1|Promised

52 7 9
                                    

Tanggal enam di bulan enam, lebih dari setahun, tepat tahun ke enam yang ku lewati dengan hal yang sama. Menunggu kamu datang, disini. Tempat yang kamu janjikan.

Raka Adiyatama. Lelaki asing yang tiba-tiba menyatakan perasaannya padaku. Pernah bilang suka pada ku, tapi tak ingin pacaran katanya. Dia hanya ingin aku tau. Pernah satu sekolah saat SMA.

Taman bunga kecil dulu tempat terakhir kita bertemu. Sekarang sudah melebar jadi taman bermain. Tempat orang-orang menghabiskan waktu bersama keluarga, teman atau berolahraga. Jika kamu mencariku disini mungkin akan membutuhkan banyak waktu. Tapi kamu tenang saja, kamu akan menemukanku dengan mudah jika kamu menemukan tempat terakhir kamu meninggalkan ku. Di gerbang kedua taman menuju danau.

Aku masih ingat saat itu pagi sekali. Sebelum jam enam, kamu memintaku menemuimu disini. Berpamitan merantau ke ibu kota untuk bekerja.

"Kita Akan bertemu lagi tahun depan, kan?" ucapmu dengan nada bertanya datar tak yakin. Aneh, kamu yang mau pergi, malah kamu yang ragu. Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu. Saat itu kamu berdiri dua meter di sampingku, menjaga jarak. Aku terkesan pada sikapmu menjaga batasan. Meskipun aku rasa ada yang salah ketika kita bertemu hanya berdua.

"Kapan?" tanyaku yang menganggap ucapanmu adalah janji dan ajakan untuk kembali bertemu. Aku lihat kamu menghela nafas panjang.

"Aku usahakan, tepat seperti hari ini," ucapmu, masih pokus menatap ke sebrang danau yang lebih menarik daripada aku.

"Tanggal 6 bulan Juni tepat jam 6 pagi? Atau setelah subuh? Aku telat datang hari ini. Maaf."

"Enggak papa, aku senang kamu tetap datang, walaupun telat. Tapi ...," ucapnya menjeda, menghela nafas lagi. Mungkin begitu sulit untuk mu mengucapkan janji.

"Tapi, jangan tunggu aku. Aku enggak tau jam berapa datang. Tapi, aku akan usahakan datang tepat, ditanggal yang sama." Kamu melirikku yang memandangmu tak berkedip. Yah, saat itu aku takut hari ini akan terjadi aku menunggu kamu yang belum juga kembali.

Kamu tau setiap tanggal enam bulan Juni pagi sekali aku akan datang kesini menunggumu hingga matahari menyongsong naik ke atas kepala.

Terkadang aku kesal mengingat kamu yang pergi jauh, tak memberiku nomor ponselmu, kau pun tak menanyakan nomor ponselku. Kita seperti putus sebelum jadian. Tapi, kau tak ingin pacaran.

Hari ini aku melibur kuliah pagi. Izin keluar rumah pagi-pagi sebelum jam enam, tak ingin datang terlambat dan membuat kamu menunggu. Meskipun ... aku ragu, takut kamu lagi-lagi tak datang hari ini. Dan haruskah lagi-lagi aku menunggu.

Sebulan yang lalu teman kakakku, kak Ardi datang ke rumah tak seperti biasanya. Bukan untuk menemui kakakku, tapi meminta izin ingin melamarku. Sudah ku tolak, tapi dia menunggu aku berubah pikiran, belum lagi Mama yang sepertinya sudah jatuh cinta sama kak Ardi malah membujukku untuk menerimanya. Jadi aku rasa kamu harus buru-buru datang hari ini menemuiku. Menjadi alasanku untuk tidak menerimanya.

Sudah jam 10 lewat, aku menghela nafas panjang. Mungkinkah lagi-lagi kamu tidak bisa datang hari ini. Tapi kenapa? Harusnya kamu kabari aku, setidaknya beri aku alasan untuk terus menunggu atau berhenti. Lalu, aku harus bertanya pada siapa? Tentang kamu? Keadaan kamu? Dan kepastian tentang kamu?

"Maira!" Suara familiar terdengar Samar di telinga. Ku edarkan pandangan memastikan pemilik suara.

"Elmaira Adista!" Suara yang sama lebih keras terdengar. Seseorang melambaikan tangan dari kejauhan, teriakannya membuat beberapa orang yang lalu lalang menatap ke arahnya dan ke arahku bergantian. Aku mengangkat tutup hoodie, menyimpan wajahku di dalamnya. Malu, juga sedang tak ingin bertemunya saat ini.

Kak Ardi. Panjang umur, baru saja ku bahas orangnya langsung muncul di hadapan. Seperti om Jin penunggu teko. Digosok-gosok langsung keluar dari persembunyian. Dia juga, di bahas dikit langsung muncul.

"Ngapain dek?" Dia menarik tutup hoodie di kepalaku, berdiri di hadapanku. Tersenyum, pamer gigi taringnya yang manis, seperti drakula tampan yang imut, bukan menakutkan.

"Hah?" ucapku mengernyitkan dahi. Mendongak menatapnya yang menjulang tinggi.

"Kamu ngapain di sini? Enggak kuliah? Kakak aduin mama loh, biar tau rasa, dimarahin mama," cercanya panjang. Aku mundur beberapa langkah, berbalik ingin pergi tak ingin menjawab pertanyaan kak Ardi. Aku sedang malas berdebat.

"Mau kemana?" Langkahku terhenti bukan karena pertanyaan kak Ardi. Tapi karena tutup kepala hoodieku di tariknya.

"Ditanya kok malah pergi? Enggak sopan!" ucap kak Ardi sudah di hadapanku.

"Eh, bukan gitu kak -."

"Becanda dek." Dia tertawa. Aku menatapnya diam.

"Kakak ngapain di sini? Sama siapa?" tanyaku menengok kiri-kanan bahkan berbalik ke belakang mencari seseorang yang mungkin datang bersama kak Ardi. Terlebih aku hawatir jika kak Ardi datang bersama kak Dion, kakakku.

"Kakak sendiri, cari kamu." Aku memicingkan mata, menatapnya tak percaya.

"Beneran dek. Tadi kakak ke kampus kamu. Kata temen kamu, kamu enggak masuk kuliah. Kenapa?"

"Ngapain ke kampus?" tanyaku bingung. Enggak mungkin kak Ardi jemput aku, kan?

"Abis urus buat lanjutin kuliah kakak," ucap kak Ardi.

"Oh.. Yaudah aku duluan ya kak." Tak berniat memperpanjang obrolan aku hanya ingin kabur dan segera menghilang dari hadapan kak Ardi.

"Mau kemana?!"

Aku segera berlari pergi menghindari kak Ardi yang masih terdengar memanggilku. Melangkah cepat sambil menunduk, menaikan kembali tutup hoodie di atas kepala.

Bruuukk..

"Auuu.." Bokongku menyentuh tanah dengan keras, aku mengeluh bersama dengan suara tangisan yang melengking.

"Huaaa... "

Aku segera bangkit mengangkat tubuh adik kecil yang terbaring di tanah di hadapanku. Ku peluk dia dalam dekapan. Merasa bersalah ku usap punggungnya menenangkan. Meminta maaf berkali-kali.

Aku meringis nyilu, saat merasakan tonjolan pada bagian belakang kepala anak laki-laki yang ku tabrak. Umurnya kisaran 3-4 tahun, perkiraan ku.

"Maafin saya ya dek." Air mata ku terjatuh. Semua mata tertuju pada ku. Malu dan sakit tak seberapa dengan rasa khawatir ku pada adik kecil yang masih saja terus menangis dalam pelukan.

"Zidan!" Aku mengangkat wajahku menatap laki-laki di hadapanku. Suara itu! Dia laki-laki yang ku tunggu-tunggu kehadirannya selama enam tahun terakhir. Juga hari ini. Dia datang Raka. Dada yang berdebar cepat, semakin terasa berlari. Tubuhku membeku. Dia menatapku sebentar. Lalu, mengambil anak laki-laki dalam gendonganku.

"Zidan. Ini Abi, udah enggak papa jagoan enggak nangis." Aku mengernyitkan dahi. Menatapnya yang masih sibuk menenangkan anak yang dia panggil Zidan.

"Abi?" ucapku pelan tanpa sadar.

"Maira, kamu enggak papa kan? Maaf mas dia enggak sengaja," ucap kak Ardi mewakili ku meminta maaf pada kak Raka.

"El ...," bisiknya pelan.

"Ah, iya enggak papa," ucapnya lagi, tampak sedikit canggung.

"Mas!" panggil perempuan berkulit putih, bergingsul yang datang menghampiri kami memegang pundak Raka.

~to be continue~

PromisedWhere stories live. Discover now