P r o l o g

73 0 0
                                    

“Menerima kenyataan tidak akan pernah semudah itu, jika kenyataannya adalah kehilangan seseorang untuk selamanya.”

🍁

Qirani beberapa kali memijit kepalanya yang terasa berdenyut, namun fokusnya masih tetap tertuju pada buku yang berada digenggamannya. Ketika sebuah pecahan terdengar dari arah luar kamarnya, ia hanya bisa memejamkan matanya rapat.

Remuk redam, itu lah yang gadis itu rasakan. Tahun terus beranjak, namun bukan kelegaan yang ia dapati tetapi justru sesak yang kian tak berkesudahan.

Qirani tiba-tiba merasakan seseorang yang baru saja menutup kedua telinganya, lalu buku berada ditangannya yang ditutup perlahan. Qirani masih memejamkan matanya, namun ia selalu mengenali sosok itu.

"Abang kan udah bilang sama kamu, kalau Ibu sama Ayah lagi bertengkar terus lagi gak ada Abang di rumah. Kamu pakai headset-nya," suara yang terdengar lembut itu membuat Qirani perlahan membuka matanya. "Tadi kamu dengar apa aja?"

Qirani menampilkan seulas senyumnya. "Aku gak denger apa-apa kok."

"Kamu emang pintar bohongin semua orang," Daniel menggelengkan kepalanya pelan. "Tapi, gak kalau sama Abang."

"Abang," panggil Qirani lirih.

Daniel tersenyum lembut. "Iya?"

"Qira kangen ...."

Tangan Daniel terulur membelai lembut rambut Qirani. "Abang juga kangen. Maafin, ya. Abang harus lembur soalnya lagi banyak kerjaan."

Qirani benci jika ia bersama Daniel, karena ia seolah berubah menjadi gadis yang sangat cengeng. Terbukti jelas dengan air matanya yang kian deras sekarang.

Daniel menatap Qirani lekat kemudian tangis gadis itu perlahan-lahan pecah. Tatkala Daniel merengkuh erat tubuhnya, segala bentuk pertahanannya runtuh seketika.

"Apapun yang bikin kamu terbebani, cerita sama Abang ya." suara penuh pengertian itu, semakin membuat Qirani terisak.

"Iya," kata Qirani pelan, seraya mengurai pelukannya. "Besok Abang beneran anterin aku ke sekolah, 'kan?"

"Iya." Daniel tertawa kecil, mengacak rambut depan Qirani.

"Awas ya besok bangunnya telat!" Qirani menyipitkan matanya, menatap Daniel lekat. "Kalau telat harus jajanin aku besok sebelum ke sekolah."

Daniel mendengus. "Emang suka ya kamu lihat Abang bangkrut, minta makan mulu."

Qirani tertawa lepas kemudian kembali memeluk Daniel lebih erat. Merasakan tangan kekar itu menepuk punggungnya pelan.

"Jangan tinggalin Qira sendirian ya."

"Lho? Terus kalau Abang lagi kerja, kamu mau ikut gitu?" seloroh Daniel.

Qirani melepaskan pelukannya. Keduanya seketika tertawa bersamaan, namun keduanya sama-sama tahu bahwa dibanding merasa bahagia, justru keduanya berusaha untuk saling menutupi lukanya masing-masing.

"Besok sekolah, jangan sampai bangunnya telat. Udah jam sebelas, belajarnya lanjut di sekolah. Besok pagi Abang jajanin di warung depan."

"Mau jajanin aku apa mau modusin Mbak—"

"Anak SMP tahu dari mana bahasa kayak gitu?" Daniel mendorong kepala Qirani pelan kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidur sana."

"Nanti deh aku salamin buat Abang, asal jangan lupa—" belum sempat Qirani menyelesaikan kalimatnya, Daniel telah lebih dulu mendorong tubuhnya kemudian menutup pintu kamarnya.

Why Must You? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang