Muara Cinta

7 1 0
                                    


Oleh: Dewi Murti

Lirih terdengar nada panggilan masuk di ponselku.

“Dari Peni, Wuk!” teriak Mamak yang tampaknya mengetahui identitas si penelepon setelah melihat wajah Peni, sahabatku, menghiasi layar ponsel.

Aku yang sedang bersiap memasak di dapur, segera berlari kecil menghampiri. Ah, Peni! Ada kabar apa gerangan? Sejak lulus setahun lalu, kami belum pernah bertemu. Ia meninggalkan Semarang setelah diterima bekerja di Karawang. Sejenak kulihat Mamak masih duduk manis seraya mendedel jahitan gamis milik pelanggan yang hendak dipermak. Beliau mencebik, seolah-olah ingin memberi tahu di mana ponselku berada. Segera kuterima panggilan itu sebelum nada sambungnya berakhir.

“Assalamualaikum. Masya Allah, Dear. Iiih, somse deh. Kirain udah lupa ama sahabatmu ini. Ada kabar apa, nih?” tanyaku penuh antusias.

“Waalaikumsalam. Ish, satu-satu atuh pertanyaannya,” gerutunya sambil terkekeh. “Eh, Dear. Kamu masih ingat Mas Wahyu, gak?” imbuhnya.

Butuh beberapa detik bagiku untuk menebak sosok Wahyu yang dimaksud olehnya. Dari bangku SD sampai kini, tentu banyak nama Wahyu yang tersimpan di memori otakku.

“Ehm ... Wahyu Khoiru Syahri?” tebakku. Sejenak aku merasa takjub karena mampu menyebut nama itu dengan lengkap dan fasih.

Mas Wahyu adalah kakak tingkat sekaligus ketua rohis di kampus kami dulu. Sejak penampilannya dalam agenda rihlah rohis selama dua hari tiga malam yang kami ikuti, aku mulai memendam rasa padanya. Seiring waktu, rasa itu tumbuh bersemi. Tak kuduga, Peni justru bercerita terlebih dahulu bahwa ia menyukainya. Tak tahukah ia, bahwa aku merasakan hal yang sama? Aku merasa telah kalah _start_. Kuputuskan untuk memupus rasa itu. Dalam diam, kukubur rasa itu dalam-dalam. Di sisi lain, aku turut berbahagia untuknya. Rasa itu telah membawa perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Diawali dengan mengenakan hijab, rutin hadir di majelis-majelis ilmu, hingga rela menanggalkan celana jengki yang menjadi favoritnya. Ia makin anggun dalam balutan gamis atau rok panjang yang kini menjadi kebiasaan barunya.

“Betul sekali!” sahutnya riang, “Dia barusan dari rumah, Dear. Intinya, tadi izin sama bapak, mau bawa orang tuanya ke rumah. Dia mau mengkhitbahku!” Peni menjelaskan dengan berapi-api, suara penuh suka cita terdengar darinya.

Sementara, aku tercekat mendengar kata ‘khitbah’ itu. Apakah selama ini mereka telah menjalin hubungan tanpa sepengetahuanku? Mengapa Peni tak pernah bercerita? Ah, sudahlah. Bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk mengalah dan meredam rasa? Payah!

“Aku ingin kamu datang, Dear. Bisa, ya? Acaranya di Semarang, kok.”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.

“Ehm, eh, iya, Dear. Insya Allah aku datang.” Aku tertegun, hampir-hampir tak percaya dengan janji yang baru saja kuucapkan.

“Yuhuu, alhamdulillah! Nanti aku kabari lagi, ya, Dear. Salam buat mamak, mmuaach. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” ucapku lemah.

Aku terduduk lemah di samping Mamak. Ya Allah, mengapa aku masih merasakan sakit? Pandanganku mulai membayang karena bulir bening yang menggenang.

“Ada apa, Wuk? Ayo cerita.”

Naluri keibuannya seperti mampu membaca perih yang saat ini membuat hatiku merintih. Aku tak bisa berbohong. Kuceritakan semuanya tanpa sanggup memandang wajahnya. Sesekali isak tangisku keluar. Mamak menarik bahuku dan menyandarkan di pundaknya. Kurasakan beliau membelai kepalaku dan menciumnya.

“Pantaskan dirimu, Wuk. Percayalah, jodoh tak akan tertukar. Ia yang terbaik akan datang di waktu yang sudah ditentukan.” Nasihat singkat Mamak menghunjam, menghalau senduku di kala itu.

KARYA MEMBERWhere stories live. Discover now