22 | Helen

247 35 0
                                    

Aku duduk di bangku depan kantor. Menunggu Mama menjemput karena motorku dipakai Ayah. Sudah terlalu lama, aku mondar-mandir depan kantor sambil menghayal. Merencanakan apa yang ingin kulakukan nanti sepulang sekolah.
Perhatianku tertuju pada rumah kosong di seberang jalan. Ada satu keluarga di sana, lengkap. Ayah, ibu, satu anak laki-laki, dan dua anak perempuan. Pakaiannya terlihat kuno dan klasik. Aku hanya diam melihat mereka berpindah tempat dengan cepat. Sang kakak sibuk menguncir rambut adiknya. Aku mengerenyitkan dahi mengamati aktivitas mereka.

Kusadari sesuatu, seketika lamunanku buyar. Mereka melayang, tak berpijak di lantai teras. Aku berusaha tenang dan mengabaikan. Mungkin saja aku salah lihat. Rasa penasaran pun kembali menghantui. Di sana hanya tinggal sang anak perempuan. Cantik, meski wajahnya sulit dikenali.

Aku memberanikan diri, menyapa dia di sana. Sengaja, aku penasaran ingin melihat kehidupannya. Ia terkesiap dan hanya bergeming tanpa berbicara. Kurasakan hawa aneh jika dekat dengannya.

"Hai ... nama kamu siapa?" tanyaku ramah. Gadis kecil itu mengangguk pelan seraya meremas gaun kerajaannya.

"Kok diam?" tanyaku lagi. Merasa tak direspon, atau mungkin dia tak mengerti apa yang kuucapkan, aku memutuskan untuk pergi. Ketika berbalik badan ....

"Aku paham bahasa Kakak. Namaku Helenina Jeanne," katanya bernada lembut dan santun. "Panggil saja Helen," lanjutnya. Aku terkejut bukan main, ia membaca pikiranku?

"Hai, Helen. Aku Ara, siswi di sekolah ini."

"Bunda! Helen punya teman baru!" teriak Helen tanpa menoleh, terus menatapku dengan mata kosongnya. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Sangat ketakutan.

Muncullah seorang wanita berbadan cukup gemuk. Memakai gaun putih berenda dan rambut pirang. Sekilas, ia sangat mirip dengan Helen. Bedanya bibir Helen lebih kecil dan tipis dibanding ibunya. Rambut kuncir kuda milik Helen juga menggemaskan.

"Te-teman?" tanyaku gugup. Tanganku gemetar. Bagaimana ia bisa langsung menyimpulkan aku ingin menjadi temannya? Benar-benar.

"Melihat dari ekspresi Kakak, sepertinya ingin berteman denganku, bukan?"

"Buktinya Kakak penasaran dan ke sini. Padahal, orang yang melihat keluarga kami lalu ke mari, akan mengalami kesialan. Kakak tak takut?"

"Kesialan apa?"

"Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu soal itu. Intinya, ketika aku lahir 237 tahun yang lalu, sudah banyak tengkorak manusia dan kerbau berserakan di depan rumah."

"Kamu ini nggak masuk akal. Maksudmu setiap yang datang ke sini tidak akan keluar hidup-hidup, begitu?"

"Hm, begitu. Bisa saja."

"Ck, jangan menakutiku. Kau, aku, dan makhluk lain di Bumi ini hanyalah ciptaan-Nya. Jangan kira aku takut padamu."

"Aku juga tak menakuti. Hanya memperingatkan. Dekat sini ada kerajaan terbesar. Kakak harus berhati-hati atau ... akan terjebak di dalam sana sebagai budak jin."

"Terserah. Aku ingin pulang. Sampai jumpa besok."

Tak ada jawaban, aku berjalan kaki ke sekolah lagi dengan kekesalan. Rumah tua itu biasa saja, memang. Ukurannya sedang, beratap merah, beberapa dindingnya rusak dan jebol. Namun, ada hawa-hawa yang aneh ketika aku berada di halamannya. Bagaimana jika aku masuk?

"Lho, dari mana? Mama cariin dari tadi. Ternyata kamu di sini," kata Mama mengagetkanku.

"Ah ... anu, Ma. Ara tadi jalan ke sana sebentar sambil nunggu Mama," jawabku. Mama paham kalau aku adalah anak yang mudah bosan dan muak pada sesuatu. Bagiku menunggu adalah hal yang paling membosankan.

"Ya, sudah. Ayo, naik!"

Sepanjang perjalanan, kurasa pundakku berat. Seperti menggendong sesuatu. Mungkin tasku yang memuat banyak buku. Aku meminta Mama berhenti sebentar lalu meletakkan tasku di depan. Tetap saja, ada sesuatu yang menindih tubuhku. Entah apa itu.

"Aduh!" keluhku ketika hilang keseimbangan dan hampir terjatuh. Untung saja Mama memegang lenganku.

"Leh, hati-hati, dong turunnya. Di depan ada batu besar, tuh. Nanti kalau jatuh bisa luka kepalanya," kata Mama sambil mengelus kepalaku. Wanita berjilbab ungu tua itu manis jika tersenyum. Polesan bedak yang natural juga membuatnya sempurna. Aku heran mengapa Ayah sulit sekali mencintai Mama. Dia wanita yang hebat.

Padahal hanya beberapa menit dari sekolah, aku merasa lelah. Tak biasanya aku begini. Sekarang, hanya pundak sebelah kiriku yang sakit. Sampai-sampai aku sulit berdiri tegak. Mama heran melihat tingkahku yang aneh.

"Kamu maag?"

"Nggak, Ma. Ara nggak telat makan, kok. Ulu hati juga nggak sakit. Nggak tahu, nih dari tadi kayak berat di pundak."

"Coba sini Mama lihat pundaknya."
Aku membuka baju dan Mama mengecek punggungku. Ia sempat terdiam lalu beristigfar beberapa kali. Aku yang panik melihatnya khawatir lantas bertanya,

"Kenapa, Ma?"

"Ini, lho. Di sekolah ada yang nyakitin kamu, ya?" tanya Mama membuatku heran. Jangan sampai Mama tahu tentang Ria dan teman-temannya. Aku memejamkan mata, mencari jawaban.

"Nggak ada kok, Ma. Semua teman Ara baik ... aduh!"

Aku meringis kesakitan ketika Mama menyentuh pundakku. Seperti ada luka basah yang cukup dalam. Aku panik dan berusaha melihat ada luka apa.

"Ini ... kayak bekas cakaran. Coba jujur sama Mama, siapa yang nyakitin kamu sampai separah ini?" tanyanya semakin tegas. Aku bingung, luka cakaran? Sejak tadi aku tidak ada bersentuhan dengan siapa pun.

"Nggak ada, Ma! Ara nggak bohong. Ara juga nggak tahu kok bisa luka begini," jawabku. "Ara juga nggak ngerasain sakit dari tadi, baru aja."

"Kok bisa, sih nggak kerasa dicakar? Ini dalam lukanya! Coba ingat dulu!" Aku menangis. Menarik diri dari Mama lalu memakai baju. Aku benar-benar tak tahu apa-apa.

"Ara bilang nggak ada ya nggak ada! Mama, nih kenapa, sih? Ini cuma luka kecil, besok sembuh." Napasku memburu. Setelah melontarkan kata-kata itu, aku menunduk. Sama sekali tak berani menatap matanya. Ia berdiri, aku juga. Kami saling beradu tatap.

"Aduh ...." Aku kembali meringis ketika luka itu kusentuh. Ternyata cukup dalam. Aku mengambil kotak obat di lemari dapur.

Aku berdiri di depan cermin. Menyesuaikan pandang agar bisa melihat luka itu lebih jelas. Astaga! Benar, ini cukup parah. Pantas saja Mama begitu panik melihatnya. Satu hal yang kupertanyakan, bagaimana luka ini bisa muncul? Apakah aku melupakan ingatan ketika seseorang melukaiku? Atau ....

Sarah?

Sebentar, memangnya dia bisa merasukiku? Hati ini tak yakin Sarah. Namun, masih ada sesuatu yang membuatku penasaran. Seseorang yang menjadi diriku.

***

Next.

Inside Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang