(34) Not Doctors

102 3 0
                                    

~Bahasa isyarat, jangan katakan apapun sebelum kamu benar-benar mengetahui makna sesungguhnya.~

Aku meladeni sejenak pesan tadi seraya berpikir keras dan memikirkan apa yang membuat dirinya menjadi tidak sopan begitu. Senyumku mengembang ketika mengetahui dia mengunjungi statusku setelah menuliskan pesan. Itu berarti dia ada di sini saat ini. Akan kupastikan ia sedang bergelut dengan dirinya sendiri karena pesan di Instagram itu berhasil kubaca.

Nadia Zahira
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Aku berharap kamu telah mengucapkan salam dalam hati.

SEND

Ah, yang benar saja. Jawaban itu terlalu alay dan sangat bertele-tele. Meskipun otakku saat ini sedang terlintas pada hal yang bernuansa tentang instan dan realitis. Rasa kasihan dan penuh kehati-hatian berusaha mengatakan hal yang lain padaku. Menyebalkan sekali, kalau begini bisa jadi malah gagal menjadi mode galak dong.

Aku mengedarkan padangan ke sekeliling berusaha mengintai seperti detektif abal-abal. Ah, untuk apa aku malah merasa waspada saat ini? Kehidupan yang serba mengerikan seperti novel misteri itu sungguh tidak cocok bagiku. Cocoknya itu nyasar di genre spiritual yang enggak ketemu tokoh pujaannya, biar mewek sekalian.

Menyebalkan, kok malah aku gelut dengan diri sendiri sih. Baiklah akan kujawab kelanjutan cerita ini. Karena aku bukanlah pecundang yang kabur dari tanggung jawab sebuah pertanyaan.

Nadia Zahira
Aku lagi di luar sih memakai stelan gamis marun yang berenda cokelat dan kerudungnya juga marun. Emang  kenapa?

Ayolah, aku benci masa-masa merindukan dirinya dan bertahan pada kesendirian yang menyayat. Eh, hidupku tidak diciptakan semenyedihkan ini sebenarnya. Hanya aku yang memutuskannya untuk menjalani semua ini. Jadi tidak perlu menyalahkan keadaan.

Aku sudah cukup kuat saat ini. Berhenti berandai-andai dengan sesuatu yang tidak mungkin. Aku harus bisa mengubah haluan  impianku menjadi seorang penulis dan dosen di kemudian hari. Saat ini aku harus bisa membangun relasi dan kepercayaan diri dulu. Tips Membangun Branding Sejak Dini, sungguh cocok sekali dengan jiwa narsisku yang tenggelam.

Mengejar impian dengan passing grade tinggi terlalu fantasi bagiku. Kedua bola mataku akan menutup jejeran pria tajir dan tampan hanya karena spesifikasi mereka. Mau CEO decacorn sekalipun aku tidak akan memandang mereka jika otakku hanya terinstal kata 'dokter'. Baiklah akan kutambahkan dengan jenis lelaki yang tanggung jawab di bagian itu. Jadi siapa pun boleh masuk dengan profesi apa saja.

Aku mengenali beberapa sesama para blogger lainnya. Meskipun tidak bertemu langsung dengan mereka. Aku bisa mengenali hanya dengan foto yang pernah mereka posting di beranda blog. Mulai dari mencoba beberapa produk hingga travelling. Dunia blog jauh lebih luas daripada yang kukira. Sama dengan saingan penulis novel. Hanya saja, kalangan sesepuh blog yang sudah pro itu sepertinya tidak terkalahkan. Mereka bisa mahir di bagian apa saja dalam mempercantik konten. Sedangkan aku sendiri yang sudah berminggu-minggu di depan laptop mempelajari itu semua rasanya tidak cukup dengan waktu singkat. Sama seperti perjalanan menulis novelku yang bertahun-tahun ini. Hanya saja selalu kujadikan terapi yang tidak terbebani.

Belajar dari segala ranah mengajarkanku tentang sebuah toleransi. Tidak bisa memaksakan kehendak yang kumau meskipun kepada saudara sendiri. Berbeda tidak menjadikanku buruk sebenarnya. Hanya saja menjadikan diriku jauh lebih berwarna ketika menurunkan ego sejatuh-jatuhnya. Aku juga tidak perlu menyombongkan diri hanya karena apa yang kuusahakan sudah berhasil. Tujuanku bukanlah balas dendam sebenarnya. Hanya membuktikan bahwa kesejahteraan penulis itu tidak menyedihkan.

Founder komunitas blog-ku sungguh apik dalam mempersiapkan agenda ini. Apalagi pemilihan host kali ini. Tidak begitu buruk ketika disandingkan dengan deretan pria tertampan yang pernah ada di dunia. Sedangkan Mas Alvie bertugas di bagian administrasi saja. Mantan jurnalis yang tidak pelit. Foto profil blognya sungguh menawan. Entah kenapa aku lebih suka dengan foto profil daripada yang aslinya.

Sudah dari tadi kedua bola mataku bertindak seperti maling. Menyebalkan, tanpa sadar aku menaruh harapan kembali. Ayolah, aku tidak boleh terus-terusan seperti ini. Lagi pula, ia tidak menjawab pesanku dari tadi.

Aku berusaha mencatat bagian yang terpenting dari acara kali ini. Kali ini sengaja menggunakan tulisan bagus berhubung pena yang kugunakan runcing. Penaku jatuh saat aku mencari gawai yang lupa kuselipkan di mana. Menyebalkan, tanpa gawai membuatku menjadi orang yang sedang kehilangan belahan jiwa. Aku menemukannya kemudian mengambil pena yang sudah menyebarang di barisan para lelaki.

Tangan kananku menyentuh kulit orang lain ketika aku berusaha mengambil pena. "Maaf," ucapku lirih dan melihat ke orang tersebut.

"Senang bertemu denganmu," jawabnya setelah membuka masker.

Kedua bola mataku mendelik seketika dan langsung kembali ke  tempat duduk tadi. Ah, aku merasa tidak waras kali ini. Dia itu benar-benar Mukhlis. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Jadi orang yang dekat denganku dari tadi adalah dirinya. Ia memakai masker abu-abu dan kacamata yang bisa dibuat berkaca dari tadi. Serupa dengan aktor yang sedang melarikan diri.

"Jadi, ngapain kemari?" tanyaku lebih dulu memecah keheningan.

Mukhlis mengajak lebih dulu dengan pesan yang ia kirimkan melalui Instagram. Mungkin benar apa yang disampaikan Fatia. Lelaki ini merupakan jenis manusia yang sayang pada semua wanita. Baiklah, aku hanya ingin berteman dan menambah relasi saja sebenarnya.

Kami duduk di sebuah meja bundar dan memesan minuman. Ah, ini tidak asyik. Mana mungkin aku blak-blakkan memesan air putih. Aku selalu suka dengan jenis minuman itu. Cokelat panas. Mungkin itu bisa meredakan emosi yang sewaktu-waktu bisa saja meledak. Rasa manis cenderung terasa dibandingkan dengan yang dingin.

"Oh, aku nemanin Aldo di sini. Katanya ini penting untuk membangun relasi bisnisnya." Ia melirik teman yang ada di sebelahnya. Terlihat menjulang dan berkulit putih. Kalau dari proporsi ketampanan. Temannya lebih unggul.

"Kupikir dokter selalu sibukkan," celetukku seenaknya. Aku selalu mendengar cerita mereka yang kadang jaga malam. Belum lagi mahasiswa kedokteran itu haus akan ilmu dan perlu belajar banyak.

"Kebetulan lagi senggang hari ini. Aku kebagian jadwal malam."

Ah, rasanya aku butuh asupan cerita kedokteran lagi kali ini. Hanya dengan membayangkannya saja, tempat ini sudah seperti rumah sakit. "Hm."

Aku bersyukur ia tidak abai denganku kali ini.

Terima kasih telah bersedia hadir kembali setelah sekian lama.

Terima kasih telah menjadi temanku tanpa perlu menghindariku.

Terima kasih telah menyelamatkanku dari rasa yang belum seharusnya di masa lalu.

Terima kasih Allah. Atas belas kasih dan segala yang engkau tunjukkan dalam setiap langkahku.

Langkah yang tidak benar-benar berhenti dan menyisipkan harapan membawaku kepada ketegaran.

Kami berteman baik saat ini dan memilih jalan masing-masing perkara karir. Tidak kusangka setelah menunggu ribuan purnama. Akhirnya bisa bertemu juga. Pada saat itu aku harus menyadari bahwa ada sesuatu yang kuikhlaskan dan kubiarkan pergi menjauh. Jelas, seorang Fisikawan bukanlah Dokter.

Ending

Physics Not DoctorsWhere stories live. Discover now