Arabella tak berani menoleh saat pintu kamar di buka. Sebenarnya ia juga tidak tahu kamar siapa yang ia tempati ini. Apakah ini kamar Zack atau kamar yang disediakan untuknya, Arabella tidak tahu.
Sejak Zack keluar dari kamar beberapa jam yang lalu, Arabella memutuskan untuk duduk bersandar di kepala ranjang dan tidak mengubah posisinya sama sekali. Ia hanya menunduk memainkan jemarinya.
Zack duduk di sebelah Arabella. Matanya menatap lekat-lekat wajah perempuan itu yang tertutup oleh rambutnya.
"Jadi," Zack membuka suara. "Karena kau sudah tahu ..." Zack tampak berfikir.
"Tahu apa?" Arabella bertanya tanpa menoleh.
"Aku mencintaimu," jawab Zack langsung.
Arabella tersentak. Ia mendongak menatap ke dalam iris mata hitam kelam Zack yang dibalas dengan tatapan yang sama dalamnya.
"Jadi benar?" Semburat merah di pipi mulai terlihat saat Arabella bergumam takjub. Wajahnya menghangat mendengar pernyataan Zack barusan.
Zack menatapnya heran. "Benar apa?"
"Ternyata benar kau mencintaiku." Arabella tersenyum malu-malu.
"Hah?"
"Sebenarnya aku memang bisa membaca pikiran orang lain, tapi tidak dengan pikiranmu," ringis Arabella.
Zack melotot. "Lalu kenapa tadi kau bilang-"
"Maaf," potong Arabella langsung. Ia menunduk kembali.
Zack melengos. Jadi Arabella membohonginya. Berani sekali! Sekarang Zack malu bukan kepalang.
"Arabella-""Tapi aku senang." Arabella kembali mendongak, menatap Zack. Ia memamerkan senyuman manisnya membuat degup aneh menjalar di dalam dada Zack.
"Kau membohongiku."
"Iya,maaf."
Zack menghela nafasnya. Berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan perasaan malunya di depan Arabella. Zack tak tahu harus mengatakan apa. Begitu juga Arabella. Keduanya hanya diam beberapa saat, menciptakan suasana yang luar biasa canggung.
"Aku ingin bertanya," ucap Arabella tiba-tiba untuk memulai kembali percakapan. Zack sama sekali tidak bisa diharapkan soal seperti ini.
"Apa?"
"Kau bilang kau membenciku tadi. Kenapa sekarang-"
"Aku tidak membencimu, A. Sama sekali tidak," sela Zack. "Yang ada aku mencintaimu bahkan mungkin sebelum kau mencintaiku."
Jangan salah, Zack mengatakan itu bukanlah hasil dari menganut ajaran Allura. Zack merasa kedatangannya ke tempat Allura tidak berguna. Jadi yang ia katakan adalah murni dari dalam hatinya.
Lagi-lagi pipi Arabella memanas. Ia tersipu. Jadi seperti ini rasanya jika seseorang yang dicintai membalas cintanya.
"Aku mengatakan itu hanya untuk menghilangkan sisi gelap yang menguasai dirimu tadi," jelas Zack lagi.
Arabella tertegun. "Sisi gelap?"
"Saat kau haus akan darah. Selalu ingin membunuh orang," jawab Zack.
Arabella terdiam. Teringat kembali saat-saat ia merasa senang membuat orang lain tersiksa. Yang seharusnya Arabella tidak seperti itu, ia malah merasa begitu menyenangkan saat melihat darah.
"Sama seperti kau hari itu? Sepuluh tahun lalu. Saat kau menyiksaku dengan mata merahmu hingga mati. Apa itu juga sisi gelapmu?" tanya Arabella heran.
Zack menelan ludahnya. Kilasan memori itu kembali. Tentang betapa kejinya ia dulu pada Arabella yang bahkan sudah terlalu baik untuk ukuran seseorang yang selalu di benci. "Y-ya. Kurang lebih begitu. Tapi kau ingat, 'kan, saat itu aku tidak suka saat kau berteriak dan menangis? Kau adalah pengecualian bagi sisi gelapku."

YOU ARE READING
Pathetic Destiny [Completed]
Fantasy[Fantasy-Romance] Arabella, putri terkutuk yang disembunyikan rapat-rapat keberadaannya oleh penghuni istana. Hanya nama yang dikenal oleh seluruh rakyat Kekaisaran Orvins. Kutukan Arabella membuatnya harus menanggung kesakitan luar biasa dan menjer...