PROLOGUE

193 69 94
                                    

"Hei, mau lari ke mana kau sialan?!"

Aku berlari menjauhi wanita yang baru saja mengucap kalimat barusan. Aku benar-benar sudah lelah untuk terus tinggal bersamanya. Hari-hari ku selalu suram. Tak ada kesempatan untuk bernapas barang sekali embusan saja agar bisa bahagia.

Aku mempercepat lariku. Bayangan setan wanita tadi tak lagi terlihat. Ups, maksudku—bayangan Bibiku—Maria.

Bruk!

Tak sadar karena asik melihat ke belakang. Badanku terhuyung akibat tertabrak lemari yang berukuran lumayan besar. Aku menepuk kedua telapak tanganku membersihkan pasir dan juga bebatuan aspal.

Tanpa basa-basi, langsung saja aku masuk ke dalam lemari tersebut. Karena untuk lanjut berlari pun aku sudah tak sanggup.

Fyuh!

Kedua mataku melotot kala sebuah embusan napas menembus ceruk leherku. Di dalam lemari ini sangat gelap. Susah bagiku untuk melihat jelas embusan siapa yang mencelos begitu saja dari hidung?

Perlahan aku memberanikan diri untuk membuka lemari dan keluar dari sana.
Astaga! Seorang lelaki berseragam serba hitam tersenyum menyeringai ke arahku.

“Siapa kau?!” teriakku. Sesekali kepalaku kuarahkan ke kiri dan ke kanan. Tak ada siapa-siapa yang lewat barang untuk berlalu lalang saja.

Lelaki itu semakin mendekat. Aku memundurkan tubuhku. Berjaga-jaga agar lelaki tersebut tak akan mencelakakanku.

Kini seringaian mengerikan dari mulutnya semakin memudar. Ia mengulurkan tangannya padaku. Kemudian tersenyum sangat tulus. Jika dipikir-pikir, lelaki ini tampan juga. Ah, lupakan! Saat ini jantungku berdebar bukan karena melihat ketampanannya. Aku berdebar karena masih merasa takut akan kehadirannya.

“Terima kasih,” ucapnya lagi membuat keningku berlipat.

Terima kasih? Untuk apa? Karena aku dikejar oleh bibi Maria?

“Karena telah membuka pintu lemari ini,” lanjutnya lagi seolah menjawab pertanyaan dalam batinku barusan.

Aku memanjangkan leherku untuk mengintip lagi ke arah lemari yang ada di belakangnya. Benar saja, lemari itu berbentuk aneh. Seingatku tadi, lemari itu berukuran lumayan besar. Tetapi kini malah berukuran mini. Mungkin tingginya hanya sepinggangku. Lalu bagaimana bisa tadi aku dan dia di dalam lemari seukuran mini tersebut?

“Ambil ini,” ucapnya seraya memberikan sebuah kantong hitam.

Aku semakin mengerutkan dahiku. Karena rasa penasaran sudah menjalar di kepalaku, akupun membuka kantong tersebut untuk melihat ada apa di dalam situ.

“Kamera?” beoku yang dianggukkan kepala olehnya. “Untuk apa?”

“Untukmu,” jawabnya. “Ingat, kau harus berjanji untuk menjaga rahasia ini! Jangan berikan pada siapapun! Kamera itu aku berikan padamu sebagai bentuk terima kasih karena kau telah membebaskanku dari lemari ini,” imbuhnya.

Aku menggaruk kepalaku yang gatal. Mungkin karena kutu dari lemari tadi yang menggigitnya. Bercanda, aku menggaruk karena bingung. Untuk apa kamera ini ia berikan padaku? Rahasia?

“Bagaimana jika suatu saat aku menjualnya?” tanyaku seraya mendongakkan kepalaku.

Kosong! Tidak ada siapa-siapa di depanku. Ke mana perginya laki-laki tadi? Aku melirik kembali ke tempat di mana lemari itu berada. Namun sialnya, lemari itupun juga tidak ada di situ. Apa aku baru saja bermimpi? Tetapi kamera itu masih ada di genggamanku. Itu artinya ... bukan mimpi?!

Ckrek!

Aku mencoba untuk memotret asal menggunakan kamera tersebut. Barangkali ada jawaban di sebalik gambar yang keluar dari kamera tersebut.

Sreeet!

Bunyi kamera tersebut mengeluarkan sebuah kertas. Aku menarik dengan kasar kertas tersebut. Ada bacaan di atasnya.

Lari! Bibimu semakin mendekat.

Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Benar saja, Bibi Maria semakin mendekatiku. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat agar bisa lari dari kejaran Bibi Maria.

Ternyata kamera ini bisa memberitahu kejadian setelah memotret asal. Terima kasih ... ah! Aku lupa menanyakan siapa nama laki-laki yang memberikanku hadiah kamera ini!

Aku semakin mempercepat lariku. Bibi Maria semakin kuat juga larinya.

Ckrek!

Aku memotret asal lagi ke sembarang arah.

Sreeet!

Selembar kertas keluar lagi dari kamera tersebut. Aku menarik paksa dan mengibas-ngibaskan kertas itu. Tulisannya ....

Sembunyi di sebalik pohon.

Aku menurut dan bersembunyi di sebalik pohon yang ada di tepi jalan. Mendadak pohon itu berubah menjadi sangat besar. Membuat Bibi Maria sama sekali tak bisa melihatku.

Ah, kamera ini sangat berguna! Aku menarik kembali kata-kataku tadi untuk menjual kamera ini.

“Ke mana anak sialan tadi?” gumam Bibi Maria yang masih jelasku dengar.

📷📷📷

Hai, b-icetea! Terima kasih sudah mampir!

Ini pertama kalinya aku nulis cerita fantasy. Karena jujur, aku muak nulis cerita cinta remaja. Jadi, aku nyoba buat nulis cerita fantasy hehe.

Semoga kalian suka ya b-icetea!🥺❤️

Just's Camera(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang