayak lo pas asal abil buku William Shakespeare itu."

PrembunWhere stories live. Discover now