01. Cantik, Aku Menyerah

6 0 0
                                    

Sang merah muda yang ranum itu bergetar, lelehan isak malah sesekali menyampiri saking derasnya ia melaju. Dirinya tak menyukai ini, sangat tak suka melihat bagaimana cintanya diraup bara menjadi-jadi.

Pemandangan langka yang tercipta karenanya pula, gadis bodoh yang tamak akan hati.

"Kau tahu itu, Ningtyas. Aku memang cacat, aku memang timpang," Nada penuh penekanan itu menjeda, menuju lubuk bagai belati tajam yang menikam jantung yang hidup-mati-hidup-mati ribuan kali.

"Tapi aku tidaklah tuli," Timpalnya.

Kedua manusia itu saling meringis di tengah sendu yang menggarami luka mereka, perih, rasanya sangatlah perih.

Hablur hitam sang adam menatap gadisnya lamat, lisan tulus, jujur, namun ranum pula pahitnya terus berucap tentang bagaimana hujaman itu tidaklah sanggup ia terima. Bagaimana pengkhianatan hadir di antara janji mereka. Ketika ia berlaju untuk selalu menjadi sempurna bagi si cantiknya, dia malah diabai acuhkan pada akhir yang dipastikan hari inilah titik ujungnya.

Gema Ningtyas begitu terdengar pilu, atas sesalnya dari tingkah laku yang malah berbalik menjadi panah untuk dirinya sendiri.

Juan marah, Juan kecewa, dan kini ia sanggup membuat kelopak penuh tulus itu membuncahkan air mata. Itu semua karenanya.

"Aku minta maaf, demi sanggup kumati hari ini, aku tak akan mengulanginya lagi," Mohon pemilik surai seindah pintalan benang mahal yang malah jadi tak beraturan karena sakit hatinya mengakar pula pada kepalanya.

Masing-masing dari mereka tersakiti, namun dengan cara yang tak seiras alasannya.

Agak tertatih, Juan menghampiri cantiknya, mengusap rambutnya dengan lembut, juga pipi yang menjadi lajur pacu air matanya.

"Seharusnya kaubilang saja," Lensanya menatap pasang mata itu begitu dalam, "Bilanglah kalau kau mulai tak senang denganku, bilang saja kalau kau letih bersama laki-laki cacat ini."

Ningtyas menggeleng cepat, ia menggenggam jemari hangat yang menyentuh bilah pipinya yang merasakan panas dan dingin yang hebat di relung suasana yang sama.

"Lalu apa?" Penuh kehati-hatian pertanyaan itu terlontar.

Semakin sakit hati lah ia—Ningtyas, berani-beraninya menyakiti lelaki setulus dan selembut itu. Bahkan di badai kemarahannya Juan tak sekalipun mengeluarkan suara keras atau tuntutan bernada tinggi.
Namun perkataannya begitu dalam terasa, tajam, sampai pedang tertajam di duniapun kalah banding darinya.

"Aku hanya..., ukh!"

Tidak, Ningtyas tidak sanggup. Lidahnya membeku untuk mengucapkan alasan, dirasanya ia benar dalam keegoisan itu, walaupun kini ia meraung memohon maaf. Menyatakan salahnya adalah hal yang begitu rumit untuk terlontar, kepalang tanggung sudah ia terpojokkan.

Sekuat tenaga hatinya memaksa mengutarakan, ia harus melawan takutnya. Keduanya tak bisa saling tersakiti dengan alasan yang tak jelas. Juan butuh penjelasan, dan Ningtyas butuh kejujuran diri.

Ningtyas melirih, "Chandrasa adalah laki-laki yang baik, laki-laki yang sangat baik."

"Sebaik apakah ia?"

Mendengar pertanyaan dari sang lawan bicara kembali membuatnya melemah. Ningtyas menggigit bibirnya, menahan isak yang pada akhirnya lolos juga.
Sumpah, ia begitu menyesal dan malu, kedua tangannya bahkan seolah tak sanggup menopengi wajahnya yang dipancari kelam dosa itu.

"Apakah ia akan menjaga dengan baik jika kulepaskan engkau?"

"Juan!" Pekikan Ningtyas ikut membawa netranya yang kini bertitik beku pada hablur hitam berlapis linangan yang nampak amat pedih dipandang, sejahat itu ia menusuknya.

Kuas BumantaraKde žijí příběhy. Začni objevovat