Dia

12 4 0
                                    

Napasku tidak teratur. Pikiranku harus selaras dengan gerakanku. Ini salahku, tidak mengatur alarm untuk pagi ini. Ayah dan ibu sama halnya denganku, terbangun karena suara gemuruh guntur di langit.

Mandi dengan waktu yang sangat singkat, tidak perlu sarapan pagi aku langsung bergegas pergi setelah berpamitan dengan ayah dan ibu.

“Hati-hati dijalan. Berhenti dulu kalau mau berbelok. Pelan-pelan saja ya.” Pesan ayah.

Selama di jalan, aku tak berhenti menggerutu. Ini salahku karena bangun terlalu siang sehingga jalanan sudah ramai dengan orang yang ingin berangkat bekerja sepertiku.

Aku terus melihat jam tanganku setiap berhenti. Masih ada sekira sepuluh menit, kalau aku menambah kecepatan motorku hanya butuh lima menit untuk sampai.

Dan sepertinya dewa kebaikan masih berpihak padaku pagi ini. Tinggal tiga menit saja aku pasti akan telat dan menambah daftar telatku pada kartu hadir kepegawaianku ini.

Di ruang kerjaku yang tertutup ini sudah ada dua rekan kerjaku duduk manis sambil memegang gelas  di tangan masing-masing yang aku tebak isinya pasti kopi hitam.

“Tumben telat?” Dua kata yang terlontar dari mulut mbak Asti setelah aku muncul dari Bali tembok.

Aku mengangguk dan duduk di sebelah mbak Gina yang super keibuan ini. “Maraton.” Ucapku.

“Nonton oppa-oppa aja sampai lupa kalau paginya kerja.” Kata mbak Gina.

“Memang nih anak satu ini ya, kalau udah kencantol sama oppa-oppa itu, udah lupa deh sama urusannya di dunia.” Kicau mbak Asti.

Aku tertawa. Melihat sekeliling sepertinya masih ada satu orang yang belum datang. “ Mas Ebi belum dateng, mbak?”

“Nasibnya belum seberuntung kamu. Pasti dia lagi di omelin di ruang kabag.”

Di bagian tempatku bekerja hanya ada empat orang yang menjabat sebagai seorang laborat. Mungkin nanti akan ada perekrutan anggota baru.

Dulu aku menempuh kuliah selama tiga tahun sebagai seorang analis kesehatan di suatu politeknik. Bersyukur karena lulus dengan rangking paralel yang baik, aku bisa berkerja langsung di tempatku magang dulu.

“Hih, sumpah ya. Kuping aku lama-lama bisa pecah!” Tiba-tiba saja ada suara laki-laki berbicara dengan suara keras tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.

“Waalaikumsalam, Ebi.” Mbak Asti menjawab dengan arah jawaban yang melenceng. Bermaksud menyinggung mas Ebi yang masuk tanpa mengatakan salam.
Yang disinggung pun hanya dapat menampilkan senyum lima jarinya, “Hehe. Assalamualaikum semuanya.” Kami bertiga menjawab salamnya.

“Kenapa lagi, mas?” Tanyaku pada mas Ebi. Sudah jelas menunjukkan dari pertanyaanku, kata 'lagi' menandakan ini bukan kali pertama mas Ebi telat. Malah mas Ebi ini termasuk dalam kategori pegawai paling molor se-rumah sakit ini.

“Habis ngebon semalam.” Kata 'ngebon' yang dimaksud mas Ebi adalah berkeliling kota dengan sang pacar yang telah ia pacari selama hampir tiga belas tahun. Melebihi rekor pacaran pasangan terheboh se-Indonesia Glen dan Chelsea.

“Ngebon mulu tiap malem, nggak bosen, Bi ?” Mbak Asti ikut bertanya.

Mas Ebi mengedikkan bahu. “Nggak, nikmatin aja dulu. Nggak ngebet banget buat nikah, iya nggak, Le?”

Aku berdeham singkat. “Kenapa tanya ke aku ?”

“Ya... Di sini siapa lagi yang belum kawin?”

“Nikah!” Tegasku. Mbak Gina dan mbak Asti kompak tertawa.

“Udah lah, aku mau cabut bentar. Kebiasaan nih kalau Senin pagi aku suka dibully,” aku beranjak dari dudukku.

“Hmmm... Bau-bau ada yang mau ngapel nih.”

“Aku masih dengar ya, mas Ebi !”

Keluar dari ruang kerjaku yang berada di lantai satu, kemudian berjalan menuju ke arah lift. Saat menunggu pintu lift terbuka, sebuah pesan masuk ke ponselku.

Kamu di mana?

Aku tersenyum memandangi pesan singkat tersebut. Aku lebih memilih untuk mengabaikan pesan tersebut, dan aku sudah tau konsekuensi yang akan aku dapat jika aku mengabaikannya. Aku menunduk pada salah satu karyawan di rumah sakit ini saat lift terbuka.

“Mau ke atas ya, mbak?”

Aku tersenyum, “Iya mbak, mumpung belum ada banyak kerjaan. Aku tinggal sebentar.” Jawabku pada wanita berpakaian rapi dengan balutan jas dan rok pendek berwarna merah marun ini. Berbanding terbalik denganku yang mengenakan jas laboratorium ini.

“Panggil saya Rani aja mbak, kan saya  lebih muda dari mbak.”

“Oh, maksud kamu saya lebih tua dari kamu, gitu ?” Aku bertanya dengan nada bercanda. “Kita seumuran kali.”

“Mbaknya kan lebih dulu lahir tiga hari dari saya, iya 'kan?” Kami sama-sama tertawa.

Dia kembali bertanya sembari lift ini sampai  di lantai  delapan, lantai paling atas di rumah sakit ini.
"Enak nggak mbak jadi laborat?” Hanya ada kami berdua di lift ini. Jadi, kami tidak segan untuk saling berbincang.

“Dibilang enak sih enggak juga ya. Ya gitu, kadang ribet, pusing sendiri. Apalagi kadang ada dokter yang minta hasil lab-nya harus jadi dalam waktu yang cepat. Kita dituntut harus teliti dan cepat.”

Pintu lift terbuka dan kami berdua menuju ke tempat yang sama. Namun, dia lebih dulu meninggalkanku ke tempat kerjanya. Aku sampai pada ruangan yang aku tuju. Mengetuk pintu tiga kali kemudian terdengar suara seorang laki-laki.

“Masuk.”

Aku mengulum senyumku. Saat pintu terbuka, tampak seorang laki-laki duduk di balik meja dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

“Udah serius banget. Masih pagi lho ini.”

Dia menegakkan kepalanya saat mendengar suaraku. Ketika bejalan menuju ke arahnya entah nasib sial apalagi yang aku dapatkan.

“Aduh!”

Kaki kananku tiba-tiba saja oleng. Membuat pergelangan kakiku jadi agak sakit. Dia menghampiriku dan memapahku menuju sofa di ruangannya.

“Hati-hati dong kalau jalan, sayang.”

Wajahku memerah mendengar dia memanggilku seperti itu. Dia mengeluarkan minyak kayu putih dari kotak obat.

“Ini nih, akibatnya kalau kamu mengabaikan aku.” Ucapnya sembari membuka sepatuku dan mengoleskan minyak kayu putih di pergelangan kakiku.

“Aww!” Tanganku reflek memukul pundak laki-laki ini. “Pelan-pelan dong mas Reza! Sakit ini !”

“Tahan bentar. Kamu sih, kalau jalan nggak pernah bener.”

Ya, laki-laki ini bernama Reza. Laki-laki yang sudah cukup lama menemani hari-hariku. Di rumah sakit ini dia menjabat sebagai seorang  direktur. Di usianya yang masih muda, dia sudah ditunjuk untuk memangku jabatan yang cukup tinggi. Walaupun dia mendapat pekerjaan ini dengan cara yang bisa disebut 'instan' tapi mas Reza tidak pernah sekalipun meremehkan pekerjannya.

Pijatan tangannya perlahan mulai melambat dan rasa sakitnya sedikit berkurang. “Udah sarapan?” tanyanya.

Aku menunduk dan menggeleng. “Belum,” cicitku.

“Aku dengar kamu telat hari ini? Begadang lagi?”
Aku mengangguk. Tidak berani melihat wajahnya walaupun dia duduk di lantai. “Ini salah aku, gapapa kalau mas mau marah.”

Dia mengelus rambutku. “Kasian kalau kamu dapat marah dari aku.”

Aku tersenyum lebar dan dia kembali mengelus rambutku. Menyadari sesuatu yang terjadi pada rambutku. “Tangan mas kena minyak ini, kok dipake buat elus rambutku?!”

“Enggak sayang. Itu tangan kanan aku kok yang kena minyak.”

“Kan yang dipake buat urut semuanya. Tuh, rambut aku bau minyak kayu putih mas!” Aku merajuk.

“Cuci pake shampo kan gampang.”

“Mas nyuruh aku mandi lagi, gitu?”

“Bukan itu maksud aku. Rambutnya aja yang dicuci kan bisa.”

Inilah kami yang selalu saja beradu mulut setiap kali kami bersama. Tidak pernah terjadi pertengkaran hebat karena kami menganggap bahwa suatu hubungan yang terjadi pertengkaran adalah hubungan yang tidak sehat dan belum dewasa.

Kami mengisi ruang-ruang diantara kami berdua. Saling menghargai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak tertekan dengan status yang kami sandang berdua, menjalani dengan penuh tawa. Bertanggung jawab atas kesalahan yang kami lakukan dan mau meminta maaf.

“Ayah gimana?” tanya mas Reza. Saat ini kami berada di kantin rumah sakit.

“Ya masih gitu mas. Kadang sudah banget kalau dibilangin.”

“Nanti malem mas jemput ya, sekalian nengok ayah.”

“Mau kemana?”

“Jajan.” Mataku langsung bersinar mendengar kata jajan yang keluar dari mulut mas Reza. Itu artinya aku bisa makan apa saja makanan jalanan kesukaanku. “Mau?”

Aku mengangguk dengan penuh semangat. Ya, tentu mau. Mas Reza ini agak cerewet mengenai pola makanku yang tidak teratur dan suka makan sembarangan. Itulah mengapa tadi aku sedikit takut saat ditanya sudah sarapan atau belum. Tetapi, semenjak bersama mas Reza, maag yang aku idap tidak pernah muncul kembali.

🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤

KALAU VOTE DAN KOMENNYA UDAH BANYAK, NANTI AKAN AKU BAGIKAN SESUATU YANG UWU BANGET.

VOTE DAN BAGIKAN CERITA INI YA !

Lebih Baik حيث تعيش القصص. اكتشف الآن