IV. Ťêťâp Bêřjâĺâň🌥

3.3K 203 194
                                    

"Jika dengan aku bersamanya membuat Mamam bahagia, akan aku lakukan. Walau hati serta ragaku belum bisa menerima kehadirannya."

-ARF

☀️☁️☀️

Kini Alana berdiri di depan pintu Kafe Star Light, ia mendorong pintu tersebut dan segera masuk untuk menemui Papah. Ketika sudah di dalam matanya sibuk melihat sekeliling untuk mencari Papah, sampai di mana matanya menangkap sosok Papah yang duduk di pojok kanan.

Alana berjalan menuju Papah, setelah sampai di sebelah meja Papah Alana langsung memberi salam. "Assalamualaikum, Pah."

Papah menengok. "Wa'alaikumsalam, Lan, kamu sudah sampai?"

"Sudah, Pah." Alana mencium punggung tangan Papah, Papah yang mengerti langsung bergeser ke pojok dan Alana segera duduk di bangku Papah tadi.

"Alana cantik sekali persis dengan Safira," ucap Tante yang duduk tepat di depan Alana. Alana yang mendengar nama Mamamnya disebut langsung memasang ekspresi binggung dan terkejut.

"Kamu pasti binggung, kenapa Tante bisa kenal dengan Mamammu."

"Iya, Tan," jawab Alana pelan.

"Perkenalkan nama Tante Kinanti Marsya Mahendra dan di sebelah Tante." Kinanti menoleh ke sebelahnya, di mana suaminya berada. "Suami Tante, namanya Hanif Airly Mahendra"

"Salam kenal Tante, Om."

"Salam kenal juga," jawab mereka kompak.

"Maaf, Tan. Aku," ujarnya dengan ragu dan eskpresi binggung serta penasaran.

Kinanti yang mengerti akan ekspresi Alana. "Oh, ya, Tante ini sahabat Mamam kamu," jelasnya.

"Oh, sahabat ya."

Kinanti hanya tersenyum menanggapi ucapan Alana. Ia mengerti bahwa Alana masih merasa asing dengan kehadirannya dan sang suami.

Tidak lama datang seorang cowok tampan dengan memakai seragam sekolah yang dibaluti oleh hoodie berwarna hitam. Kinanti yang melihat anaknya sudah datang langsung mengenalkannya kepada Alana.

"Alana, ini Anak Tante." Tunjuk Kinanti pada cowok itu. "Namanya Alvaro Zayn Mahendra." Kinanti kembali menoleh ke arah Alvaro. "Dan Alvaro, kenalkan ini Alana, anak sahabat Bunda."

Cowok itu hanya diam dengan wajah datarnya. Dari mukanya saja sudah terlihat, kalau dia type laki-laki kasar, dingin, cuek, dan pedas ketika berbicara.

Kinanti yang menyadari Alvaro hanya diam mematung langsung menarik Alvaro untuk duduk di sebelahnya. Tidak sampai di situ saja, Kinanti langsung menarik tangan Alvaro dari kantong jaketnya dan langsung menyodorkannya ke Alana. Alana yang disodorkan tangan cowok itu langsung dibuat terkejut.

"Alvaro," ucap Kinanti dengan suara berat yang dibuat-buat.

Semua orang yang mendengarnya langsung menahan tawanya. Alana langsung saja menerima tangan Alvaro.

"Alana," ujar Alana sambil menahan tawanya.

Setelah selesai berkenalan, Kinanti langsung melepas tangan Alvaro. Sontak tangan Alvaro terjatuh dan terbentur oleh meja yang sangat keras. "Sakit, Bun," bisik Alvaro.

Kinanti sebenarnya mendengar bisikan Alvaro, tetapi ia pura-pura tidak mendengarnya. Alvaro yang melihat Bunda hanya diam saja, hanya bisa menahan rasa sakitnya dan mengrutu dalam hati.

"Kalian kan sudah saling kenal, jadi kita langsung saja ke tujuan awal,," ucap Kinanti santai tanpa merasa berdosa sedikit pun.

Apa maksudnya Tante Kinanti? Tujuan awal? Apa ini ada hubungannya dengan ucapan Mamam waktu itu? batin Alana dengan ekspresi binggung.

"2A, satu minggu lagi kalian akan bertunangan ya," ucap santai Kinanti sambil meminum secangkir green tea miliknya.

Alana tidak sengaja mengebrak meja yang membuat semua orang terlonjak kaget, semua orang di sana langsung memandang Alana. Namun, Alana tidak sadar akan hal itu. "Mengapa?! Eh, salah ... maksudnya apa?!" kaget Alana

"Seperti yang Tante ucapkan tadi, kalau kalian akan bertunangan." Kinanti meletakkan kembali gelasnya ke meja.

"Aku tidak setuju," ucap tegas laki-laki itu.

Alana melihat ke arah Alvaro. "Aku juga," tegas Alana yang mengikuti gaya bicara Alvaro sambil kembali ke posisi awalnya.

"Kenapa? Lagian Bunda juga tidak minta pendapat kalian."

"Bundaku, Alva—"

"Kamu gimana, Lan?" potong tante Kinanti. Alvaro yang melihat Bunda langsung memotong ucapannya hanya memutar matanya jengah.

Nahloh, kok jadi aku sih? Kan tadi aku cuma ikutin dia aja, batin Alana.

"Alana," panggil Kinanti lagi.

Alana menggaruk pelipisnya tidak gatal. "Tante, minta waktunya deh buat berpikir. Ini menyangkut masa depan loh, Tan."

Tante Kinan menghela nafasnya pelan. "Oke, satu malam cukup?"

Astagfirullahaladzim, satu malam aku mikir apa ya? batin Alana.

"Tiga hari gimana, Tan?" tanya Alana sambil menunjukan angka tiga menggunakan jarinya.

Kinanti menghembuskan nafasnya kasar, kemudian dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Alana.

THE END (on Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang