4.

60 15 0
                                    

Hari masih sore Adam sudah gelisah. Antan belum datang juga ke tempat janji mereka bertemu. Padahal ia sudah bilang kalau hari ini ia mau bertemu Manik. Kakinya tak bisa berhenti bergerak, menendang kerikil yang bertebaran di jalan.

"Adam."

Seketika pemuda itu langsung menoleh ke belakang. Mencari asal suara yang memanggilnya. Tak melihat ada siapa pun di belakangnya, Adam menoleh ke sekitar. Suaranya bukan suara Antan, lalu siapa yang memanggilnya?

"Adam! Telingamu digadai ke mana?! Dipanggil malah tengok sana-sini!"

Mata Adam turun ke bawah. "Maaf, Guru Katai!" seru Adam kaget. Ia tak tahu kalau asal suara yang memanggilnya ternyata di bawah.

"Guru Kata! Bukan Katai!" omel Guru Kata lagi.

"Maaf Guru Kata-" Hampir saja Adam menyebut Katai lagi.

Guru Kata berperawakan pendek dan mungil. Berdiri dengan Adam saja, tingginya hanya separuh tubuh Adam. Tubuh kecilnya membuat orang sering tak percaya kalau ia menjabat sebagai salah satu Guru. Kemampuan ilmu bela dirinya pun tak kalah dengan Guru lainnya. Kalau Guru Kata sudah marah, bahkan Antan pun tak sanggup kabur. Melihat kehadiran Guru Kata di sini, Adam jadi berusaha mengingat kesalahannya yang mana yang ketahuan.

"Ikut aku," perintah Guru Kata lalu melangkah dengan kaki-kaki kecilnya.

Adam heran, belum diberitahu apa-apa sudah disuruh ikut. "Kita mau ke mana, Guru?"

"Kenapa kau tanya lagi? Orang tuamu, kan, sudah diberitahu, mulai hari ini kau akan mulai marpariban."

Mata Adam membola seketika. Ia tak pernah diberitahu orang tuanya. Tunggu. Sebelum pergi tadi, orang tuanya memang berteriak memanggilnya, tapi Adam pura-pura tak dengar dan kabur saja. Mungkin maksud mereka memanggil Adam adalah untuk mengatakan hal ini. Bahu Adam lemas. Antan tak muncul juga dan kini ia harus melakukan hal yang paling ia hindari selama ini.

Guru Kata berhenti sejenak dan melirik dengan ekor matanya ke belakang. Diancam dengan tatapan, Adam langsung bergerak mengikutinya. Mereka berjalan menuju deretan bilik yang biasa menjadi tempat marpariban. Di dalam bilik ada tiga buah ruangan yang terpisah. Ruangan pertama dan ketiga menjadi tempat ganti pakaian pasangan pria dan wanita. Gentong marpariban sendiri diletakkan di ruangan kedua.

Tirai ruangan ketiga sudah tertutup. Hanya ruangan pertama yang masih terbuka. Adam berjalan pelan dengan bahu lemas. Kepalanya dipenuhi sosok Manik yang mungkin saja kini sudah menunggunya di pinggir danau. Sementara Adam di sini menjalani ritual perjodohan dengan gadis lain. Rasanya Adam merasa bersalah. Guru Kata yang kesal melihat leletnya jalan Adam, akhirnya menendang pemuda itu masuk ke dalam bilik.

"Ganti pakaianmu! Kuhitung sampai tiga puluh kau sudah harus selesai!"

Guru Kata pun mulai berhitung. Adam segera membuka pakaiannya dan memakai kain putih yang sudah disediakan. Ketika hitungan sampai di angka 30, Adam pun keluar dengan bertelanjang dada. Ia hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah.

"Sekarang kau masuk dulu ke dalam ruang gentong. Tutup tirainya setelah kau masuk," perintah Guru Kata.

Adam menurut dan masuk ke ruangan yang disebut. Ia berdiri di sudut sambil mengintip isi gentong. Kain putih yang nanti akan mengikat gentong diletakkan di bibir gentong. Pemuda itu menenangkan dirinya. Hanya marpariban. Bukan menikah. Tak lama tirai ruangan kembali terbuka. Di belakang Guru Katai seorang gadis muncul.

"Ranum?" panggil Adam pada gadis yang memakai kain kemban berwarna putih.

Ranum hanya mengangguk sambil tersenyum malu. Gadis itu dulu teman bermain Adam dan Antan. Waktu mereka kecil Antan selalu bilang kalau nanti dia mau menikah dengan Ranum, tapi gadis itu bilang ia hanya mau menikah dengan Adam. Antan pun patah hati hari itu, tapi mengulang lamarannya lagi keesokan harinya.

Till Death Do Us Partحيث تعيش القصص. اكتشف الآن