Enam

148 29 13
                                    

“Jadi Sekihan-san ini merupakan ketua pengurus gereja itu?”

Pria yang dipanggil Sekihan itu mengangguk pelan. Setelah ia sadar dari kondisi pingsannya, Sekihan langsung ditanyai beberapa pertanyaan dari pemuda yang menolongnya dalam keadaan sekarat itu. Sekihan bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup. Tapi, dari lubuk hati terdalamnya Sekihan merasa bahwa ia lebih baik ikut mati bersama orang-orang yang ada didalam gereja. Rasa bersalah yang ia miliki ini tidak akan pernah bisa hilang.

Semua ini salahnya.

“Sekihan-san? Jadi itu adalah nama paman?” Sekihan dan Urata yang sedang duduk, menoleh pada pemuda bersurai merah yang tengah membawa nampan berisi makanan dan juga minuman.

Yokatta, aku sempat khawatir kalau paman tidak akan bangun lagi.” Dengan wajah polosnya, Sakata berucap sambil menaruh nampan itu keatas meja. Nada suaranya terdengar bahwa ia sangat mengkhawatirkan Sekihan.

Sekihan yang mendengarnya, tersenyum kecil. Ia lalu mengambil minuman yang tadi dibawa Sakata. “Boleh aku meminumnya?”

Sakata mengangguk, “un, tentu saja. Inikan untuk paman.”

“Kau yang membuat ini?” Tanya Urata sedikit syok. Ia tidak pernah tahu kalau Sakata ternyata bisa membuat makanan.

Sakata dengan cepat menggeleng, membuat Urata menatapnya bingung. “Bukan aku yang membuatnya, tapi Senra-kun.”

Urata sudah dapat menebaknya, tapi tidak ia sangka bahwa tebakannya itu bisa setepat ini. Ia tahu betul kalau Senra jago dalam hal memasak, namun karena lelaki itu terlalu gengsi untuk mengakui bakatnya itu. Jadi Senra selalu menutupi kebenaran tentang dirinya yang bisa memasak itu dan secara ajaibnya sekarang Senra tidak lagi menutupi hal itu.

“Arigatou, karena kalian telah menyelamatkan saya saat di gereja.”

Urata tersenyum, sambil menggeleng pelan. “Iee iee, ini memang sudah menjadi tugas kita sesama manusia untuk saling tolong-menolong.”

Sekihan menatap Urata lalu beralih pada Sakata. “Kau mungkin mengatakan hal yang benar.” Sekihan menghela nafasnya sejenak, sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “Saya akan menceritakan semua yang saya ketahui tentang kejadian yang terjadi di kota Deathy atau sekarang orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan kota kematian selama setahun belakangan ini.”

Urata terkejut saat mendengarnya, padahal dirinya belum menanyakan maksud dan tujuan mereka berempat datang ke kota ini.

Apa Sekihan dari awal sudah tahu, identitas mereka berempat? Mungkin karena itu jugalah, lelaki berusia hampir empat puluh tahunan itu mengizinkan mereka berempat untuk tinggal di rumahnya.

Un, onegaishimasu!”

Urata menoleh pada Sakata yang sama sekali tidak terganggu dengan perkataan Sekihan barusan. Sangat berbeda dengan dirinya. Sepertinya ia terlalu banyak berpikir. Hey! Dia bukan Shima.

Onegaishimasu.”

Sekihan tersenyum kecil, lalu dalam merahnya langit yang menyaksikan mereka bertiga, ia mulai bercerita.

Sedangkan Senra dan juga Shima, mendengarkan obrolan ketiganya dari luar beranda rumah yang kebetulan pintu ruangannya terbuka lebar, sambil duduk menatap langit senja.

☆AS☆

“Kenapa kau tidak membunuhnya?”

Pertanyaan itu membuat suasana di ruangan gelap yang hanya disinari cahaya bulan dari luar itu hening. Tak ada satu orangpun yang ada di sana, yang berani berbicara tanpa persetujuan dari pria tua berusia enam puluh tahun yang duduk di singgasana.

Akademi Sihir -Misi di Kota Kematian- [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang